Jumat, 22 Juli 2011

Mengapa Allah tidak Mengaruniakan pada Setiap Manusia untuk Selalu Berbuat Baik Saja?

Oleh: Maulud Mustofa

dakwatuna.com - Beberapa waktu yang lalu ada teman yang bertanya, “Mengapa iman manusia (biasa seperti kita) itu kadang naik kadang turun?” Kemudian belum lama ini ada juga yang bertanya, “Mengapa Allah tidak mengaruniakan pada setiap manusia untuk selalu berbuat baik. Apa susahnya bagi Allah Yang Maha Berkehendak untuk menjadikan manusia ini untuk bertaqwa semuanya, sehingga tidak aka nada azab dari-Nya.”

Saat itu saya hanya bisa menjawab bahwa semua itu sudah menjadi fitrah bagi manusia biasa seperti kita ini. Ya, karena kita ini manusia biasa, bukan malaikat yang kadar ketaatannya tetap terjaga, pun bukan nabi yang kadar keimanannya semakin tinggi.

Siang tadi secara tidak sengaja saya menemukan tulisan dari Imam Ja’far Shadiq yang kurang lebih sebagai berikut, “Bayangkanlah seseorang yang (memiliki) tubuh sehat dan aqidah benar serta berada dalam kehidupan yang nyaman, sementara orang lain menyiapkan kebutuhan hidupnya tanpa usaha dan amal. Apakah seorang yang berakal dengan nalurinya akan rela dan mau menerima kondisi orang di atas yang tanpa upaya apapun memperoleh imbalan dan pahala? Meraih pahala dan imbalan merupakan sebuah kenikmatan tersendiri bagi orang yang bersalah.”

Bertolak dari kalimat mulia tersebut saya coba kaitkan dengan realita di kehidupan kita. Misalnya saja kita kaitkan dengan para siswa yang sedang menempuh ujian. Apa susahnya sih seorang guru atau penilai untuk memberikan nilai tinggi dan meluluskan semua siswanya. Tinggal kasih kunci jawaban dan hasilnya siswa akan lulus semua, meskipun tanpa belajar atau bahkan tidak perlu susah payah datang tiap hari untuk mengikuti pelajaran.

Bisa juga kita umpamakan dengan sebuah kejuaraan olah raga. Dalam ajang Piala Dunia misalnya, bisa saja setiap tim yang akan berlaga langsung diberi piala. Mereka tidak perlu bersusah payah latihan kemudian bertanding di lapangan. Mereka hanya perlu membentuk tim dan kemudian tim tersebut akan mendapat piala secara cuma-cuma tanpa usaha dan bertanding untuk mendapatkan piala tersebut.
Dari kedua contoh tersebut kita dapat menilai bahwa hasil ujian bagi siswa ataupun piala bagi tim tersebut bukan hanya tidak bernilai, akan tetapi tidak akan ada kenikmatan dan kebanggaan saat menerima hasil ujian atau piala tersebut. Semua itu karena dalam mendapatkannya tidak ada usaha yang perlu dilakukan.

Akan tetapi jika hasil kelulusan atau piala tersebut tidak diberikan kepada semua siswa atau tim, mereka akan berjuang lebih keras lagi untuk meraih kesuksesan. Seorang siswa akan belajar lebih giat agar bisa lulus. Sebuah tim akan berlatih dan bertanding sebaik-baiknya untuk mendapatkan piala. Mereka akan terpacu dan percaya bahwa setiap imbalan yang akan diterimanya seiring dengan usaha yang dilakukannya. Mereka akan merasakan kenikmatan, kebanggaan, dan kebahagiaan saat menerima imbalan tersebut. Seorang siswa akan merasa puas bahwa hasil jerih payahnya dalam menuntut ilmu berbuah hasil baik dan kelulusan. Begitu juga sebuah tim akan merasakan hegemoni yang luar biasa saat memenangi sebuah turnamen yang semua itu diraih atas hasil kerja keras mereka.

Kembali kita kaitkan dengan kadar ketaatan manusia, Allah sudah berjanji bahwa balasan bagi hamba-Nya yang bertaqwa adalah surga yang di dalamnya penuh dengan kenikmatan. Tapi bukan hanya di situ saja yang ingin Allah berikan pada hamba-Nya. Allah menginginkan hamba-Nya merasakan kenikmatan berlipat ganda pada hamba-Nya yang bertaqwa. Surga itu sendiri sudah nikmat, seperti halnya kelulusan atau piala tadi. Tapi Allah masih menambah kenikmatan dengan memberikan kesempatan bagi kita untuk berlomba-lomba menggapai surga tersebut. Dengan demikian jika kita menginginkan kenikmatan berlipat ganda di surga-Nya, kita harus meraihnya dengan memperbanyak amal shalih.

Semoga setiap usaha yang kita lakukan diridhai Allah dan mengantarkan kita pada kenikmatan yang berlipat-lipat di surga nanti. Amin Ya Robbal‘alamin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar