Rabu, 21 September 2011

Pantaskah Kita?

Oleh: Ario Muhammad

0diggsdigg
email
dakwatuna.com - Bismillah…

Dalam getaran yang berlalu seperti hari-hari sebelumnya. KAU hadir kembali menghentakkan seluruh jiwa agar tunduk kembali pada-Mu. Seperti senja yang selalu terkenang, kemudian gerimis di awal malam yang dingin dan membekukan, memoar-memoar itu kembali terjadi namun dalam bahasa yang tak biasa. Kali ini terasa berbeda. Ketika satu persatu perenungan mulai menggugurkan keangkuhanku agar lebih merasa bahwa sungguh, tak ada yang lebih mulia selain keshalihan yang berbalut dengan hati yang ikhlas dalam beramal hanya karena-Mu.

Menyadari, betapa titik-titik khilaf itu membuat diri ini semakin abu-abu jika tak ingin dibilang sebagai lumpur hitam yang pekat. Ahhh… apalagi yang paling indah selain amalan yang bercahaya, jiwa yang tersemai dan selalu tertaut dengan-Mu, mata yang senantiasa tunduk dalam pandangan ke-tawadhu-an di hadapan-Mu, serta sentuhan-sentuhan akhlaq yang mengagumkan dalam balutan kematangan pribadi di dalam diri. Keindahan itu, terasa begitu jauh untuk disentuh, apalagi jika diharap untuk kumiliki.

Lalu, haruskah kuhentikan doa agar yang menjadi imaji itu bisa datang menghampiri ? Sedangkan kenikmatannya, jika saja diketahui oleh semua penduduk bumi, tentu mereka akan berlari menghimpunnya untuk dikumpulkan dalam pribadi-pribadi mereka, meski itu melelahkan, menjenuhkan, atau bahkan menguras habis energi yang dimiliki. Sungguh, impian ini tak boleh sedikit pun hilang dan pergi.

Sekarang, kita tak lagi berbicara soal JIKA dan JIKA, namun lebih kepada PANTAS dan TAK PANTAS. Kalau saja engkau merasa tinggi, sejatinya dirimu tak lebih hanya karakter yang hina, sebab orang yang bijak, tak pernah merasa bijak, apalagi orang yang shalih, mereka sama sekali tak pernah merasa shalih. Lalu, rasa tinggi, angkuh, merasa hebat, pantaskah kau pakai ? sedangkan sifat SOMBONG, hanya berhak dimiliki oleh-Nya.

Sekali lagi, kita tak ingin membicarakan soal JIKA dan JIKA, namun PANTAS dan TAK PANTAS. Jikalau pun masih ada sebersit rasa yang memberi jawab bahwa kita merasa berharga, sejatinya diri, tak lebih dari sekedar insan yang tak pernah bernilai di mata-Nya. Karena sudah bisa dipastikan, rasa berharga yang menancap erat dalam jiwamu tak lebih dari bisikan kecil syaitan untuk membuatmu riya dalam beramal, mengerdilkan orang lain dengan pengetahuanmu, juga mengecilkan kehangatan ukhuwah hanya dengan segelintir  rasa tinggimu. TAK PANTAS.. sungguh takkan pernah pantas,  jika engkau mau membandingkan dan menyamakan kesesuaianmu bersama mereka yang senantiasa merendah, menyentuh bumi dalam keindahan akhlaq yang mempesona nan menggetarkan.

Ini bukan tentang JIKA dan JIKA.. Namun PANTAS dan TAK PANTAS…

Maka layaklah.. Ketika akhirnya aku berkesimpulan, bahwa takkan pernah pantas, mereka yang amalnya tak seberapa, mengharap balasan terindah dari-Nya, mereka yang hatinya tak seberapa cinta pada Allah, mengharap dekapan erat-Nya sembari memberi setumpuk pahala, Takkan pernah layak. Karena bagi-Nya, ke IKHLAS-an tetap yang utama, seberapa besar pun amal yang kau kerjakan.

Kemudian, jika sebuah kesimpulan itu terlanjur kuambil, bahwa takkan pernah pantas, mereka yang kerja-kerjanya hanya sebatas dunia meminta atau justru memaksa mengambil nikmat dari-Nya, bahwa ingin-ingin-nya hanya tertuju pada kesemuan mencederai harap-harap mereka dengan meyakini bahwa Allah meridhai mereka, padahal hanya sebentuk istidraj atas nikmat yang ada, juga nafsunya yang tak pernah putus mematikan ruh (jiwa) yang dimilikinya, pantaskah mereka meminta sebuah kebersamaan yang tak pernah layak untuk dimiliki oleh mereka ? Takkan pernah layak.. Sampai kapan pun, di manapun, mereka takkan pernah layak memilikinya.

Hanya saja.. Begitulah Allah. DIA adalah Sang Maha Pengasih, Penebar cinta bagi makhluk-Nya. Meski engkau hina, engkau kotor, engkau pekat, Rabb-mu tetaplah penyayang. Jika engkau khilaf dalam kurun waktu yang tak terhitung, maka cobalah kau kejar segala takaran keindahan yang Allah sediakan untukmu. Selalu saja, yang kau dapatkan adalah ketundukan diri, bahwa Allah ternyata begitu melimpah nikmat-Nya.

JIKA dan JIKA… Tak lagi terpakai di sini. Janganlah kamu berspekulasi tentang JIKA sesuatu yang akan terjadi nanti tak sesuai dengan yang kau ingini, maka akan begitu KECEWA nya diri ini. JIKA apa-apa yang kau kehendaki akhirnya kau miliki, maka betapa bahagianya hari ini. Namun berpikirlah tentang PANTAS dan TAK PANTAS untuk kau miliki. Sudah ia layak untuk kau punyai ? sudahkah iman dan cintamu pada Allah telah membuatmu layak untuk memiliki segala apa yang kau ingini ? jika belum… Semoga kita semua mau merubahnya..

