Minggu, 09 Oktober 2011

Memenangkan Dakwah Melalui Partai, Mungkinkah?

Realitas dan kebangkitan Umat
dakwatuna.com – Seorang muslim harus memiliki keyakinan bahwa masa depan umat manusia adalah milik Islam. Keyakinan ini merupakan salah satu karakter yang harus dimiliki oleh seorang muslim sebagai salah satu konsekuensi Identitas muslim yang dimilikinya. Identitas tersebut menuntut banyak konsekuensi yang harus kita terima dan kita jalankan. Belum bisa diakui keislaman seseorang manakala karakteristik sebagai konsekuensi-konsekuensi tersebut belum dimiliki. Fathi Yakan mengatakan dalam bukunya yang berjudul komitmen muslim sejati bahwa,
 
“pengakuan sebagai muslim bukanlah klaim terhadap warisan, bukan klaim terhadap suatu identitas, juga bukan klaim terhadap suatu penampilan lahir, melainkan pengakuan untuk menjadi penganut Islam, berkomitmen kepada Islam, dan beradaptasi dengan Islam dalam setiap aspek kehidupan.”

Islam merupakan petunjuk hidup yang diturunkan sebagai rahmat bagi semesta alam yang akan menuntun umat manusia ke jalan yang Allah kehendaki. Islam menjadi sebuah sistem kehidupan yang akan memimpin manusia untuk mengurusi segenap urusan mereka. Keyakinan ini tentunya disandarkan pada karakter Islam sebagai suatu agama yang bersifat Rabbaniyah, universal dan lengkap dibandingkan dengan sistem-sistem buatan manusia yang telah gagal untuk mengatur segala bentuk kehidupan di dunia. Namun sayangnya hari ini umat manusia telanjur terjerumus ke dalam berbagai macam kesesatan dan kebodohan akibat mengadopsi sistem buatan manusia yang nyatanya memiliki banyak kelemahan dan menjauhkan mereka dari petunjuk yang telah Allah tetapkan bagi segenap makhluk. Tentunya hal ini diperparah dengan niatan buruk dari kaum kufar yang sengaja menjauhkan umat muslim dari petunjuk hidup mereka yaitu Al-Qur’an dan Assunah sehingga mereka menanggalkan identitas diri mereka sebagai umat muslim. Kalaupun ada, identitas tersebut hanya sebatas lahiriah atau sebutan saja sedangkan nilai-nilai Islam serta syariat atau aturan-aturan yang ada di dalamnya, belum terinternalisasi dalam diri mereka sehingga hilangnya identitas ini menjadikan mereka menjadi umat muslim yang sakit.

Imam syahid Hasan Al-Banna mengatakan seperti yang dikutip dalam buku yang di karang oleh Prof. Dr. Abdul Hamid Al-Ghazali (2009).

“Pengalaman dan rentetan peristiwa telah mengajarkan kepada kita bahwa penyakit yang diderita bangsa-bangsa Timur ternyata begitu beragam dan telah menyerang seluruh aspek kehidupan mereka di antaranya sebagai berikut ,

1.       Dalam bidang politik, mereka terjajah oleh musuh-musuhnya sementara rakyatnya terpecah-belah dalam intrik-intrik kepartaian.
2.        Dalam bidang ekonomi, sistem riba merajalela dan perusahaan asing menguasai hampir seluruh factor ekonomi serta eksploitasi sumber daya alamnya.
3.        Dalam bidang pemikiran, terjadi kerancuan dan muncul paham atheisme yang merusak aqidah, meruntuhkan idealisme, dan meruntuhkan nilai-nilai luhur dalam jiwa-jiwa putra-putranya.
4.        Dalam bidang sosial, berlaku paham permisifme dalam tradisi dan perilaku dekadensi moral telah mencabut akar kemuliaan manusia yang telah diwarisi dari para pendahulu mereka yang shalih serta sikap taklid (mengekor) kepada Barat yang telah merebak dalam semua aspek kehidupan sebagaimana menyebarkan racun ular, sehingga meracuni darah dan mengeruhkan ketenangan kehidupan.
5.        Mereka juga dikuasai oleh undang-undang buatan manusia yang belum terbukti dapat menghentikan kejahatan para kriminalis, member pelajaran kepada pembelot, mencegah kezhaliman dan belum pernah sekalipun dapat melindungi undang-undang langit yang diletakkan oleh Dzat Yang Maha Pencipta, Raja dari Para Raja, dan pemilik serta pengatur jiwa manusia.
6.        Dalam pendidikan, terjadi kesemrawutan dalam kebijakan pengajaran dan pendidikan sehingga tidak mampu mengarahkan generasi muda dan mendidik mereka menjadi generasi penerus yang akan memikul amanah kebangkitan di masa depan.
7.        Dalam bidang kejiwaan, umat terserang oleh keputusasaan yang membinasakan, kemalasan yang mematikan, kepengecutan yang memalukan, sikap rendah diri yang menghinakan, sifat banci yang sangat buruk, kebakhilan, dan egoism. Semua itu menghalangi umat untuk berkorban, menjauhkannya dari kreativitas, dan mengeluarkannya dari barisan para mujahidin menuju barisan orang-orang yang lalai dan bermain-main.

Penyakit umat yang disampaikan oleh Imam Hasan Al-Banna di atas merupakan sebuah realitas yang terjadi di tengah-tengah kita dan menghinggapi jutaan umat muslim sampai saat ini. Menjadi tugas kita sebagai seorang aktivis dakwah untuk mengobati umat yang tengah sakit ini dan mengeluarkan mereka dari bencana kemanusiaan agar penderitaan yang mereka alami tidak berlangsung lama. Tentunya hal ini membutuhkan waktu yang cukup panjang bahkan waktu yang dibutuhkan bisa saja melebihi batas umur yang diamanahkan kepada kita. Tapi dengan keyakinan yang kita bangun bahwa masa depan adalah milik Islam dan Agama Islam inilah yang akan menang dari agama-agama yang lainya maka kita akan dengan tetap teguh dan sabar menunggu kemenangan itu datang di tengah-tengah kerja-kerja keras kita merealisasikan kemenangan-kemenangan itu.

Cukuplah firman Allah SWT tentang berita kemenangan Islam yang akan menguatkan hati kita melalui Qs. Annur ayat 55,

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.”

Syeikh Yusuf Qaradhawi mengatakan bahwa kemenangan yang Allah SWT. Janjikan kepada orang-orang yang beriman di atas merupakan janji yang sifatnya abadi dan kontinuitas. Maksudnya bahwa kemenangan-kemenangan yang telah diraih oleh umat Islam beberapa abad silam akan terulang kembali. Tentunya dengan beberapa ketentuan dan syarat yaitu tingkatan keimanan dan keshalihan yang membuat umat Islam layak untuk mendapatkan kemenangan. (sumber : Majalah Al-Intima’ Edisi No. 001 Tahun 2009).

Tujuan dakwah Ikhwan dan kelembagaan politik

Penilaian terhadap realitas atau kondisi umat pada saat ini bertujuan untuk membuat format gerakan dakwah yang cukup massif guna menyelesaikan problematika yang merongrong umat muslim sampai saat ini. Untuk itu Imam Hasan Al-Banna menentukan tujuan pokok yang harus dicapai oleh gerakan Islam Ikhwanul muslimin sebagai gerakan Islam kontemporer hingga saat ini yaitu membebaskan negeri Islam dari semua kekuasaan asing dan menegakkan di atas tanah air itu Negara Islam yang merdeka. Dalam buku membina angkatan mujahid yang ditulis oleh Sa’id Hawwa (2005) Imam Hasan Al-Banna mengatakan,

“Ringkasnya kita menginginkan pribadi muslim, rumah tangga muslim, masyarakat muslim, pemerintahan Islam dan negara yang memandu negara Islam, yang menyatukan ragam kaum muslimin, mengembalikan kejayaannya, merebut kembali tanah airnya yang hilang, yang terampas, dan negeri yang pernah dirampok. Selanjutnya negara itu akan mengibarkan panji jihad dan dakwah Islam, sehingga dunia ini akan damai di bawah ajaran Islam.”