Selasa, 20 September 2011

Hukum Laki-Laki Memandang Wanita

Oleh: Tim dakwatuna.com

dakwatuna.com - Allah menciptakan seluruh makhluk hidup berpasang-pasangan, bahkan menciptakan alam semesta ini pun berpasang-pasangan. Sebagaimana firman-Nya: “Maha Suci Allah yang telah menciptakan pasang-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.” (QS Yasin: 36)
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.” (QS Adz-Dzaariyat: 49)
Berdasarkan sunnah kauniyah (ketetapan Allah) yang umum ini, manusia diciptakan berpasang-pasangan, terdiri dari jenis laki-laki dan perempuan, sehingga kehidupan manusia dapat berlangsung dan berkembang. Begitu pula dijadikan daya tarik antara satu jenis dengan jenis lain, sebagai fitrah Allah untuk manusia.
Setelah menciptakan Adam, Allah menciptakan (dari dan untuk Adam) seorang istri supaya ia merasa tenang hidup dengannya, begitu pula si istri merasa tenang hidup bersamanya. Sebab secara hukum fitrah, tidak mungkin ia (Adam) dapat merasa bahagia jika hanya seorang  diri, walaupun dalam surga ia dapat makan minum secara leluasa.
Seperti telah saya singgung di muka bahwa taklif ilahi (tugas dari Allah) yang pertama adalah ditujukan kepada kedua orang ini sekaligus secara bersama-sama, yakni Adam dan istrinya: “… Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.” (QS Al-Baqarah: 35)
Karena itu, tidaklah dapat dibayangkan seorang laki-laki akan hidup sendirian, jauh dari perempuan, tidak melihat perempuan dan perempuan tidak melihatnya, kecuali jika sudah keluar dari keseimbangan fitrah dan menjauhi kehidupan—sebagaimana cara hidup kependetaan yang dibikin-bikin kaum Nasrani.
Tidak dapat dibayangkan bagaimana wanita akan hidup sendirian dengan menjauhi laki-laki. Bukankah kehidupan itu dapat tegak dengan adanya tolong-menolong dan bantu-membantu antara kedua jenis manusia ini dalam urusan-urusan dunia dan akhirat?
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain…” (QS At-Taubah: 71)
Hakikat lain yang wajib diingat di sini—berkenaan dengan kebutuhan timbal balik antara laki-laki dengan perempuan—bahwa Allah SWT telah menanamkan dalam fitrah masing-masing dari kedua jenis manusia ini rasa ketertarikan terhadap lawan jenisnya dan kecenderungan syahwati yang instinktif. Dengan adanya fitrah ketertarikan ini, terjadilah pertemuan (perkawinan) dan reproduksi, sehingga terpeliharalah kelangsungan hidup manusia dan planet bumi ini.
Dalam kaitan ini, baiklah kita bahas antara hukum memandang laki-laki terhadap  perempuan. Kami menguatkan pendapat  jumhur  ulama yang menafsirkan firman Allah: “…Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) tampak daripadanya…” (QS An-Nur: 31 )
Menurut jumhur ulama, perhiasan yang biasa tampak itu ialah “wajah dan telapak tangan.” Dengan demikian, wanita boleh menampakkan wajahnya dan kedua telapak  tangannya, bahkan (menurut pendapat Abu Hanifah dan Al-Muzni) kedua kakinya.
Apabila wanita boleh menampakkan bagian tubuhnya ini (muka dan tangan/kakinya), maka bolehkah laki-laki  melihat kepadanya ataukah tidak?
Pandangan pertama (secara tiba-tiba) adalah tidak dapat dihindari sehingga dapat dihukumi sebagai darurat. Adapun pandangan berikutnya (kedua) diperselisihkan hukumnya oleh para ulama.
Yang dilarang dengan tidak ada keraguan lagi ialah melihat dengan menikmati (taladzdzudz) dan bersyahwat, karena ini merupakan pintu bahaya dan penyulut api. Oleh sebab itu, ada ungkapan, “memandang merupakan pengantar perzinaan”.
Dan bagus sekali apa yang dikatakan oleh Syauki ihwal memandang yang dilarang ini, “Memandang (berpandangan) lalu tersenyum, lantas mengucapkan salam, lalu bercakap-cakap, kemudian berjanji, akhirnya bertemu.”
Adapun melihat perhiasan (bagian  tubuh) yang tidak biasa tampak, seperti rambut, leher, punggung, betis, lengan (bahu), dan sebagainya, tidak diperbolehkan bagi selain mahram, menurut ijma. Ada dua kaidah yang menjadi acuan masalah ini beserta masalah-masalah yang berhubungan dengannya.
Pertama, bahwa sesuatu yang dilarang itu diperbolehkan ketika darurat atau ketika dalam kondisi membutuhkan, seperti kebutuhan berobat, melahirkan, dan   sebagainya. Demikian pula pembuktian tindak pidana, dan lain-lainnya yang diperlukan dan menjadi keharusan, baik untuk perseorangan maupun masyarakat.
Kedua, bahwa apa yang diperbolehkan itu menjadi terlarang apabila dikhawatirkan terjadinya fitnah, baik kekhawatiran itu terhadap laki-laki maupun perempuan. Dan hal ini apabila terdapat petunjuk petunjuk yang jelas, tidak sekadar perasaan dan  khayalan  sebagian orang-orang yang takut dan ragu-ragu terhadap setiap orang dan setiap persoalan.
Oleh karena itu, Nabi SAW pernah memalingkan muka anak pamannya yang bernama Fadhl bin Abbas, agar tidak melihat wanita Khats’amiyah pada waktu haji, ketika beliau melihat Fadhl berlama-lama memandang wanita itu. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Fadhl bertanya kepada  Rasulullah SAW, “Mengapa engkau palingkan muka anak pamanmu?”
Beliau menjawab, “Aku melihat seorang pemuda dan seorang pemudi, maka aku  tidak merasa aman akan gangguan setan terhadap mereka.”
Kekhawatiran akan terjadinya fitnah itu kembali kepada hati nurani si Muslim, yang wajib mendengar dan menerima fatwa, baik dari hati nuraninya sendiri maupun orang lain. Artinya, fitnah itu tidak dikhawatirkan terjadi jika hati dalam kondisi sehat, tidak dikotori syahwat, tidak dirusak syubhat (kesamaran), dan tidak menjadi sarang pikiran-pikiran yang menyimpang.
Jadi, memandang itu hukumnya boleh dengan syarat jika tidak dibarengi dengan  upaya “menikmati” dan bersyahwat. Jika dengan menikmati dan bersyahwat, maka hukumnya haram. Karena itu, Allah menyuruh kaum mukminah menundukkan sebagian pandangannya sebagaimana Dia menyuruh laki-laki menundukkan sebagian pandangannya.
Allah SWT berfirman: “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pendangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya.” (QS An-Nur: 30-31)

Sumber: Fatwa-Fatwa Kontemporer, Yusuf  Qaradhawi

Hukum Wanita Memandang Laki-Laki

Oleh: Tim dakwatuna.com
dakwatuna.com - Di antara hal yang telah disepakati ialah bahwa melihat kepada aurat itu hukumnya haram, baik dengan syahwat maupun tidak, kecuali jika hal itu terjadi secara tiba-tiba,  tanpa sengaja.
Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits sahih dari Jarir bin Abdullah, ia berkata, “Saya bertanya kepada Nabi SAW tentang memandang (aurat orang lain) secara tiba-tiba (tidak disengaja). Lalu beliau bersabda, ‘Palingkanlah pandanganmu.” (HR Muslim)

Lantas, apakah aurat laki-laki itu? Bagian mana saja yang disebut aurat laki-laki? Kemaluan adalah aurat mughalladzah (besar/berat) yang telah disepakati akan keharaman membukanya di hadapan orang lain dan haram pula melihatnya, kecuali dalam kondisi darurat seperti berobat dan sebagainya. Bahkan kalau aurat ini ditutup dengan pakaian tetapi tipis atau menampakkan bentuknya, maka ia juga terlarang menurut syara’.

Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa paha laki-laki termasuk aurat, dan aurat laki-laki ialah antara pusar dengan lutut. Mereka mengemukakan beberapa dalil dengan hadits-hadits yang tidak lepas dari cacat. Sebagian mereka menghasankannya dan sebagian lagi mengesahkannya karena banyak jalannya, walaupun masing-masing hadits itu tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu hukum syara’.

Sebagian fuqaha lagi berpendapat bahwa paha laki-laki itu bukan aurat, dengan berdalilkan hadits Anas bahwa Rasulullah SAW pernah membuka pahanya dalam beberapa kesempatan. Pendapat ini didukung oleh Muhammad Ibnu Hazm.

Menurut mazhab Maliki sebagaimana termaktub dalam kitab-kitab mereka bahwa aurat mughalladzah laki-laki ialah qubul (kemaluan) dan dubur saja, dan aurat ini bila dibuka dengan sengaja membatalkan shalat.
Dalam hal ini terdapat rukhshah (keringanan) bagi para olahragawan dan sebagainya yang biasa mengenakan celana pendek, termasuk bagi penontonnya, begitu juga bagi para pandu (pramuka) dan pecinta alam. Meskipun demikian, kaum Muslimin berkewajiban menunjukkan kepada peraturan internasional tentang ciri khas kostum umat Islam dan apa yang dituntut oleh nilai-nilai agama semampu mungkin.

Perlu diingat bahwa aurat laki-laki itu haram dilihat, baik oleh perempuan maupun sesama laki-laki. Ini merupakan masalah yang sangat jelas. Adapun terhadap bagian tubuh yang tidak termasuk aurat laki-laki, seperti  wajah, rambut, lengan, bahu, betis, dan sebagainya, menurut pendapat yang sahih boleh dilihat, selama tidak disertai syahwat atau dikhawatirkan terjadinya fitnah. Ini merupakan pendapat jumhur fuqaha umat, dan ini diperlihatkan oleh praktek kaum muslim sejak zaman Nabi dan generasi sesudahnya, juga diperkuat oleh beberapa hadits sharih (jelas) dan tidak bisa dicela.

Adapun masalah wanita melihat laki-laki, maka dalam hal ini terdapat dua riwayat. Pertama, ia boleh melihat laki-laki asal tidak pada auratnya. Kedua, ia tidak boleh melihat laki-laki melainkan hanya bagian tubuh yang laki-laki boleh melihatnya. Pendapat ini yang dipilih oleh Abu Bakar dan merupakan salah satu pendapat di antara dua pendapat Imam Syafi’i.

Hal ini didasarkan pada riwayat Az-Zuhri dari Ummu Salamah, yang berkata, “Aku  pernah duduk di sebelah Nabi SAW, tiba-tiba Ibnu Ummi Maktum meminta izin masuk. Kemudian Nabi saw bersabda, ‘Berhijablah kamu daripadanya. ‘Aku berkata, wahai Rasulullah, dia itu tuna netra.’ Beliau menjawab dengan nada bertanya, ‘Apakah  kamu berdua (Ummu Salamah dan Maimunah) juga buta dan tidak melihatnya?” (HR Abu Daud dan lain-lain)

Larangan bagi wanita untuk melihat aurat laki-laki didasarkan pada hipotesis bahwa Allah menyuruh wanita menundukkan pandangannya sebagaimana Dia menyuruh laki-laki berbuat begitu. Juga didasarkan pada hipotesis bahwa wanita itu adalah salah satu dari dua jenis anak Adam (manusia), sehingga mereka haram melihat (aurat) lawan jenisnya. Haramnya bagi wanita ini dikiaskan pada laki-laki (yang diharamkan melihat kepada lawan jenisnya).