Tujuan yang dibuat oleh Imam Syahid ini sekaligus dijadikan tingkatan amal yang harus dilakukan oleh setiap muslim untuk menjawab problematika umat yang ada. Dimulai dari pembinaan di tingkat individu agar terbentuk masyarakat yang Islami sampai tingkat pemerintahan hingga terbentuknya daulah Islamiyah yang menjadi tanda kebangkitan umat dan kemenangan Islam. Maka tidak heran apabila pada saat ini banyak gerakan dakwah yang berafiliasi atau membentuk partai politik di seluruh negara-negara yang ada di dunia khususnya negara-negara yang mayoritas warga negaranya adalah umat muslim termasuk di Indonesia. Dimana beberapa di antara mereka bersepakat dengan ide-ide atau gagasan yang dikemukakan oleh Imam Hasan Al-Banna dan menjadikannya sebagai bahan referensi untuk membangun gerakan dakwah di negara mereka masing-masing

Dakwah kian hari kian berkembang dan pada saat ini dakwah sudah memasuki sebuah era baru yaitu era keterbukaan dimana Islam dengan mudah menggema di seantero jagat raya sedangkan fase dakwah secara sembunyi-sembunyi sudah kita tinggalkan walaupun ada beberapa hal yang tetap dilakukan secara sembunyi-sembunyi-Hal ini dilakukan semata-mata hanya untuk menghindari serangan dari musuh-musuh Islam yang ingin menghancurkan dakwah-Oleh karena ini merupakan peluang yang harus di manfaatkan oleh para aktivis gerakan Islam agar syiar nilai-nilai Islam membumi kembali di tanah air kaum muslimin.

Berbicara masalah tingkatan dakwah atau mihwar, pada saat ini dakwah sudah memasuki tingkatan dakwah kelembagaan politik atau mihwar muassasi sebagai salah satu konsekuensi telah ditetapkannya tujuan gerakan Islam yaitu membentuk pemerintahan yang Islami. Tingkatan dakwah yang pertama dan yang kedua yaitu mihwar tanzhimi yang merupakan tahap pembentukan kader-kader inti dan basis aktivis gerakan serta tahap yang kedua yaitu mihwar sya’bi yang merupakan pembentukan basis sosial dianggap telah terpenuhi sehingga tahapan dakwah perlu berpindah ke tingkat yang lebih tinggi yaitu dakwah tingkat kelembagaan atau mihwar muassasi yang ditandai dengan pembentukan lembaga-lembaga atau yayasan-yayasan sebagai sarana untuk syiar Islam dalam skala lebih besar dan cakupan lebih luas. Partai politik merupakan salah satu sarana yang kita bentuk untuk mengemban tugas dakwah di era keterbukaan itu dengan tujuan untuk membentuk pemerintahan suatu negara yang Islami. Hasan Al-Banna mengatakan,

“Pemerintahan Islam adalah pemerintahan yang para anggotanya orang-orang muslim, melaksanakan kewajiban, tidak bermaksiat secara terang-terangan, dan melaksanakan hukum-hukum Islam”

Apabila kita berbicara tentang sebuah negara maka di dalamnya kita akan melihat sebuah sistem dengan segala aturan di dalamnya yang mengatur seluruh kehidupan warga negara. Sistem inilah yang harus kita rubah agar terjadi perubahan yang menyeluruh dan sistematik sehingga terbentuklah negara-negara Islam yang menjadikan Al-Qur’an sebagai satu-satunya sistem yang mengatur kehidupan. Maka dari itu keberadaan partai politik sangat penting sebagai jalan bagi kita untuk menegakkan hukum-hukum Islam dan mengajak setiap manusia untuk mengikuti hukum-hukum tersebut serta menjamin orang-orang yang menjalankan pemerintahan melaksanakan kewajibannya dan tidak bermaksiat kepada Allah swt. Untuk merubah sistem, mau tidak mau kita harus terlibat di dalam lingkaran sistem tersebut karena hal itulah satu-satunya jalan yang paling efektif agar kita bisa melakukan perubahan secara sistematik dan menyeluruh. Kalau kita memilih jalan di luar sistem, perubahan tersebut mungkin saja dapat pula terjadi namun butuh tenaga yang cukup ekstra dan waktu yang lebih lama untuk mewujudkannya terkecuali dengan melakukan kudeta atau makar dengan menggulingkan pemerintahan yang ada. Sedangkan kekuatan fisik atau senjata merupakan jalan terakhir yang boleh kita tempuh ketika cara-cara yang lain sudah tidak bisa kita gunakan lagi.

Menikmati Demokrasi dan Memenangkan Dakwah Melalui Partai Politik
Menjadi catatan bagi kita hari ini bahwasanya arah gerak ke depan menentukan sikap kita terhadap segala sesuatu yang terjadi pada hari ini. Ketika kita memasuki sebuah masa dan setelah masa itu berakhir dan berganti dengan masa yang lain tentunya dengan segala dinamika yang ada di dalamnya, maka secara sadar maupun tidak kita akan mencoba untuk menyesuaikan diri dan menjadi bagian dari dinamika itu. Tidak bisa kita pungkiri, hari ini kita memasuki sebuah era baru dimana gerakan dakwah di muka bumi harus bisa menyesuaikan diri. Agar ketercapaian tujuan yaitu tegaknya Islam di muka bumi dapat kita raih.

Setelah Rezim Soekarno Runtuh, mulailah kita memasuki masa orde baru yang berkuasa hingga 32 tahun lamanya dan selama Itu pula rezim ini berkuasa secara otoriter di negeri ini. Dunia Islam pada waktu itu kembali ditekan karena penguasa yang ada pada saat itu menyadari bahwa Islam memiliki kekuatan yang sangat besar untuk bangkit dan memberikan perlawanan sehingga mereka sebisa mungkin membatasi pergerakan umat Islam pada waktu itu. Masa-masa itu menjadi masa-masa yang sulit bagi kaum muslimin untuk bisa menyesuaikan diri agar Islam tetap bisa eksis di muka bumi. Tantangan yang dihadapi pada saat itu sangatlah besar. tidak ubahnya dulu ketika awal permulaan munculnya Islam di jazirah Arab. Namun tanpa peduli apa yang akan dilakukan para penguasa pada saat itu dakwah tetap saja mengakar dari rumah ke rumah sampai pada akhirnya masa-masa yang sulit itu akhirnya berada di ujung lorong waktu. Dan kini kita memasuki era baru dimana Islam dengan bebas menyebar luas ke seluruh penjuru dunia sebagai manifestasi dari adanya nilai-nilai demokrasi yang ada pada saat ini.

Indonesia merupakan salah satu Negara yang menganut paham demokrasi. Namun sayang ke mana negeri ini menganut paham demokrasi sangatlah tidak jelas. Amerika saja yang dikatakan sebagai Negara paling demokratis tidak seperti itu dalam pelaksanaannya. Pelaksanaan demokrasi di Indonesia bisa dikatakan berada di luar hakikat demokrasi yang sebenarnya. Mengatasnamakan kebebasan karena negeri ini adalah Negara demokrasi, semua orang kini bebas melakukan apapun yang dikehendaki asalkan ada payung hukum yang melindungi. Kalau pun tidak ada maka tetap saja dengan alasan kebebasan yang kebablasan mereka mencoba untuk membenarkan perbuatan keji yang mereka lakukan.

Ketika kita berbicara masalah demokrasi maka setiap orang memiliki kebebasan untuk melakukan sesuatu. Hal ini tentu saja menjadi sebuah peluang bagi umat Islam untuk menjalankan kegiatan keagamaan dan mensyiarkan nilai-nilai Islam ke seluruh penjuru tanah air. Namun perlu kita ingat bahwasanya kejahiliyahan dengan bebas pula menyebar di seantero jagat karena ketika kita berbicara mengenai demokrasi maka yang kita bicarakan adalah bukan sekadar benar atau salah, melainkan legal atau tidak seperti yang dikatakan Anis Matta dalam bukunya menikmati demokrasi dan itulah hakikat demokrasi yang kita pahami saat ini. Hal yang benar bisa menjadi salah ketika hal tersebut dilarang sedangkan suatu hal yang salah bisa dianggap benar ketika itu memang legal dan diatur di dalam perundang-undangan. Untuk itulah memasuki era baru hari ini kita memulai untuk mengambil peranan sebagai pemangku kebijakan di Negeri ini untuk mengembalikan hakikat demokrasi ke dalam Sifat dasarnya dan melegalkan hal-hal yang kita yakini kebenarannya. Kita tidak menginginkan regulasi yang dihasilkan oleh para pejabat pemerintahan justru kembali mengekang hak-hak rakyat untuk memeluk Islam dengan teguh, tetapi yang kita harapkan adalah bagaimana dengan peraturan itu Islam semakin bersinar di muka bumi.

Partisipasi politik dalam bentuk partai memberikan kita peluang untuk memasuki ranah kerja eksekutif dan legislatif. Kader Dakwah di lembaga legislative memiliki peran untuk menerjemahkan aturan-aturan Allah swt yang dibuat untuk segenap umat manusia ke dalam aturan yang mengatur warga negara dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana kita ketahui bahwa lembaga legislatif ini memiliki peran untuk membuat peraturan perundang-undangan. Maka dari itu dengan keterlibatan kita di lembaga legislatif kita dapat memastikan bahwa aturan-aturan tersebut merupakan aturan yang telah Allah tetapkan dan aturan-aturan yang telah kita buat dapat kita gunakan untuk kepentingan umat dan kemaslahatan yang lebih besar. Ustadz Hilmi Aminudin mengatakan bahwa,

“di lembaga legislative kader dakwah hendaknya memiliki peran advokasi, membela kepentingan rakyat, kepentingan dakwah, dan kepentingan umat. Mereka harus menjadi payung politik bagi seluruh aktivitas keislaman yang dilakukan oleh jamaah, partai, ormas, dan yayasan manapun.”

Lain lagi dengan keterlibatan kita di lembaga eksekutif. Kalau fungsi dari lembaga legislative adalah membuat aturan perundang-undangan maka lembaga eksekutif adalah memastikan bahwa aturan-aturan tersebut dijalankan dengan baik dan tidak ada satu pun pihak yang merasa dizhalimi karena aturan-aturan tersebut.

Ketika kita berbicara masalah politik maka erat kaitannya dengan masalah kekuasaan. Kekuasaan bukanlah tujuan utama melainkan sarana agar, pintu dan peluang dakwah dan amal shalih akan lebih terbuka luas. Kemenangan atas kekuasaan tidak selalu identik dengan kemenangan dakwah karena bisa saja orang-orang yang telah diamanahi dengan kekuasaan tersebut tidak bisa memanfaatkannya untuk kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat. Tapi tetap saja, masuk ke dalam lingkaran kekuasaan adalah bagian penting dari misi dakwah untuk kepentingan dakwah itu sendiri. Dakwah tanpa kekuasaan akan lemah sedangkan kekuasaan akan membuka peluang seseorang untuk kembali kepada identitasnya sebagai seorang muslim dan dengan kekuasaan pula akan mengembalikan seseorang pada kejahiliyahan. Kekuasaan telah memberikan kontribusi yang besar kepada dakwah dan hal itu pernah dibangun oleh sahabat Umar bin Khattab dan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz. Kesejahteraan dan ketenangan bukan hanya dirasakan oleh umat Islam, tetapi oleh seluruh umat manusia, bahkan hewan pun mendapatkan berkah dari kekuasaan keduanya.

Partisipasi kader dakwah dalam kancah perpolitikan dengan membentuk partai politik merupakan salah satu bentuk ikhtiar untuk membangun tatanan sosial kemasyarakatan yang Islami yang akan mengantarkan kita pada kemenangan yang dijanjikan. Allah SWT. Berfirman,

“Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya (Dzul Qarnain) di (muka) bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu”. (Al-Kahfi : 84).

Bahan referensi :
•          Membina angkatan mujahid. 2005. Sa’id Hawwa. Era Intermedia. Solo.
•          Urgensi Dakwah di Parlemen dan Pemerintahan. 2004. Abdu syamil basayef. Tazkia Production Perss. Jakarta
•          Komitmen muslim sejati. 2006. Fathi Yakan. Era Intermedia. Solo.
•          Pilar-pilar kebangkitan umat, Prof. Dr. Abdul Hamid Al-Ghazali. Al-I’tishom. Jakarta.
•          Majalah Al-Intima’ edisi 001 tahun 2009
•          Menikmati Demokrasi. 2005. Anis Matta. Fitrah Rabbani. Jakarta.

Tarbiyah Politik Hasan Al-Banna

Judul Buku : Tarbiyah Politik Hasan Al-Banna: Referensi Gerakan Dakwah di Kancah Politik
Penulis : Dr. Yusuf Al-Qaradhawi
Penerbit : Arah Press, Jakarta
Tahun Terbit : Desember 2007
Tebal : x + 228 halaman

Dakwatuna.com – Hasan Al-Banna adalah seorang mujahid dakwah yang tidak hanya mewariskan Ikhwanul Muslimin yang kini menjadi gerakan Islam terbesar di dunia. Ia juga mewariskan pemikiran-pemikiran yang sangat berharga bagi dunia Islam, tidak hanya bagi Ikhwan. Kontribusi pemikirannya telah memenuhi ruang sejarah tersendiri yang sampai kini terus dikaji dan diadopsi banyak gerakan Islam. Begitu pun pemikirannya dalam bidang politik.

Melalui buku At-Tarbiyah As-Siyasiyah Inda Hasan Al-Banna, yang diterjemahkan menjadi Tarbiyah Politik Hasan Al-Banna ini, Dr. Yusuf Qaradhawi mengupas dimensi aspek politik yang orisinil dan detail tentang aspek politik dalam metode tarbiyah yang digagas oleh Hasan Al-Banna. Buku yang diterbitkan dalam rangka memperingati seratus tahun kelahiran Hasan Al-Banna ini diselesaikan Dr. Yusuf Qaradhawi dengan terlebih dahulu mengkaji perkataan Hasan Al-Banna melalui berbagai kumpulan risalahnya, kemudian melakukan muqaranah (komparasi) antara perkataan Hasan Al-Banna satu sama lain, dan metode an-naqd al-‘ilmi al-maudhu’i (kritik ilmiyah tematik). Dengan metode itu, Dr. Yusuf Qaradhawi mendapatkan kesimpulan 8 pilar tarbiyah politik Hasan Al-Banna dan ia berbeda pendapat serta mengkritisi Hasan Al-Banna pada pilar ketujuh.