Alasan utama diharamkannya melihat itu karena dikhawatirkan terjadinya fitnah. Bahkan kekhawatiran ini pada wanita lebih besar lagi, sebab wanita itu lebih besar syahwatnya dan lebih sedikit (pertimbangan) akalnya.

Nabi SAW bersabda kepada Fatimah binti Qais, “Beriddahlah engkau di rumah Ibnu Ummi Maktum, karena dia seorang tuna netra, engkau dapat melepas pakaianmu sedangkan dia tidak melihatmu.” (Muttafaq alaih)
Aisyah berkata, “Adalah Rasulullah SAW melindungiku dengan selendangnya ketika aku melihat orang-orang Habsyi sedang bernain-main (olahraga) dalam masjid.” (Muttafaq alaih)

Dalam riwayat lain disebutkan, pada waktu Rasulullah SAW selesai berkhutbah shalat Id, beliau menuju kepada kaum wanita dengan disertai Bilal untuk memberi peringatan kepada mereka, lalu beliau menyuruh mereka bersedekah.

Seandainya wanita dilarang melihat laki-laki, niscaya laki-laki juga diwajibkan berhijab sebagaimana wanita diwajibkan berhijab, supaya mereka tidak dapat melihat laki-laki.

Jadi, memandang itu hukumnya boleh dengan syarat jika tidak dibarengi dengan upaya “menikmati” dan bersyahwat. Jika dengan menikmati dan bersyahwat, maka hukumnya haram. Oleh sebab itu, Allah menyuruh kaum mukminah menundukkan sebagian pandangannya sebagaimana Dia menyuruh laki-laki menundukkan sebagian pandangannya.

Firman Allah: “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya.” (QS An-Nur: 30-31)

Memang benar bahwa wanita dapat membangkitkan syahwat laki-laki lebih banyak daripada laki-laki membangkitkan syahwat wanita, dan memang benar bahwa wanita lebih banyak menarik laki-laki, serta wanitalah yang biasanya dicari laki-laki. Namun semua ini tidak menutup kemungkinan bahwa di antara laki-laki ada yang menarik pandangan dan hati wanita karena kegagahan, ketampanan, keperkasaan, dan kelelakiannya, atau karena faktor-faktor lain yang menarik pandangan dan hati perempuan.

Al-Qur’an telah menceritakan kepada kita kisah istri pembesar Mesir dengan pemuda pembantunya, Yusuf, yang telah membuatnya dimabuk cinta. Lihatlah, bagaimana wanita itu mengejar-ngejar Yusuf, dan bukan sebaliknya, serta bagaimana dia menggoda Yusuf untuk menundukkannya seraya berkata, “Marilah ke sini.” Yusuf berkata, “Aku berlindung kepada Allah.” (QS An-Nur: 23)

Apabila seorang wanita melihat laki-laki lantas timbul hasrat kewanitaannya, hendaklah ia menundukkan pandangannya. Janganlah ia terus memandangnya, demi  menjauhi timbulnya fitnah, dan bahaya itu akan bertambah besar lagi bila si laki-laki juga memandangnya dengan rasa cinta dan syahwat.

Akhirnya, untuk mendapat keselamatan, lebih baik kita menjauhi tempat-tempat dan hal-hal yang mendatangkan keburukan dan bahaya. Kita memohon kepada Allah  keselamatan dalam urusan agama dan dunia. Amin.

Sumber: Fatwa-Fatwa Kontemporer, Dr. Yusuf Qaradhawi

10 Langkah Mengendalikan Hawa Nafsu

Islamedia - Bagi seseorang muslim yang menyadari hakikat kehidupannya, akan senantiasa menjaga hati dari tipuan hawa nafsu yang menjerumuskan.
Nafsu adalah kecenderungan tabiat yang dirasa cocok. Kecenderungan ini merupakan suatu bentuk ciptaan Allah yang ada dalam diri manusia, sebagai urgensi keberlangsungan hidupnya. Karenanyalah manusia memiliki keinginan untuk makan, minum, dan menikah.

Nafsu dapat mendorong kepada sesuatu yang dikehendakinya. Ia akan berada pada jalur yang benar manakala dikendalikan . Namun sebaliknya, ia akan menghancurkan manusia jika nafsu yang mengendalikannya. Celaan terhadap nafsu dating ketika berlebih-lebihan dalam dua sikap ini, yakni yang melebihi sikap mendatangkan manfaat dan menolak mudhorot. Orang yang menuruti nafsu, syahwat dan rasa benci biasanya tidak konsisten pada batasa yang bermanfaat baginy, jarang ada orang yang bisa bersikap adil dengannya.

Allah tidak pernah menyebutkan nafsu di dalam kitabNya melaikan mencelanya. Begitupula tidak ada sebutan nafsu dalam sunnah melainkan dalam keadaan tercela, kecuali yang memang ada pembatasan, seperti sabda Rasulullah saw: “Laa yu’minu ahadakum hatta yakuuna hawaahu taba’an lima ji’tu bihi.” (Tidaklah seseorang diantara kalian beriman sehingga nafsunya mengikuti apa yang kubawa.)

Orang yang sudah dewasa akan diuji dengan hawa nafsu. Setiap saat akan muncul kondisi yang menciptakan dua hakim pada dirinya, yaitu hakim akal dan hakim agama. Dia diperintahkan agar senantiasa melaporkan kasus-kasus nafsu kepada dua hakim ini dan patiuh terhadap keputusannya. Dia harus berusaha melatih diri menyingkirkan hawa nafsu yang tidak baik akibatnya, agar dikemudian hari tidak mendapat kesengsaraan.

Jika kita memperhatikan tujuh golongan orang-orang yang mendapatkan perlindungan arsy Allah pada hari yang tiada perlindungan selain perlindungan-Nya, maka kita mendapatkan bahwa itu adalah hadiah karena menentang hawa nafsunya. Pemimpin yang memegang tampuk kekuasaan tidak mungkin bias berbuat adil kecuali dengan menentang nafsunya. Pemuda yang mementingkan ibadah kepada Allah semasa mudanya tidak akan mampu andaikan ia tidak menentang nafsunya. Orang yang hatinya bergantung pada masjid-masjid, bisa seperti itu karena dia menentang nafsu yang hendak menyeretnya kepada berbagai macam kenikmatan. Orang yang mengeluarkan shodaqohnya, andaikan ia tidak menentang nafsunya tentu tidak akan mampu berbuat seperti itu. Orang yang diajak wanita yang cantik dan terpandang, lalu dia takut kepada Allah dan menentang nafsunya dan orang yang mengingat Allah dalam keadaan sendirian, hingga kedua matanya meneteskan airmata mampu berbuat seperti itu kecuali dia menentang hawa nafsunya. Mereka tidak mengenal panas, siksaan dan kesulitan pada hari kiamat. 

Untuk selamat dari jeratan hawa nafsu, seorang hamba harus dengan sepenuh hati bersungguh-sungguh melawan hasrat buruknya. Dengan taufik Allah, ia akan selamat darinya seraya mencermati langkah-langkah pengendalian berikut:

Menyadari bahwa nafsu adalah dinding pagar yang mengitari jahannam. Barang siapa yang terseeret ke dalam nafsu, berarti dia terseret ke dalam neraka. Sabda nabi, “Syurga dikelilingi dengan hal-hal yang tidak disukai dan neraka itu dikelilingi dengan berbagai syahwat.” Orang yang mengikuti nafsu dikhawatirkan akan lepas dari iman, sementara dia tidak menyadarinya. Mengikuti nafsu bias menutup pintu taufik bagi manusia dan membuka pintu penyesalan. Fudhail bin ‘Iyadh berkatam “Barangsiapa yang mengikuti nafsu dan menuruti syahwatnya maka terputuslah tali taufik dari dirinya.” Memanjakan nafsu berarti merusak akal dan fikirannya dan itu berarti mengkhianati Allah dalam hal penggunaana akal. Mengikuti nafsu membuat hamba tidak bias bangkit untuk mencapai syurga bersama-sama dengan orang yang berhasil mendapatkannya. Muhammad bin Abdul Warad berkata, “Sesungguhnya Allah mempunyai satu hari, siapa yang tunduk kepada nafsunya tidak akan bisa selamat dari siksaan-Nya. Di antara orang-orang yang jatuh dan tidak bisa bangkit pada hari kiamat ialah orang yang tunduk kepada nafsunya.”

Menyadari bahwa dengan menentang nafsu akan menghasilkan kekuatan tubuh, hati dan lidah manusia. Orang salaf berkata, “Orangyang mampu mengalahkan hawa nafsunya lebih kuat daripada orang yang mampu menaklukkan sebuah kota sendirian.” Orang yang paling ksatria adalah yang paling keras menentang hawa nafsunya. Muawiyah berkata, “Sifat ksatria ialah yang meninggalkan syahwat dan menentang hawa nafsu. Mengikuti hawa nafsu berarti mengurangi sifat ksatria.” Memerangi nafsu lebih hebat dan lebih berat daripada memerangi orang-orang kafir. Menentang nafsu bisa menyelamatkan penyakit hati dan badan sedangkan mengikutinya akan mendatangkan penyakit hati dan badan. Semua penyakit hati berasal dari mengikuti nafsu. Jika kita meneliti berbagai penyakit badan maka sebagian beasr berasal dari memperturutkan hawa nafsu.

Menyadari bahwa tidak ada satupun hari yang berlalu melainkan nafsu dan akan saling bergelut di dalam diri orang yang besangkutan. Mana yang dapat mengalahkan rivalnya, maka dia akan mengusirnya dan menguasainya. Abu Darda r.a. berkata, “Jika pada diri seseorang berkumpul nafsu dan amal, lalu amalnya mengikuti nafsunya, maka hari yang dilaluinya adalah hari yang buruk. Jika nafsunya mengikuti amalnya, maka harinya adalah hari yang baik.”

Menyadari bahwa dia diciptakan bukan untuk kepentingan nafsu, tetapi untuk sesuatu urusan yang besar yang tidak bias dicapai kecuali dengan menentangnya. Tidak boleh baginya memilih bahwa hewan lebih baik daripada dirinya. Dengan tabiatnya saja hewan bias membedakan mana yang membahayakan dan mana yang menyelamatkan, lalu ia memilih yang bermanfaat baginya dan meninggalkan yang berbahaya. Manusia diberi akal dalam masalah ini. Jika dia tidak bias membedakan mana yang dapat membahayakan dan mana yang bermanfaat baginya, atau mengetahui tapi justru memlih yang berbahaya, berarti keadaan hewan lebih baik dari keadaannya.

Sesungguhnya Allah menjadikan kesalahan dan mengikuti nafsu sebagai dua hal yang berdampingan dan menjadikan kebenaran dan menentang nafsu sebagai dua hal yang berdampingan sebagaimana dikatakan oleh sebagian salaf, “jika ada masalah yang rumit engkau pecahkan, engkau tidak tahu mana yang benar, maka tinggalkanlah yang lebih dekat kepada nafsumu, karena sesuatu yang dekat dengan kesalahan ialah yang mengikuti hawa nafsu.”

Memiliki hasrat yang kuat untuk melawan hawa nafsunya sehingga timbul kecemburuan yang amat sangat terhadap dirinya sendiri jika melakukan kemaksiatan. Membalutnya dengan kesabaran dalam menghadapi kepahitan yang akan dihadapi ketika melawan hawa nafsunya sendiri. Membekalinya dengan kekuatan jiwa yang bisa mendorongnya untuk mereguk kesabaran itu, sebab semua bentuk keberanian merupakan kesabaran sekalipun hanya sesaat dan sebaik-baik hidup adalah jika seseorang mengetahui hidup itu dengan kesabarannya.

Melibatkan hati dalam mempertimbangkan akibat nafsu, sehingga dia bisa mengetahui seberapa banyak nafsu itu meloloskan ketaatan dan berapa banyak nafsu itu mendatangkan kehinaan. Berapa banyak satu suapan yang menghalangi beberapa suapan. Berapa banyak sedikit kenikmatan yang menghilangkan beberapa kenikmatan. Berapa banyak sedikit syahwat yang menghancurkan kehormatan, menundukkan kepala, menciptakan kenangan yang buruk, mengakibatkan celaan dan aib yang tidak bisa dicuci dengan air sementara mata orang yang menuruti hawa nafsu adalah mata orang yang buta.

Memikirkan apa yang dituntut oleh jiwanya, lalu berkata kepada akal dan agamanya, yang nantinya akan mengabarkan bahwa apa yang dituntut itu tidak ada artinya apa-apa. Abdullan bin Mas’ud berkata, “Jika salah seorang diantara kalian tertarik kepada seorang wanita, maka hendaklah dia mengingat-ingat keburukannya.” Mempertimbangkan kelanjutan yang baik dan kesembuhan yang terjadi di kemudian hari dan sebaliknya mempertimbangkan penderitaan yang semakin menjadi-jadi sebagai akibat menuruti kenikmatan hawa nafsu yang semu.

Menghinakan diri sendiri ketika tunduk kepada hawa nafsu, sebab tidaklah seseorang menuruti hawa nafsunya melainkan pasti akan mendapatkan kehinaan pada dirinya. Jangan tertipu kehebatan dan kesombongan orang-orang yang mengikuti nafsunya, padahal dilihat dari batinnya, mereka adalah orang-orang yang paling hina dina. Orang seperti itu memadukan antara kesombongan dengan kehinaan.

Kebanggan dapat menundukkan dan menaklukkan musuhnya. Allah suka jika hamba-Nya berani menghadapi musuhnya sebagaimana firman-nya, “Dan mereka tidak menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh melainkan dituliskan bagi mereka dengan demikian itu sebagai amal sholeh.” (At-Taubah: 120). Di antara tanda cinta yang tulus ialah melibas musuh kekasihnya dan mengalahkannya. Jika kita mencintai Allah maka kewajiban kita untuk mengalahkan musuh. Allah.

Maroji’: Rauah Al-Muhibbin wa Nuhzhah Al-Musytaqin, Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah, Darul Falah 1419 H

Kisah para tauladan menyambut kematiannya.

dakwatuna.com - Saudaraku, berikut ini kisah para Nabi dan sahabat yang mulia saat menyambut kematiannya. Kisah-kisah mereka penuh teladan, sarat pesan dan menjadi bahan renungan.

Kekasih Allah Ibrahim Allaihi Salam
Bercerita Imam Muhasabi dalam kitab “Ar-Riayah” bahwa Allah berfirman kepada Nabi Ibrahim, allaihi salam:  ”Wahai kekasihku, bagaimana engkau menemukan kematianmu?” Dia berkata: Seperti tusuk besi (yang dipakai untuk membakar daging) yang diletakan di atas bulu yang basah, kemudian ditarik.” Kemudian Allah berfirman, “Sungguh (yang demikian itu) telah kami mudahkan kematian bagimu, Wahai Ibrahim.”

Nabi Allah Daud, Allaihi Salam
Diriwayatkan bahwa malaikat maut datang untuk menjemput Nabi Daud alaihi salam.  Daud berkata: “Siapakah engkau?” Dia menjawab, “kami yang tidak takut raja dan tidak mengabaikan orang-orang kecil, kami juga tidak menerima suap”. Daud berkata: “Jika demikian, anda adalah malaikat kematian?” Dia menjawab: “Ya”, Daud balik berkata: “Kok, mendadak begini, aku tidak mendapatkan pemberitahuan (terlebih dahulu)” Malaikat berkata: “Hai Daud, di mana sahabat-mu fulan? Di mana pula si fulanah, tetanggamu?” “Mereka sudah mati”, jawab Daud. “Bukankah itu pemberitahuan padamu untuk bersiap-siap.”

Nabi yang diajak bicara oleh Allah, Musa allaihi salam
Dikisahkan bahwa Nabi Musa allaihi salam ketika jiwanya berangkat menuju Allah, Allah berfirman: “Hai Musa, Bagaimana kau menemukan kematian?” Dia menjawab, “Aku mendapati diriku seperti burung hidup yang digoreng di atas penggorengan, tidak mati sehingga aku istirahat, dan tidak bertahan hidup sehingga aku terbang”. Diriwayatkan bahwa Musa berkata: “Aku menemukan diriku sebagai seekor kambing dikuliti oleh tukang daging dalam keadaan hidup”.

Ruh Allah, Isa allaihi salam.
Isa putra Maryam, allaihi salam, berkata, “Wahai kaum Hawariyin, berdoalah kepada Allah agar kalian dimudahkan pada saat syakrat (maut) ini” Diriwayatkan bahwa kematian lebih berat dari tebasan pedang, gorokan gergaji dan capitan gunting.

Rasulallah saw menggambarkan kematian kepada para sahabatnya.
Diriwayatkan dari Syahr bin Husyab dia berkata, Rasulullah saw ditanya tentang beratnya kematian? Dia (saw) bersabda, “kematian yang paling ringan adalah seperti bulu wol yang tercerabut dari kulit domba. Apakah mungkin kulit dapat keluar kecuali bersama bulu-bulunya itu?”