Delapan pilar itu adalah:
1. Memadukan antara Islam dan politik (agama dan negara)
2. Membangkitkan kesadaran wajib membebaskan tanah air Islam
3. Membangkitkan kesadaran wajib mendirikan pemerintahan islami
4. Menegakkan eksistensi umat Islam
5. Menyadarkan kewajiban persatuan Islam
6. Menyambut sistem perundang-undangan
7. Mengkritisi multipartai dan kepartaian
8. Melindungi kelompok minoritas dan unsur asing

Memadukan antara Islam dan politik (agama dan negara)

Hasan Al-Banna berusaha keras mengajarkan umat Islam tentang syumuliyatul Islam(kesempurnaan Islam). Apalagi di awal dakwahnya, masyarakat Mesir masih memahami Islam secara parsial. Bahwa Islam adalah rukun iman dan rukun Islam. Sementara politik, pendidikan, ekonomi, dan lain-lain tidak masuk dalam urusan din Islam.

Hasan Al-Banna dalam banyak kesempatan sangat menekankan pentingnya kembali pada syumuliyatul Islam. Begitu pun beliau mencantumkan pembahasan ini di awal ushul isyrin (20 prinsip pokok Ikhwanul Muslimin dalam memahami Islam). Dalam lingkup inilah dakwah Hasan Al-Banna berada. Ia ingin menghilangkan pemikiran sempit yang mengurung Islam dalam ritual tertentu. Ia ingin membina umat Islam dengan pemahaman dan cakrawala luas yang bisa menggiring terbentuknya pribadi Islam yang diidam-idamkan.

Membangkitkan kesadaran wajib membebaskan tanah air Islam

Inilah pilar kedua dalam tarbiyah politik Hasan Al-Banna. Memperkuat kesadaran dan memicu sentimen wajib membebaskan tanah air Islam dari penjajahan dan penguasaan asing. Meskipun saat itu Mesir sendiri masih berada di bawah penguasaan Inggris, Hasan Al-Banna juga berpikir jauh ke negara-negara lain yang harus dibebaskan dari penjajahan dan penguasaan asing, termasuk Indonesia. Tentu saja ini adalah implikasi dari pemahaman bahwa umat Islam adalah satu tubuh dan tanah air Islam tidak dibatasi oleh sekat-sekat geografis, melainkan seluruh bumi di mana di atasnya dikumandangkan syahadat.

Upaya menyadarkan umat ini juga ditunjukkan secara faktual dengan keterlibatan Ikhwan mengusir penjajah dari Mesir dan Sudan, pengiriman mujahidin ke Palestina, sampai menekan pemerintah agar mendukung kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945.

Membangkitkan kesadaran wajib mendirikan pemerintahan Islami

Pilar yang kedua di atas sebenarnya hanyalah sarana. Tujuan utamanya adalah menegakkan eksistensi umat Islam agar hidup dengan aqidah dan syariat Islam. Untuk itu, setelah membebaskan negara dari penjajahan dan penguasaan asing, target berikutnya adalah mendirikan pemerintahan yang islami.

Eksistensi umat Islam tidak bisa tegak kecuali jika belenggu penjajahan di segala aspek, baik ekonomi, politik, undang-undang, dan sebagainya bisa dibebaskan, lalu diatur dengan sistem Islam. Dari sini kita mengetahui, bahwa mendirikan pemerintahan Islami merupakan kewajiban, sekaligus kebutuhan yang mau tidak mau harus ditunaikan. Atas dasar inilah sampai saat ini Ikhwan di berbagai negara berupaya merealisasikan tarbiyah politik Hasan Al-Banna untuk mendirikan pemerintahan islami baik dengan mendirikan partai politik atau metode lain. Namun demikian, mendirikan pemerintahan Islami ini bukan hanya tugas Ikhwan dan siapapun yang berhasil mendirikan perlu didukung bersama.

Menegakkan eksistensi umat Islam

Pilar keempat dari tarbiyah politik Hasan Al-Banna adalah menegakkan eksistensi umat Islam agar mampu mengatur kehidupan masyarakat Islam di wilayah negaranya dan juga dunia internasional dalam satu ikatan di bawah panji Islam.

Islam telah membuktikan tegaknya eksistensi umat dalam skala besar, mengumpulkannya dengan aqidah yang satu, syariat yang satu, nilai-nilai yang sama, adab yang sama, pemahaman dan syariah yang sama serta dalam satu kiblat. Cukuplah mempersatukan umat dengan tiga perkara: pertama, kesatuan referensi (wihdatul maraji’iyah), semuanya berhukum dengan syariah Islam yang bersandar pada Al-Qur’an dan Sunnah; kedua, kesatuan tanah air Islam (wihdatu darul Islam), meskipun terdiri dari banyak negara yang jaraknya berjauhan; ketiga, kesatuan kepemimpinan (wihdatul qiyadah as-siyasiyah), yang diwujudkan dengan khalifah sebagai pemimpin tertinggi.

Menyadarkan kewajiban persatuan Islam

Pilar kelima ini melengkapi pilar keempat, yaitu membangun kesadaran wajib mempersatukan umat. Pilar ini merupakan tuntutan wajib dalam Islam sekaligus tuntutan aksiomatik secara duniawi.

Dalam hal ini tidak ada kontradiksi antara persatuan Islam dan nasionalisme yang kita kenal. Persatuan Islam juga tidak menganulir paham kebangsaan atau kesukuan. Dalam risalah dakwatuna, Hasan Al-Banna telah menjelaskan bagaimana sikapnya terhadap berbagai paham termasuk nasionalisme dan kebangsaan. Meskipun istilahnya sama, tetapi ada berbagai varian yang dimaksudkan dengan satu istilah itu. Dan karenanya, kita tidak boleh menggeneralisasinya.

Menyambut Sistem Undang-undang dan Parlementer

Terkadang sebagian orang dan sebagian ikhwan mendengarkan slogan “Al-Qur’an dusturuna” itu artinya mereka menolak hukum positif apapun. Akan tetapi sebenarnya, yang dimaksud dengan slogan itu adalah menjadikan Al-Qur’an sebagai rujukan tertinggi, kepadanyalah kita kembalikan segala urusan. Maka aturan-aturan di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an.

Dengan demikian, boleh bagi umat Islam untuk membuat aturan-aturan yang lebih detail yang merupakan penjabaran dari Al-Qur’an untuk diimplementasikan dalam kehidupan praktis, serta aturan-aturan detail lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan Aqidah dan syariat Islam.

Mengkritisi Multipartai dan Kepartaian

Pilar ke-7 dari tarbiyah politik Hasan Al-Banna adalah ketidaksetujuannya dengan partai-partai yang ada di Mesir saat itu serta ketidaksetujuannya terhadap multipartai. Hasan Al-Banna melihat bahwa banyaknya partai justru membawa mafsadat bagi umat karena yang terjadi adalah perpecahan umat akibat sikap fanatik pada partai. Di samping itu, partai-partai yang ada juga tidak mewakili umat secara benar, bahkan cenderung dibangun hanya untuk meraih kekuasaan tanpa memiliki basis ideologi Islam. Tidak banyak perbedaan program dari semua partai, tetapi semuanya ingin berkuasa dan mendapatkan keuntungan materi. Karenanya, Hasan Al-Banna lebih setuju pada konsep partai tunggal agar rakyat -Mesir khususnya, saat itu- bisa bersatu dan lebih mudah mencapai tujuan.