Abu Bakar As-shidiq, radiallahu anhu.
Ketika Abu Bakar radiallahu anhu menghadapi hari-hari kematiannya, dia sering membaca, “dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya” (Qur’an Surah: Qaaf 19).
Dia berpesan kepada Aisyah, puterinya: “Lihatlah kedua pakaianku ini, cucilah keduanya dan kafankan aku dengannya. Sesungguhnya mereka yang hidup lebih utama menggunakan baju baru daripada yang sudah jadi mayit.”

Di detik-detik menjelang kematiannya, ia berpesan kepada Umar dengan berkata, “Aku berpesan padamu dengan satu wasiat, sebab tak mungkin engkau mendahuluiku. Sesungguhnya Allah Maha Benar dengan tidak pernah membuat malam mendahului siang, dan siang tak pernah mendahului malam. Sesungguhnya, tidak diterima ibadah-ibadah sunah, jika yang wajib tak ditunaikan. Dan, akan diberatkan timbangan (kebaikan) di akhirat bagi mereka yang menunaikan hak-hak di dunia. Dan akan diringankan timbangan (kebaikan) seseorang di akhirat jika diikuti dengan kebatilan.

Umar bin Khathab, radiallahu anhu.
Ketika Umar bin Khattab ditusuk oleh seseorang, Abdullah bin Abbas datang menjenguknya, dia berkata: “Engkau telah masuk Islam saat orang-orang (lain) masih kafir. Dan engkau selalu berjihad bersama Rasulallah SAW saat orang-orang (lain) malas. Saat Rasulallah SAW wafat dia sudah ridha denganmu”. Umar kemudian berkata, “Ulangi ucapanmu!” Maka diulang kepadanya. Dia kemudian berkata, “celakalah orang yang tertipu dengan ucapan-ucapanmu itu.”

Abdullah bin Umar, puteranya, berkata: waktu itu kepala ayahku di pangkuanku, saat sakit menjelang kematian. Ayah berkata, “letakan kepalaku di atas tanah!” Aku menjawab, “Bagaimana ayah, apakah tidak sebaiknya di atas pangkuanku saja.” “Celaka kamu, letakan di atas tanah.” Ayah setengah membentak. Kemudian, Abdullah bin Umar meletakannya di atas tanah. Umar berkata, “Celaka aku, celaka juga ibuku, jika Tuhanku tidak menyayangi aku.”

Ustman bin Affan, radiallahu anhu.
Setelah ditusuk oleh orang-orang yang memberontak, hingga darah mengalir ke janggutnya, Ustman berkata, “Tidak ada Tuhan selain Engkau (ya Allah), Maha Suci Engkau sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim. Ya Allah, aku memohon perlindungan-Mu, dan pertolongan-Mu atas segala persoalanku, dan aku memohon pada-Mu diberikan kesabaran atas ujian ini.”

Setelah ia akhirnya wafat, para sahabatnya membuka lemari yang terkunci. Mereka mendapatkan satu kertas yang tertulis begini: “Bismillahirrahman ar-rahim, Ustman bin Affan bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, tak ada sekutu bagi-Nya. Dan bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya. Dan bahwa syurga adalah benar (adanya). Dan bahwa Allah kelak akan membangkitkan setiap yang dikubur pada hari yang tidak ada lagi keraguan padanya (kiamat). Sesungguhnya Allah tidak pernah mengingkari janji-Nya. Atas nama-Nya kita hidup, atas nama-Nya kita mati dan atas nama-Nya pula kita akan dibangkitan, insya-Allah.”

Ali bin Abi Thalib, radiallahu anhu.
Setelah ditusuk, Ali radiallahu anhu berkata: Apa yang sudah dilakukan terhadap orang yang menusukku? Mereka menjawab, “kami telah menangkapnya”. Ali berkata, “Beri makan dan minum dia dengan makanan dan minumanku. Jika aku hidup, aku ingin melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Jika aku mati, maka pukulah dia sekali pukul saja, jangan kalian tambahkan sedikitpun.”

Kemudian Ali berpesan kepada Hasan, puteranya, agar memandikannya. Ali berkata, “Jangan berlebih-lebihan dalam mengkafaniku, sesungguhnya aku mendengar Rasulallah SAW bersabda, janganlah bermewah-mewahan dalam berkafan sebab yang demikian itu menghimpit dengan keras.”

Kemudian Ali berpesan lagi: “Bawalah aku di antara rakyat. Jangan terlalu cepat, juga terlalu lambat. Jika aku memiliki kebaikan, niscaya (dengan membawa aku ke hadapan mereka) kalian telah mensegarakan aku menuju kebaikan itu. Jika aku memiliki keburukan, kalian telah mengantarkan aku untuk bertemu dengannya sebelum aku dihisab.”

Amr bin Ash, radiallau anhu.
Pada tahun 43 hijriyah, Amr bin Ash menemui kematiannya saat ia menjadi gubernur di negeri Mesir. Pada hari-hari terakhir menjelang kematiannya, ia berkata, “Aku dulu seorang kafir yang paling keras…. Aku juga orang terkeras pada Rasulallah SAW. Sekiranya aku mati ketika itu, aku pasti masuk neraka. Kemudian, aku berbaiat kepada Rasulallah SAW. Tak ada manusia yang paling aku cintai melebihi beliau SAW. Tak ada yang … Sekiranya aku diminta untuk membuat naat (pada saat kematiannya), niscaya aku tak mampu. Sebab, aku tak pernah bisa berhenti menyeka airmataku sebagai kekagumanku padanya. Sekiranya pada saat itu aku mati, aku mesti masuk syurga…. Kemudian aku diuji setelahnya dengan kekuasaan… dan dengan hal-hal yang aku tidak tahu, apakah akan menolongku atau membebani aku” Kemudian, Amr bin Ash mendongakan kepalanya ke langit, dan berkata,

“Ya Allah… tak ada lagi (alasan) pembebas….. Sehingga aku dapat meminta maaf. Tak ada lagi kekuasaan sehinga aku minta tolong. Sekiranya Engkau tidak merahmati aku, nicaya aku termasuk orang-orang yang celaka!!” Begitulah selalu ia memohon ampun kepada Tuhannya, hingga ajal menjemputnya dan ia mengucapkan, “La Ilaha Illa Allah…”
Diriwayatkan bahwa sebulan sebelum kematiannya, anaknya berkata padanya, “wahai ayah… engkau pernah berucap kepada kami…. semoga kami dapat bertemu sesorang yang cerdas yang dapat menceritakan suasana saat kematian. Engkaulah orang itu, ceritakan pada kami bagaimana kematian? Maka, Amr bin Ash berkata, “Wahai anakku, seakan-akan di punggungku ada lemari yang menindih, dan seakan akan bernafas dari lubah jarum ..

Huzaifah bin Yaman, radiallahu anhu.
Pada suatu hari di tahun ke tiga puluh enam hijriyah…. Huzaifah dipanggil menghadap-Nya. Saat ia berusaha untuk bersiap-siap menuju perjalanan ke negeri akhirat, masuk sejumlah sahabat ke kamarnya… Ia bertanya pada mereka. “Apakah kalian datang membawa kain kafan?” Mereka menjawab, “Ya” Dia berkata, “Tunjukan padaku!” Setelah melihatnya, ia mendapati kain kafan itu masih baru…. Dengan susah payah ia berucap, “Kain kafan apa ini? Sungguh aku hanya butuh dua helai kain putih yang tak terjahit…Sesungguhnya aku tidak menggunakannya di kuburan kecuali hanya sebentar hingga aku mengganti keduanya dengan yang lebih baik… atau yang lebih buruk.

Selanjutnya, dia mengucapkan kalimat yang tak jelas.. Para sahabatnya berusaha mendengarkan… ia berucap: “Selamat datang kematian. Kekasih yang datang dengan membawa rindu. Tak akan beruntung mereka yang menyesal (di hari ini).
Ruhnya kemudian terbang menuju Allah. Itulah salah satu hamba yang paling bertakwa….

Muadz bin Jabal, radiallahu anhu.
Sampailah Muadz bin Jabal ke ajalnya. Ia dipanggil untuk bertemu Allah…. Pada saat sakratul maut, setiap perasaan yang sesungguhnya akan mencuat, dan terucap di lidah seseorang, sekiranya ia masih dapat bicara. Ucapan yang dapat dikatakan sebagai kesimpulan dari perjalanan hidup seseorang. Pada saat-saat seperti itu, Muadz mengucapkan kalimat yang sangat menakjubkan yang mengungkap cita-cita seorang mu’min. Ia menghadap ke langit, seakan berdialog dengan Tuhannya. “Ya…. Allah, aku dulu sangat takut pada-Mu. Tetapi hari ini aku ingin bertemu dengan-Mu. Ya… Allah, sesungguhnya Engkau Maha Tahu bahwa aku tidak mendahulukan dunia untuk akheratku.”

Sa’ad bin Abi Waqash, radiallahu anhu
Pada suatu hari di tahun lima puluh empat hijriyah, Sa’ad bin Abi Waqash telah berusia di atas delapan puluh tahun. Setiap hari ia berharap segera menemui kematiannya. Salah satu anaknya menceritakan, “Suatu hari kepala bapakku aku letakan di pangkuanku, dia bernafas setengah-setengah. Aku menangis. Dia berkata, Apa yang membuatmu menangis, wahai puteraku? Seungguhnya Allah tidak akan mengazabku selama-lamanya. Aku yakin aku adalah penduduk surga.

Suatu kali, Rasulallah SAW telah memberinya kabar baik, dan dia beriman dengan kabar itu yaitu bahwa ia tidak akan diazab karena ia termasuk ahli surga. Nampaknya, ia ingin bertemu dengan Allah dengan mengumpulkan semua bekal yang ia punya. Ia kemudian menunjuk ke arah lemari. Kemudian lemari itu dibuka. Di dalamnya terdapat kain yang sudah sangat lusuh dan robek sana-sini. Ia meminta keluarganya untuk mengkafankannya dengan kain itu, seraya berkata, “Aku berjuang melawan orang-orang Musyrik pada perang Badr (dengan pakain ini), dan aku menyimpannya untuk hari ini!”

Bilal bin Rabah, Sang Muadzin Nabi
Ketika Bilal didatangi kematian… Istrinya berkata, “sungguh kami akan sangat bersedih.” Bilal membuka kain yang menutupi wajahnya, saat itu ia dalam sakratul mautnya. Dia kemudian berkata, “Jangan kau katakan demikian. Katakanlah, sungguh kami akan sangat bahagia” Kemudian dia berkata lagi, “Besok aku akan bertemu pujaanku, Muhammad SAW dan para sahabatnya.”

Abu Dzar al-Ghifari, radiallahu anhu.
Ketika Abu Dzar al-Ghifari mendekati kematiannya, istrinya menangis. Abu Dzar bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Ia menjawab, “Bagaimana aku tidak menangis, sementara engkau mati di negeri yang tandus begini, sementara kita tidak punya kain untuk mengkafanimu”.

Dia kemudian berkata, “Tak usah bersedih. Aku beri kabar gembira untukmu. Suatu hari aku mendengar Rasulallah Saw bersabda, aku dan para sahabat lainnya ada di situ, “Di antara kalian akan ada yang mati di tempat yang tandus dan disaksikan oleh sejumlah orang-orang beriman”. Tak ada seorangpun dari para sahabat itu yang mati di padang tandus begini. Mereka meninggal di perkampungan dan di tengah-tengah masyarakat. Akulah yang akan mati di tempat tandus ini. Demi Allah, aku tidak berdusta.. tunjuki aku jalan..” Istrinya berkata, “Rombongan haji sudah berangkat, dan aku tak tahu lagi harus ke jalan mana”.

Di padang yang tandus itu, tiba-tiba ada serombongan kafilah lain yang lewat. Demi mendengar suara tangisan dari balik gubuk yang kecil, mereka berhenti dan bertanya-tanya, ada apa? Seseorang di antara mereka mengenali, subhanallah, ini Abu Dzar, sahabat Nabi yang mulia. Mereka menghentikan perjalanannya dan mengurus seluruh prosesi pemakaman Abu Dzar.

Abu Darda, radiallahu anhu.
Ketika Abu Darda menemui kematiannya, ia berkata:
Sudahkah setiap orang mempersiapkan diri untuk seperti aku saat ini? Sudahkah setiap orang mempersiapkan diri untuk seperti aku hari ini?Sudahkah setiap orang mempersiapkan diri seperti aku detik ini?
Kemudian Allah mencabut ruhnya.

Salman Al-Farisi, radiallahu anhu.
Salman al-Farisi menangis saat hendak menemui kematiannya. Ia kemudian ditanya oleh kelaurganya: “Apa yang membuatmu menangis?” Ia berkata, “Rasulallah saw telah memprediksi bahwa perbekalan kita (untuk mati) seperti perbekalan orang berkendara. Sementara di sekelilingku hanya ini perbekalanku.
Ada yang berkata, “Waktu itu di sisi Salman al-Farisi ada ijanah, jafnah dan muthaharah. Ijanah adalah becana (bak) tempat dimana air dikumpulkan. Jafnah: tempat mengumpulan makanan dan air. Al-Muthaharah adalah becana (bak) tempat orang mengambil air yang suci.
Anas bin Sirrin berkata, “Anas bin Malik hadir saat Salman al-farisi menemui kematiannya. Ia berkata, “Talqinkan aku dengan La Ilah Illa Allah, mereka tetap mengucapkan itu hingga ajal menjemputnya.”

Abdullah bin Mas’ud:
Ketika Abdullah bin Mas’ud menemui kematiannya, ia memanggil puteranya: “Ya Abdurrahman bin Abdullah bin Mas’ud, aku ingin berpesan padamu tentang lima hal. Jagalah demi menjalankan pesanku ini. Pertama: Hilangkanlah rasa putus asa dari hadapan orang banyak, sebab demikianlah kaya yang sesungguhnya.
Kedua: Tinggalkan mengemis (untuk kebutuhan hidupmu) dari orang lain, sebab yang demikian itu adalah kemiskinan yang kau datangkan sendiri. Ketiga: Tinggalkan hal-hal yang kau anggap tak berguna. Jangan sekali-kali sengaja kau mendekatinya. Keempat: Jika kau mampu, janganlah sampai terjadi padamu satu hari di mana hari itu lebih tidak lebih baik dari kemarin. Usahakanlah. Kelima: Jika engkau shalat, lakukanlah dengan sungguh-sungguh. Resapi dan renungkan seakan engkau tak akan shalat lagi setelah itu.

Visi Rumah Tangga Muslim dalam Surat Al Furqan ayat 74

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhCUwAnMoMBefZw8jH2Sb491yS7GHt0nBttGMLTKp1LMzGnzqdrXg1uLjLTS7lQFbnPQ6HM_8BxrQS8jbenizgQsjL1p_EdrnUIGzAocKvLY0wZRPASV3F6Im3IzBS_jOVXuysbD0RuVZeV/s1600/keluarga-muslim.jpg


Ikhwah Fillah Rahimakumullah,

Segala puji hanya milik Allah yang telah menganugerahkan segala nikmat, terutama iman dan islam.

Shalawat mari kita sampaikan kepada Rasullah saw, qudwah hasanah kita.

Allah berfirman dalam surat Al Fur’qan ayat 74,

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَاماً   
25.74. Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.


Maha Benar Allah yang telah menciptakan Al Qur’an sebagai Mukjizat, pedoman hidup yang sempurna, tiada cacat dan tiada sia-sia. Salah satu mukjizatnya adalah ayat-ayat yang terdiri dari susunan kata yang sempurna dan penuh makna, yang tepat dan tidak akan menimbulkan keraguan.

Dalam ayat ini, Allah memberikan suatu petunjuk yang sangat jelas bagi umat manusia, bagi umat islam diseluruh dunia tentang membina visi rumah tangga muslim. Ada Empat hal yang menjadi poin utama bagaimana Allah membimbing kita dalam hidup berumah tangga, yaitu :

1. Pasangan
2. Keturunan
3. Menyejukan
4. Pemimpin umat

Ada pertanyaan menarik tentang urutan kata dalam ayat ini, kenapa Allah menyebutkan Pasangan terlebih dulu kemudian keturunan, kemudian yang menyejukan pandangan dan yang menjadi pemimpin umat?

Inilah hikmah yang luar biasa, secara kronologis hidup, wajar dan tidak heran jika kita menikah dulu baru mempunyai keturunan. Namun yang menjadi perhatian disini adalah untuk mendapatkan keturunan yang baik maka haruslah memilih pasangan yang baik pula. Inilah kenapa Allah juga menerangkan dalam surat An Nuur ayat 26:

الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ أُوْلَئِكَ مُبَرَّؤُونَ مِمَّا يَقُولُونَ لَهُم مَّغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ   
24.26. Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga) .


Ada perintah untuk mencari pasangan yang baik, yang memiliki sinkronisasi dalam tujuan hidupnya, visi rumah tangga yang jelas, pemahaman yang baik, dan akhlak yang baik pula. Karena, jika hal ini dilanggar, kemungkinan untuk mendapatkan keturunan yang baik akan sangat sulit.

Mari kita lihat contoh Nabi Nuh yang ditakdirkan Allah mendapat istri yang kurang baik, sehingga melahirkan keturunan yang kurang baik juga, bahkan durhaka yakni kan’an.
 