Pada pilar ke-7 inilah Dr. Yusuf Qaradhawi berbeda pendapat dengan Hasan Al-Banna. Karena partai tunggal justru mendatangkan mudarat yang lebih besar bagi umat, terutama munculnya diktatorisme seperti yang kemudian terjadi di Mesir saat Gamal Abdul Naser melancarkan revolusi lalu menghapus partai-partai dan menghimpun rakyat di bawah jargon “persatuan nasional”. Faktor ini mungkin belum disadari oleh Hasan Al-Banna sebelumnya. Meski demikian, Hasan Al-Banna telah mendapatkan pahala atas ijtihadnya, insya Allah.

Perlindungan bagi Kaum Minoritas dan Orang Asing

Inilah pilar ke-8 tarbiyah politik Hasan Al-Banna. Dan memang inilah Islam. Ia rahmatan lil ‘alamin. Islam pada dasarnya melindungi siapa saja yang tidak memusuhi Islam. Apalagi jika pihak non muslim itu tunduk di bawah naungan negara Islam. Ini sangat berbeda dengan paham kelompok-kelompok garis keras yang cenderung mengambil langkah kekerasan sebagai prioritas utama dalam bersikap menghadapi orang asing.

Dalam fakta sejarah, kita telah mendapatkan perlindungan Nabi kepada kaum Yahudi Madinah, perlindungan Umar pada Nasrani Palestina, juga perlindungan Shalahudin Al-Ayubi pada Nasrani Palestina, dan lain-lain. Saat Islam memegang kekuasaan, kaum minoritas akan terlindungi, karena Islam adalah rahmatan lil ‘alamin. Wallaahu a’lam bish shawab. (Muchlisin)

Integrasi Politik dan Dakwah

Oleh: Cahyadi Takariawan

iggsdigg
email
Sebuah Bahan Perenungan
dakwatuna.com - Sering ada diskursus publik yang tidak konstruktif ketika berbincang di wilayah hubungan antara politik dengan agama atau dakwah. Hal ini sudah berlangsung dalam waktu lama, sebagaimana tampak dalam ungkapan Syaikh Hasan Al Banna, “Sedikit sekali orang berbicara tentang politik dan Islam, kecuali ia memisahkan antara keduanya, diletakkan masing-masing secara independen. Menurut mereka keduanya tidak mungkin bersatu dan dipertemukan. Untuk itulah organisasi mereka disebut organisasi Islam non politik. Pertemuan mereka adalah pertemuan keagamaan yang tidak mengandung unsur politik, dan hal ini bisa dilihat dari Anggaran Dasar serta Anggaran Rumah Tangga mereka suatu ungkapan: Tidak mencampuri urusan politik”.
Untuk itu, ketika memberikan batasan pemahaman Islam, Syaikh Hasan Al Banna memberikan sebuah gambaran yang utuh tentang universalitas dan integralitas Islam. Beliau mengungkapkan, “Islam adalah sebuah sistem universal yang lengkap dan mencakup seluruh aspek hidup dan kehidupan. Islam adalah negara dan tanah air, pemerintahan dan rakyat, akhlaq dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan, peradaban dan undang-undang, ilmu dan peradilan, materi dan sumber daya alam, usaha dan kekayaan, jihad dan dakwah, tentara dan pemikiran, sebagaimana Islam adalah aqidah yang lurus dan ibadah yang benar, tidak kurang dan tidak lebih”.

Tampak dari penggambaran tersebut sebuah definisi Islam yang teramat luas, mencakup segala aspek kehidupan kemanusiaan, tak ada yang ditinggalkan. Politik adalah salah satu bagian utuh dari perhatian Islam, agar manusia bisa melaksanakan fungsi kekhalifahan di muka bumi dengan baik, memakmurkan alam semesta dan memimpin umat manusia menuju kebaikan hidup di dunia maupun akhirat.

Selanjutnya Syaikh Hasan Al Banna menegaskan, “Setelah batasan global dari makna Islam yang syamil dan substansi makna politik yang luas dan tidak terkait dengan kepartaian ini, saya bisa mengatakan secara terus terang bahwa seorang muslim tidak akan sempurna Islamnya kecuali jika ia seorang politisi, mempunyai jangkauan pandangan yang jauh, dan mempunyai kepedulian yang besar terhadap umatnya”.

“Saya juga bisa katakan bahwa pembatasan dan pembuangan makna ini (yakni: pembuangan makna politik dari substansi Islam) sama sekali tidak pernah digariskan oleh Islam. Sesungguhnya setiap jam’iyah Islamiyah harus menegaskan pada garis-garis besar programnya tentang perhatian dan kepedulian jam’iyah tadi terhadap persoalan-persoalan politik umatnya. Kalau tidak seperti itu, jam’iyah tadi butuh untuk kembali memahami makna Islam yang benar”, demikian Al Banna memberikan penjelasan yang gamblang kepada kita.
Oleh karena itu, suatu ketika dalam sebuah forum, Al Banna mengungkapkan, “Biarkan saya untuk bersama kalian berpanjang lebar dalam menegaskan makna ini, di mana hal itu mungkin sesuatu yang mengejutkan dan asing di mata mereka yang terbiasa mendengarkan senandung pemisahan antara Islam dan politik”.

Para ulama terdahulu telah memberikan penjelasan dan pembahasan yang memadai mengenai aspek politik. Ibnul Qayyim Al Jauzi dalam kitabnya Ath Thuruq al Hukmiyyah mengemukakan, “Allah Ta’ala mengutus para Rasul untuk menurunkan kitab-kitab suci-Nya, agar manusia melaksanakan keadilan yang ditegakkan sesuai dengan prinsip-prinsip langit dan bumi. Jika keadilan muncul dan terlihat dalam bentuk apapun, maka itulah syariat Allah dan agama-Nya”.

“Bahkan Allah Ta’ala telah menjelaskan bahwa garis-garis yang telah ditetapkan itu dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan di kalangan hamba-hamba-Nya dan agar manusia berbuat adil di muka bumi. Cara apa pun yang ditempuh jika sesuai dengan garis-garis yang telah dijelaskan untuk mewujudkan keadilan, adalah bagian dari agama dan tidak bertentangan dengannya. Jadi tidak dapat dikatakan bahwa politik yang berkeadilan itu bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh syariah, melainkan ia sesuai dengan apa yang dibawa oleh syariah dan bahkan bagian integral dari padanya,” demikian tulis Ibnul Qayyim.