Ada ketidakcocokan dalam mendidik anak, karena berbeda visi, berbeda pemahaman dan berbeda akhlak, apalagi berbeda keyakinan.

Ternyata, untuk mendapatkan keturunan atau bahkan mendidik anak kita, itu dimulai dari mencari pasangan hidup yang baik.


Yang selanjutnya, adalah urutan Qurrata A’yun atau yang menyejukan pandangan. Maksudnya adalah keturunan yang soleh dan solehah, akhlaknya baik, ibadahnya benar, aqidahnya bersih dan yang selalu taat kepada Allah swt.

Keturunan yang seperti inilah yang diharapkan oleh Allah dan RasulNya yang kelak, yang seperti inilah yang menjadi pemimpin umat. Makanya, ketika seorang ingin menjadi pemimpin harus dites terlebih dulu keluarganya, apakah baik dalam berkeluarga, menjadi panutan atau tidak baik bahkan menjadi yang dibenci. Seperti Fir’aun, yang istrinya saja berdoa agar dilindungi dari kezaliman Fir’aun. Yang seperti ini tidak layak menjadi pemimpin.

Inilah sedikit hikmah tentang rumah tangga muslim yang Allah sudah sediakan petunjuknya dalam surat Al Furqan ayat 74, semoga menjadi pelajaran dan pedoman dalam melahirkan pemimpin-pemimpin bagi umat yang bertakwa.

Wallahu alam, yang benar datangnya dari Allah, dan kesalahan adalah murni dari pribadi penulis.


Jakarta, 10 Ramadhan 1432 H


Fajar Fatahillah
OSS Engineer
PT. Econospasia Global
Phone : 085 2222 8 5657
 
 http://www.islamedia.web.id/2011/08/visi-rumah-tangga-muslim-dalam-surat-al.html

Enam Pesan Ahli Surga

Oleh: Inayatullah Hasyim
0diggsdigg
email
dakwatuna.com - Betapa indahnya ketika berbicara tentang surga. Dan tahukan engkau apa itu surga? Surga adalah rumah tinggal yang abadi yang menjadi tujuan setiap hamba Allah yang shalih. Surga adalah pusat aspirasi semua hamba Allah. Surga adalah di atas apa yang kita lihat, di atas apa yang kita dengar dan di atas apa yang muncul dalam pikiran manusia,
Allah SWT berfirman dalam surah Al-Kahfi ayat 107-108:
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal, (*) Mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin berpindah dari padanya. (QS Al-Kahfi: 107-108).

Rasulallah SAW bersabda, sebagaimana disepakati oleh Imam Bukhari dan Muslim dari hadits riwayat Abu Hurairah, (Allah berfirman, Aku telah mempersiapkan untuk hamba-hamba-Ku yang shalih surga yang (kenikmatannya) belum pernah ada mata yang telah melihat, dan tidak pernah ada telinga yang telah mendengar maupun telah terdetik di hati manusia).

Dengan kasih Allah dan rahmat-Nya kepada kita,  Dia telah membentangkan gambaran surga yang nikmat itu, dengan menekankan keabadian dan kesempurnaan, tanpa kekurangan sedikitpun, tidak panas atau dingin, tidak lelah dan tidak sibuk dengan hiruk pikuk, tak ada kerugian, tidak ada yang dicurangi. Sekali teguk kenikmatan di surga melupakan semua penderitaan dalam hidup ini. Timbul pertanyaan, mengapa semua ini diceritakan wahai hamba-hamba Allah? Hal ini semata untuk mengajak orang-orang beriman ke surga dengan penuh semangat. Agar mereka bergegas menuju berbagai kebahagiaan, taman dan segala istananya.  Sebab surga adalah tempat tinggal yang Allah ciptakan dengan tangan-Nya sendiri, dipersiapkan sebagai rumah untuk orang-orang yang dicintai-Nya agar mengisinya dengan rahmat, kemuliaan dan ridha-Nya. Dia menggambarkan kenikmatannya sebagai kemenangan besar, pemiliknya sebagai raja diraja, segala kebaikan dan kemurniannya dijaga dari setiap cacat dan kekurangan. Celakalah jiwa-jiwa yang tidak menginginkan hal itu, tidak ingin melihatnya, dan tidak berusaha untuk masuk ke dalamnya!

Pada kesempatan ini, saya ingin mengajak pembaca sekalian untuk merenungkan hadits-hadits Nabi SAW yang terkait langsung dengan mereka yang dijanjikan surga, seraya berdoa kepada Allah agar kita dimasukkan surga bersama keluarga dan kerabat kita semua. Tak ada surga kecuali dengan berusaha menggapainya.

Pesan Pertama: Kisah Abu Bakr dan amalan-amalan baiknya.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, dia berkata: “Rasulullah SAW berkata, Siapa di antara kamu yang berpuasa hari ini? Abu Bakar menjawab: “Aku”. Dia bertanya lagi, “Siapa di antara kalian yang telah mengikuti pemakaman hari ini?” Abu Bakar berkata: “Aku”. Dia berkata lagi, “Siapa di antara kalian yang memberi makan orang miskin hari ini? Abu Bakar berkata, “Aku”. Dia bertanya lagi, “Siapakah di antara kalian yang hari ini menjenguk orang sakit?” Abu Bakar menjawab, “Aku”. Rasulullah SAW kemudian bersabda, “Jika terkumpul seluruh amalan seperti di pria ini, niscaya ia akan masuk surga”.

Diriwayatkan dari Abd al-Rahman bin Abi Bakr,  dia berkata, “Rasulullah SAW shalat subuh, kemudian bertemu dengan para sahabatnya”. Dia berkata: “Apakah ada di antara kalian yang hari ini berpuasa? Umar bin al-Khattab menjawab, “Ya Rasulallah, aku tidak berniat puasa, maka pagi ini aku berbuka (sarapan).” Abu Bakar berkata, “Kalau aku, sejak semalam sudah berkata pada diriku sendiri untuk puasa, maka aku puasa.” Rasulullah SAW kemudian bertanya lagi, “Apakah ada di antara kalian hari ini yang menjenguk orang sakit? Umar berkata, “Ya Rasulallah, kami shalat dan berdoa denganmu, bagaimana kami dapat menjenguk orang yang sakit?” Abu Bakar berkata: “Aku mendengar bahwa adikku, Abdul Rahman bin Auf, merintih maka aku mencari cara untuk bisa mengunjunginya ketika aku datang ke masjid, Rasulullah SAW bertanya lagi, “Sudahkan ada di antara kalian yang bersedekah hari ini? Umar berkata, “Ya Rasulallah, kami kan shalat dan  berdoa bersamamu dan tidak sempat istirahat.” Abu Bakar berkata: “Ketika aku masuk masjid di tengah jalan kujumpai pengemis, di tanganku ada segenggam roti yang kudapat dari Abdurrahman, aku berikan kepadanya”. Rasulallah SAW kemudian bersabda, “Aku beri kabar gembira untukmu (Abu Bakar, termasuk ahli) surga.” Umar menggumam, “oh…oh… oh… ahli surga.”

Pesan Kedua: Utsman radhiallahu anhu dan Infaq.
Diriwayatkan dari Tsamama bin Hazn al-Qusyairi, radhiallahu anhu, dia berkata: Aku menyaksikan Peristiwa Dar (yaum al-dar), ketika mereka, penduduk Madinah, memuliakan Ustman untuk bercerita amal-amal baiknya di hari itu. Ustman berkata: “Tahukah kalian bahwa ketika Rasulallah sampai ke kota Madinah, dan tak ada cadangan air (di kota itu) kecuali sumur milik Raumah. Rasulallah SAW bersabda, “Barangsiapa yang membelinya dan menjadikan embernya dan ember kaum muslimin masuk ke sumur itu, niscaya baginya surga? Aku membelinya dari harta tabunganku. Hingga hari ini, aku larang diriku sendiri untuk meminum air dari sumur itu hingga aku harus minum air laut. Mereka menjawab, “Ya”. Utsman berkata lagi, “Dan dengan memuji Allah dan mengagungkan Islam, tahukah kalian bahwa (suatu hari) masjid itu sudah sempit dengan jamaah, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang mau membebaskan tanah si fulan, niscaya diberikan kebaikan baginya dari masjid itu hingga ke surga, aku membelinya dari hartaku. Hingga hari ini aku cegah diriku untuk shalat dua rakaat di masjid itu”. Mereka berkata, “Ya”. Ustman berkata lagi, “Dengan memuji Allah dan mengagungkan Islam, Tahukan kalian bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa di antara kalian yang membekali tentara, niscaya wajib baginya surga. Maka aku berikan perbekalan (pada tentara). Mereka berkata, “Ya Allah, ya benar”. Ustman berkata lagi, “Dengan memuji Allah, Tahukah kalian aku  dulu berada di gunung Tsabir di pinggir kota Mekah bersama-sama dengan Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar, maka tiba-tiba gunung terguncang, sehingga batunya berjatuhan ke dasar, Rasulullah SAW menghindar dengan kakinya, dan berkata: “Tenanglah wahai (gunung) Tsabir. Sesungguhnya, di dekatmu ada seorang Nabi, seorang yang jujur dan dua orang yang menjadi syahid. Mereka berkata, “Ya”. Ustman berkata, “Allah Akbar, saksikanlah aku agar kelak masuk surga, wahai tuhan pemilik Ka’bah. Ia berucap tiga kali.