Makna Siyasah
Secara sederhana, kata siyasah dimaknai sebagai politik. Jika kita teliti dengan cermat, memang tidak dijumpai penggunaan kata siyasah dalam Al Qur’an maupun Hadits yang maknanya politik, namun ada banyak konteks yang menunjukkan ketepatan pemaknaan tersebut.
Dalam terminologi Arab, secara umum dipahami bahwa kata siyasah berasal dari kata as saus yang berarti ar riasah (kepengurusan). Jika dikatakan saasa al amra berarti qaama bihi (menangani urusan). Syarat bahwa seseorang berpolitik dalam konteks ini adalah ia melakukan sesuatu yang membawa maslahat, bagi jamaah atau sekumpulan orang.
Sedangkan secara istilah, ditemukan sangat banyak definisi tentang siyasah atau politik, dimana keseluruhannya bisa saling melengkapi. Di antara makna siyasah yang penting adalah:

a. Seni mengatur pemerintahan
Politik tidak identik dengan pemerintahan. Akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu bagian penting politik adalah pemerintahan. Rifa’ah Ath Thahthawi mendefinisikan politik sebagai seni mengatur pemerintahan dan berbagai hal yang terkait dengannya.
“Kajian tentang ilmu ini, perbincangannya, diskusi tentangnya di berbagai forum dan tempat pertemuan, menyelami arusnya, semua itu dinamakan politik. Aktivis di bidang ini disebut politikus. Maka politik berarti segala sesuatu yang bersentuhan dengan pemerintahan, hukum-hukum serta berbagai hal yang berkaitan dengannya”, demikian penjelasan Rifa’ah.

b. Seni mengelola perubahan
Politik juga bisa dimaknai sebagai seni mengelola perubahan. Malik bin Nabi memberikan gambaran bahwa politik adalah “aktivitas yang terorganisir dan efektif yang dilakukan oleh umat secara keseluruhan –negara dan masyarakat- yang sejalan dengan ideologi mayoritas rakyatnya, dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan saling bantu antara pemerintah dan individu dalam aspek sosial, ekonomi dan budaya; agar politik memberikan pengaruhnya yang kongkret pada realitas sosial, yang membawa pada perubahan bingkai kultur dalam sebuah orientasi yang akan menumbuhkan kecerdasan baru secara harmonis”.

Dalam pandangan itu, politik pada akhirnya adalah “penciptaan kultur”;  yang oleh karena itu, dalam pandangan Malik bin Nabi, aktivitas membangun taman di kota Kairo juga berarti aktivitas politik. Zaki Najib Mahmud berpendapat bahwa politik adalah “melihat bagaimana kondisi tempat kita hidup ini mengalami perubahan” atau upaya mengubah realitas sosial. Politik berarti bahwa kita menciptakan perubahan untuk mereka dan kita menjadikan mereka bisa melakukan perubahan tersebut untuk diri mereka sendiri.

c. Upaya merealisasikan kebaikan
Dalam perspektif Aristoteles dan para filosof Yunani pada umumnya, politik dimaknai sebagai segala sesuatu yang sifatnya dapat merealisasikan kebaikan di tengah masyarakat.
Imam Syafi’i memberi definisi bahwa politik adalah hal-hal yang bersesuaian dengan syara’. Pengertian ini dijelaskan oleh Ibnu Aqil bahwa politik adalah hal-hal praktis yang lebih mendekati kemaslahatan bagi manusia dan lebih menjauhkan dari kerusakan meskipun tidak digariskan oleh Rasulullah saw atau dibawa oleh wahyu Allah Ta’ala.

d. Kepedulian terhadap urusan umat
Selanjutnya politik bisa dimaknai secara lebih luas sebagai kepedulian terhadap berbagai dinamika dan persoalan umat. Hasan Al Banna menyebutkan politik adalah “hal memikirkan persoalan-persoalan internal maupun eksternal umat”. Yang dimaksud dengan internal adalah “mengurus persoalan pemerintahan, menjelaskan fungsi-fungsinya, merinci kewajiban dan hak-haknya, melakukan pengawasan terhadap para penguasa untuk kemudian dipatuhi jika mereka melakukan kebaikan dan dikritisi jika mereka melakukan kekeliruan”.

Sedangkan sisi eksternal politik dalam wacana Al Banna adalah “memelihara kemerdekaan dan kebebasan bangsa, menghantarkannya mencapai tujuan yang akan menempatkan kedudukannya di tengah-tengah bangsa lain serta membebaskannya dari penindasan dan intervensi pihak lain dalam urusan-urusannya”. Karena persepsi semacam inilah Al Banna dengan tegas mengatakan, “Keislaman seseorang menuntutnya untuk memberikan perhatian kepada persoalan-persoalan bangsa”.

Dari berbagai pengertian tersebut dipahami bahwa cakupan aktivitas politik itu luas. Sejak dari aktivitas individual yang memproses perubahan, sampai aktivitas kolektif dalam partai politik atau dalam urusan pemerintahan. Keseluruhannya masuk wilayah pengertian politik. Dengan pengertian seperti ini, tampak bahwa siyasah termasuk salah satu tugas kerasulan yang penting, sebagaimana firman Allah:

Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan (Al Hadid: 25).

Dakwah dan Siyasah
Kehadiran Islam dalam wujud sebuah institusi yang menata, mengelola, dan mengendalikan pemerintahan telah menjadi obsesi Hasan Al-Banna sebagaimana ungkapannya yang disampaikan kepada para pemuda:

“Adalah sangat mengherankan sebuah paham seperti komunisme memiliki negara yang melindunginya, yang mendakwahkan ajarannya, yang menegakkan prinsip-prinsipnya, dan menggiring masyarakat untuk menuju ke sana. Demikian juga paham fasisme dan Nazisme, keduanya memiliki bangsa yang mensucikan ajarannya, berjuang untuk menegakkannya, menanamkan kebanggaan kepada para pengikutnya, menundukkan seluruh bangsa-bangsa lain untuk mengekor kepadanya. Dan lebih mengherankan lagi, kita dapati berbagai ragam ideologi sosial politik di dunia ini bersatu untuk menjadi pendukung setianya”.

”Mereka perjuangkan tegaknya dengan jiwa, pikiran, pena, harta benda, dan kesungguhan yang paripurna, hidup dan mati dipersembahkan untuknya. Namun sebaliknya, kita tidak mendapatkan tegaknya suatu pemerintahan Islam yang bekerja untuk menegakkan kewajiban dakwah Islam, yang menghimpun berbagai sisi positif yang ada di seluruh aliran ideologi dan membuang sisi negatifnya. Lalu ia persembahkan itu kepada seluruh bangsa sebagai ideologi alternatif dunia yang memberi solusi yang benar dan jelas bagi seluruh persoalan umat manusia.”

Berpolitik tidak selalu identik dengan urusan partai politik. Partai hanyalah salah satu sarana dalam urusan politik. Terhadap partai politik yang berkembang di Mesir saat itu Al-Banna mempunyai kritikan yang mendasar, “Kami berkeyakinan bahwa partai-partai politik yang ada di Mesir didirikan dalam suasana yang tidak kondusif. Sebagian besar didorong oleh ambisi pribadi, bukan demi kemaslahatan umum …. Kami juga berkeyakinan bahwa partai-partai yang ada hingga kini belum dapat menentukan program dan manhajnya secara pasti … Kami berkeyakinan bahwa hizbiyah (sistem kepartaian) yang seperti itu akan merusak seluruh tatanan kehidupan, memberangus kemaslahatan, merusak akhlaq, dan memporakporandakan kesatuan umat.”

Sebagai aktivis dakwah, Hasan Al Banna telah merangkaikan hubungan-hubungan yang khas antara dakwah dengan aktivitas politik. Teori ishlah (reformasi) yang dirumuskan Al Banna adalah teori yang jelas dan komprehensif.

“Sesungguhnya terapi bagi keterpurukan, perpecahan kata, kehancuran dan kemunduran peradaban umat Islam tidak bisa dilakukan dengan terapi tunggal, ia harus dengan terapi komprehensif. Begitu juga manhaj reformasi untuk membebaskan umat Islam dari keterpurukannya haruslah komprehensif tanpa memprioritaskan manhaj salah satu reformis, tetapi harus mencakup seluruh unsur ishlahi. Dengan itulah semua kondisi umat Islam akan membaik,” demikian pendapat Al Banna.

Untuk menegaskan hakikat ini, bahwa dakwah memperjuangkan tegaknya sistem kehidupan yang utuh dan integral, beliau menjelaskan:
“Produk pemahaman secara umum dan utuh tentang ini menurut kami adalah, bahwa gagasan pemikiran mereka mencakup seluruh aspek perbaikan masyarakat. Termasuk dalam bagiannya adalah semua unsur lain yang merupakan gagasan perbaikan pula. Karena itu, semua reformis yang tulus dan penuh perhatian akan mendapati apa yang diinginkannya di sana. Maka bertemulah cita-cita pencinta reformasi yang memahami dan mengetahui visinya. Engkau dapat mengatakan, dan itu tidak mengapa, bahwa gerakan dakwah adalah tatanan politik, karena para kadernya menuntut perbaikan hukum di dalam negeri dan menuntut kaji ulang terhadap hubungan umat dengan bangsa lain di luar negeri, juga pendidikan masyarakatnya agar mencapai kehormatan, kemuliaan, perhatian kepada kebangsaannya, hingga batas yang paling jauh”.

Arkan Al-Fahmu dengan 20 prinsip yang dikemukakan Al Banna merupakan deklarasi bahwa Islam adalah solusi, bukan problem. Karena Islam adalah solusi maka kaidah-kaidah yang ada dalam Al-Fahmu ini akan menjadi modal pemahaman dasar dalam beramal siyasi. Sebagai contoh, kita perhatikan prinsip yang pertama yang menerangkan tentang Syumuliatul Islam.

“Islam adalah sistem yang syamil (menyeluruh) mencakup seluruh aspek kehidupan. Ia adalah Negara dan tanah air, pemerintahan dan umat, moral dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan, peradaban dan undang-undang, ilmu pengetahuan dan hukum, materi dan kekayaan alam, penghasilan dan kekayaan, jihad dan dakwah, serta pasukan dan pemikiran. Sebagaimana ia juga aqidah yang murni dan ibadah yang benar, tidak kurang tidak lebih”.

Indonesia sebagai salah satu negara yang mengadopsi gagasan demokrasi, sebagaimana berlaku di berbagai negara-negara di dunia, dalam konstitusi dan berbagai peraturan  perundangan-undangan serta konvensi yang ada mengakui dan menjamin hak-hak politik warga negaranya. Pengakuan akan adanya jaminan hak-hak politik rakyat merupakan syarat mutlak adanya legitimasi suatu pemerintahan demokrasi. Dengan kata lain pemerintahan negara akan kehilangan hak moral untuk memerintah apabila sudah tidak dapat menjamin hak-hak dasar rakyatnya, termasuk hak mereka untuk berpolitik.

Hak-hak politik seseorang di samping   mendapatkan jaminan dari hukum yang berlaku secara nasional juga dilindungi dalam  Piagam Hak-hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights). Jaminan yang sama juga telah ditegaskan oleh syariat Islam, untuk melindungi hak-hak asasi manusia yakni melindungi akal manusia, melindungi kehormatan manusia, melindungi kebersihan keturunan manusia, melindungi hak milik serta melindungi jiwa manusia.

Dalam perspektif gagasan demokrasi, partisipasi politik warga negara, dalam politik tidak hanya terbatas pada pelaksanaan keputusan politik (policy) akan tetapi partisipasi politik  meliputi tiga tahap yakni  berpartisipasi pertama, pada tahap  input untuk bisa berupa dukungan (support)  dan juga bisa berupa tuntutan (demands), kedua pada tahap proses perumusan kebijakan, yang ketiga berpartisipasi pada pelaksanaan kebijakan.

Agar seseorang atau sekelompok orang atau komunitas tertentu, termasuk juga  komunitas gerakan Islam, dapat berpartisipasi dengan efektif pada ketiga level sebagaimana disebutkan di atas  serta agar output dari kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak merugikan kepentingan umat, maka umat harus menyampaikan aspirasinya melalui  wadah-wadah politik yang  ada, seperti ormas, partai politik dan kelompok penekan seperti LSM, dan bila telah memungkinkan gerakan dakwah harus terlibat dalam proses pengambilan kebijakan pada setiap level.

Bagi gerakan dakwah, pilihan yang tidak bisa dihindarkan dalam sistem pemerintahan seperti ini adalah mengambil peran partisipasi politik (musyarakah siyasiyah) secara optimal. Musyarakah siyasiyah dimaksudkan untuk mengarahkan pengambilan kebijakan agar mendatangkan kemaslahatan yang seluas-luasnya bagi masyarakat, serta menghindarkan munculnya kemudharatan dan kerusakan di berbagai bidang kehidupan.

Dalam ungkapan yang lain, musyarakah adalah upaya untuk melakukan hirasatud din dan ri’ayatud dunya, sebagaimana diistilahkan oleh Imam Al Mawardi. Keterlibatan secara langsung dalam pentas perpolitikan, bagi gerakan dakwah tidak ada makna yang lebih penting, kecuali untuk menunaikan dua misi dalam waktu yang bersamaan, yaitu menjaga nilai-nilai luhur agama (hirasatud din) dan memakmurkan dunia (ri’ayatud dunya).

Islam telah meletakkan kewajiban kepada kaum muslimin dan muslimat untuk melakukan upaya perubahan dengan serius dan sistemis, sebagaimana sabda Nabi saw:
Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran hendaklah mengubah dengan tangannya. Jika ia tidak mampu, hendaklah mengubah dengan lisannya. Jika ia tidak mampu hendaklah ia mengubah dengan hatinya, dan yang demikian itu adalah selemah-lemah iman” (Riwayat Muslim).

Telah sama-sama diketahui bahwa cara yang efektif untuk mencegah kemungkaran adalah dengan terlibat dalam pengambilan kebijakan atau kekuasaan. Apabila kekuasaan berada di tangan orang-orang shalih, atau didukung oleh orang-orang shalih, maka memiliki kesempatan yang lebih besar untuk menolak kemungkaran dalam kehidupan masyarakat luas. Sebaliknya, jika kekuasaan di tangan orang zhalim, maka akan bisa digunakan untuk mengembangkan kemungkaran dan kezhaliman secara luas.

Tentu saja yang dimaksud dengan kemungkaran yang wajib dicegah bukan hanya terbatas pada zina, judi, mabuk dan penyakit sosial semacam itu. Dr. Yusuf Qaradhawi menampik anggapan sempit seperti itu seraya menambahkan penjelasan, ”Merendahkan harga diri bangsa adalah kemungkaran. Berlaku curang dalam Pemilihan Umum adalah kemungkaran. Enggan memberikan suara (kesaksian) dalam Pemilihan Umum adalah kemungkaran. Menyerahkan urusan kepada orang yang tidak memiliki kompetensi adalah kemungkaran”.
Bahkan menurut Qaradhawi, ”Mencuri kekayaan negara adalah kemungkaran. Memonopoli barang-barang pokok untuk kepentingan pribadi  atau kelompok adalah kemungkaran. Menangkap seseorang yang tidak melakukan kesalahan adalah kemungkaran. Menyiksa orang dalam tahanan atau penjara adalah kemungkaran. Memberi dan menerima suap adalah kemungkaran. Menjilat dan memuji pejabat dengan berlebihan adalah kemungkaran.”

Inilah berbagai kemungkaran yang bisa dicegah dengan sarana kekuasaan, sekaligus untuk memastikan berbagai kemaslahatan yang bisa diraih dengan kekuasaan tersebut.

Salah satu sarana perubahan yang cukup efektif dalam sistem demokrasi saat ini adalah partai politik. Untuk itulah beragam gerakan dakwah di berbagai belahan dunia, mulai melibatkan diri dalam partai politik. Bahkan salah seorang tokoh gerakan Salaf di Kuwait, Syaikh Abdurrahman Abdul Khaliq mendukung pembentukan partai politik dan menentang orang-orang yang menolak pembentukan partai politik. Beliau mengungkapkan:
“Lembaga-lembaga dan sarana-sarana (partai-partai dan jama’ah-jama’ah) ini bukan merupakan sesuatu yang haram atau dosa, tetapi ia termasuk dalam mashalih mursalah dan tidak ada nash syar’i yang melarangnya. Pembentukan partai-partai, kelompok-kelompok, atau perkumpulan-perkumpulan dengan segala macam bentuk sistem demokrasi diperbolehkan. Dengan catatan bahwa pendapat dan visinya tidak menetapkan hal-hal yang dilarang agama dan tidak merestui mereka yang berbuat kebatilan. Mereka harus melalui jalan damai dan dakwah yang terbuka, guna mengubah dan menghilangkan politik kekerasan dan terselubung. Ini semua pada hakikatnya terpuji dalam agama, bahkan merupakan pokok dalam berdakwah”.
Jauh masa sebelum itu, Ibnul Qayyim telah mengungkapkan, “Ada bidang politik yang dibangun sesuai dengan maslahat yang berbeda di setiap masa yang berbeda, ada pula syariat umum yang tetap menjadi kewajiban umat hingga hari kiamat. Sedangkan politik mengikuti serta terikat dengan kemaslahatan yang disesuaikan dengan masa dan tempat. Hal ini secara keseluruhan disepakati oleh para ulama”.

Dengan prinsip pemikiran tersebut, kita menyaksikan berbagai gerakan Islam telah memasuki kawasan kelembagaan politik. Sebagai contoh, Jamaah Al Ikhwan Al Muslimun di Mesir  pernah berkoalisi dengan Partai Wafd pada Pemilihan Umum tahun 1951. Pernah pula berkoalisi dengan Partai Wafd Baru pada Pemilihan Umum multipartai pertama pada masa  pemerintahan Anwar Sadat, kemudian berkoalisi dengan Partai Buruh dan Partai Ahrar dalam Pemilihan Umum berikutnya.

Jamaah Salafiyah di Kuwait ikut ambil bagian dalam Pemilihan Umum, juga berkoalisi dengan tokoh-tokoh dan partai politik lainnya. Jamaah ini memiliki wakil-wakil di parlemen dan juga menteri-menteri dalam kabinet. Jama’at Islami di Pakistan juga berkoalisi dengan partai-partai lainnya dalam membentuk pemerintahan.

Gerakan Islam di Yaman membentuk sebuah partai politik bernama Partai Pembaharuan Islam, berkoalisi dengan partai sekuler, sampai pemimpin Partai Pembaharuan Islam, Syaikh Abdullah Al Ahmar menjadi ketua umum parlemen. Jamaah Al Ikhwan Al Muslimun di Yordania berkoalisi dengan partai-partai lain dan berhasil meraih kursi mayoritas di parlemen.

Gerakan-gerakan Islam di Al Jazair bersama-sama mendirikan Partai Front Penyelamatan Islam (FIS) dan ikut Pemilihan Umum yang berlangsung secara demokratis, akhirnya meraih kemenangan mutlak, meskipun akhirnya dibatalkan secara sepihak oleh junta militer. Gerakan Islam di Turki membentuk partai politik, setelah beberapa kali mengalami pasang surut dan berganti nama, Partai Refah  berkoalisi dengan partai-partai sekuler akhirnya meraih dukungan mayoritas dari rakyat, meskipun akhirnya dianulir oleh militer. Bahkan Partai Keadilan dan Pembangunan di Turki telah meraih kemenangan mayoritas dalam Pemilihan Umum tahun 2002.

Lewat kiprah partai politik tersebut, diharapkan gerakan dakwah memiliki peran dan pengaruh positif dalam mengelola pemerintahan negara, sebagaimana cita-cita Syaikh Hasan Al Banna, “memperbaiki pemerintahan sampai menjadi pemerintahan Islam yang sebenarnya; sehingga dapat memainkan perannya sebagai pelayan dan pekerja umat demi kemaslahatannya”.

Mengenai bentuk pemerintahan, tidak menjadi keharusan syariat untuk ditetapkan dengan sebuah bentuk tertentu. Syaikh Hasan Al Banna menjelaskan dengan, “Bentuk dan jenis pemerintahannya tidak menjadi persoalan sepanjang sesuai dengan kaidah-kaidah umum dalam pemerintahan Islam”. Artinya, syariat tidak mengharuskan adanya bentuk pemerintahan tertentu, akan tetapi lebih kepada substansi pemerintahan yang dikehendaki.

Syaikh Said Hawa ketika mengambil pelajaran penting dari ungkapan Al Banna di atas, memberikan penjelasan sebagai berikut: “Jika kita berpegang kepada prinsip-prinsip ini dengan cara pandang yang luas, maka perjalanan menegakkan kedaulatan akan mengambil pola yang relatif lunak. Dengan demikian, kita bisa menjadikan pihak-pihak yang berpotensi memerangi menjadi para pendukung”. Penjelasan ini tampaknya penting dikemukakan, mengingat temperamen beberapa kalangan aktivis yang cenderung menggunakan pola-pola kekerasan dalam upaya untuk perbaikan pemerintahan.

“Kadang-kadang,” tulis Said Hawa, “kita menjumpai suatu sistem yang tidak perlu bermusuhan dengannya. Untuk itu, kita perlu mengembangkan dan menggiringnya menuju kondisi yang lebih baik. Dengan demikian para pendukungnya akan merasa tenang berhadapan dengan kita, namun dengan syarat sistem itu bersesuaian dengan kaidah umum dalam Islam”.

Prinsip ini menampakkan sisi-sisi orisinalitas ajaran Islam yang memang moderat. Praktek penyelenggaraan pemerintahan bukan merupakan wilayah pembahasan yang telah dihukumi dengan qath’i pada aspek bentuk dan teknis, tetapi masuk dalam wilayah ijtihad yang amat elastis. Akan tetapi, bagaimanapun bentuk pemerintahan yang telah dihasilkan lewat ijtihad, esensi sebuah pemerintahan tidak boleh terhilangkan.
Lebih lanjut Al Banna menjelaskan pemerintahan yang dimaksud, “Di antara sifat-sifatnya adalah rasa tanggung jawab, kasih sayang kepada rakyat, bersikap adil sesama manusia, menahan diri dari harta rakyat dan menghemat penggunaannya. Sedangkan kewajiban-kewajibannya antara lain memelihara keamanan, melaksanakan undang-undang, menyebarkan pengajaran, mempersiapkan kekuatan, menjaga kesehatan masyarakat, memelihara kepentingan umum, mengembangkan kekayaan negara, menjaga keselamatan harta benda, meninggikan akhlaq dan menyampaikan dakwah”.

“Adapun hak-haknya, setelah menjalankan semua kewajiban, antara lain: loyalitas, ketaatan dan dukungan jiwa raga yang diberikan oleh rakyat. Apabila pemerintah lalai melaksanakan kewajibannya, maka berilah nasihat dan bimbingan. Jika itu tidak membawa perubahan, maka dicabutlah loyalitas dan ketaatan darinya, karena tidak ada kewajiban untuk taat kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah”, demikian tulis Al Banna.

Wallahu a’lam bish shawab.

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2011/09/14458/integrasi-politik-dan-dakwah/#ixzz1aLDRrLIG