Pesan Ketiga: Terjaga dengan ibadah di waktu malam:
Salah seorang tabiin (generasi setelah sahabat Nabi) berkata, saat itu mereka tengah merindukan surga dan para bidadarinya, “Aku akan membeli seorang bidadari dari sekian banyak bidadari surga dengan mengkhatamkan Al-Qur’an dalam satu malam, aku tidak akan tidur sampai aku selesai khatam tersebut.” Dia sudah mengkhatamkan sebanyak dua puluh Sembilan juz, lalu rasa kantuk menyerang hingga ia tertidur. Dalam tidurnya ia mimpi bertemu bidadari, dan sang bidadari berkata berkata,

Apakah engkau akan meminang bidadari sepertiku, dan engkau tertidur. Sementara orang yang mencintaiku, aku haramkan tertidur. Karena aku dicipta untuk setiap orang yang banyak melakukan shalat dan rajin bangun malam. Mendengar itu, ia terbangun, dan langsung melanjutkan usahanya, dan ia kemudian berkata: Dengan izin dan rahmat Allah, aku akan berusaha untuk mendapatkan semua ini, untuk mendapatkan salah satu dari bidadari itu.

Abu Sulaiman Aldarini – belas kasihan Tuhan – suatu kali tertidur pada suatu malam malam, dia dikenal sebagai ahli ibadah, seorang yang zuhud, dan tulus kepada Allah, dan ketulusan dengan Tuhan, Yaman itu sendiri, termasuk surga yang penuh kenikmatan. Pada suatu malam dia berkata, tidur dan diri kadang-kadang berbicara tentang apa yang Anda inginkan dan apa yang ingin Anda dan termasuk cinta – berkata: Aku melihat – sebagaimana yang sering dilihat oleh orang tengah tidur, suatu kali bidadari datang kepadaku dan berkata: “Inikah perbuatan orang-orang shalih?” “Wahai Abu Sulaiman – Apakah engkau tertidur dan aku telah menunggumu sejak lima ratus tahun”. Tidak ada Tuhan selain Allah; Sejak itu, ia tak lagi tidur kecuali hanya sedikit saja, hal itu dimaksudkan agar ia sungguh-sungguh bertemu dengannya.

Pesan Keempat: Bilal bin Rabah, radhiallahu anhu dan wudhu:
Bilal adalah bujang yang bekerja pada Abu Bakar, semoga Allah senang dengan dia. Ia termasuk orang-orang yang pertama masuk Islam, karena itu ia dihukum oleh kaumnya dan mereka memaksanya untuk bersaksi “Tuhanku Latta dan Uzza”. Namun, Bilal tetap teguh berkata, “Ahad… ahad…”  Datanglah Abu Bakar dan membebaskannya dari perbudakan dengan membelinya seharga tujuh (sebagian mengatakan lima) kantong emas. Rasullah SAW kemudian menyatakannya sebagai manusia merdeka. Maka, sejak itu Bilal menjadi muadzin Nabi, baik saat berdiam di Madinah atau saat berperjalanan.

Abu Hurairah RA berkata: Suatu hari Rasulullah SAW beserta Bilal: “ceritakanlah padaku satu pekerjaan yang dilakukan dalam Islam memberikan manfaat, aku mendengar Nabi SAW mengatakan ia sudah mendengar suara sandal Bila di surga. Bilal menjawab, aku tidak mengerjakan apa-apa, kecuali menjaga wudhuku hingga seringkali aku shalat maghrib dengan wudhu shalat dzuhur.”

Pesan Kelima:  Di mana tokoh seperti Abu Dahdah sekarang?
Abu Dahdah, nama lengkapnya adalah Tsabit bin Dahdah al-Anshari, salah satu pelaku sejarah perang Uhud dan menemui kematiannya pada perang tersebut. Diriwayatkan dari Jabir bin Samrah bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Betapa banyak decak kekaguman untuk Abu Dahdah di surga”. Dan diriwayatkan oleh Imam At-Tabrani dalam kitab Al-Awsat  (2/517)  dari hadits Umar dengan lafadz, manakala ayat Allah SWT turun, “barangsiapa yang memberikan pinjaman kepada Allah sebaik-baik pinjaman” Abu Dahdah berkata, Ya Rasulallah, apakah kita harus meminjamkan Allah dengan harta kita?”. Rasulallah SAW menjawab, “Ya.” Dia berkata: Sesungguhnya aku punya dua dinding (lantai), satu di atas, satu lagi di bawah.. Aku telah meminjamkannya untuk Allah.

Pesan Keenam: Tidak Ghibah:
Dari Abu Hurairah RA, ia berkata, “bahwasanya ada seseorang bertanya, Ya Rasulallah, si fulan dikenal banyak melakukan shalat dan puasa, hanya saja dia selalu menyakiti tetangga dengan lidahnya. Rasulallah bersabda, “Dia di neraka.” Orang tersebut bertanya lagi, “Sementara ada juga si fulanah dikenal sedikit saja shalat dan puasanya sebab dia sibuk memberi makan sapinya, dan dia tidak mengguncingkan tetangganya”. Rasulallah SAW bersabda, “dia di surga”.

Jagalah Allah, Pasti Engkau Menang!

Oleh: Tim dakwatuna.com
0diggsdigg
email
dakwatuna.com – Dari Abul-‘Abbas ‘Abdullah Bin ‘Abbas –-semoga Allah meridoinya- ia mengatakan, “Aku berada di belakang Rasulullah saw. Beliau mengatakan, ‘Nak, Jagalah Allah niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah niscaya engkau akan dapati Dia ada di hadapanmu. Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah; dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Dan ketahuilah bahwa jika seluruh umat berhimpun untuk memberikan manfaat (keselamatan) kepadamu, niscaya mereka tidak dapat melakukannya selain apa yang sudah Allah tetapkan untukmu. Dan seandainya seluruh umat berhimpun untuk menecelakakanmu, niscaya mereka tidak dapat melakukannya kecuali kecelakaan yang memang sudah Allah tetapkan untukmu. Telah diangkat pena dan telah kering lembaran-lembaran.” (diriwayatkan oleh At-Tirmidzi. Dan dalam riwayat selaian dari At-Tirmidzi, Rasulullah saw. bersabda, “Jagalah Allah niscaya kamu akan mendapati-Nya di depanmu; kenalilah Allah pada saat mendapat kemudahan, niscaya Dia akan mengenalmu saat kamu mendapat kesulitan. Ketahuilah bahwa apa yang bukan jatahmu tidak akan mengenaimu dan apa yang menjadi jatahmu tidak akan salah sasaran. Ketahuilah bahwa pertolongan Allah bersama kesabaran; kelapangan ada bersama kesempitan; dan kemudahan ada bersama kesulitan.” (Al-Hakim dan Ahmad)

Kemenangan Islam dan dakwah islamiyyah adalah dambaan para pejuang di jalan Allah. Salah satu bentuk kemenangan itu adalah manakala nilai-nilai ilahiyyah mendapat tempat dalam kehidupan manusia, baik dalam urusan pribadi, keluarga, masyarakat, negara, ekonomi, politik, maupun urusan lainnya. Nilai-nilai ilahiyyah yang dimaksud tentu bukan saja perilaku-perilaku saleh individual akan tetapi juga kesalehan yang berdaya guna semisal keadilan, kejujuran, dan keberpihakan kepada kebenaran apa pun risikonya.

Untuk mencapai kemenangan itu tentu saja setiap Muslim harus berusaha secara optimal dalam batas-batas kemampuan manusiawi. Usaha optimal untuk mencapai kemenangan itu dimulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, evaluasi, dan seterusnya. Akan tetapi tetapi harus dipahami bahwa segala upaya sehebat apa pun yang dilakukan manusia bisa tidak punya makna sama sekali manakala tidak memdapat perkenana Allah swt. Dan sebaliknya betapapun serba terbatasnya kaum Muslimin –dalam hal material dan kuantitas personal– dalam upaya menegakkan kebenaran dan keadilan, jika Allah berkehendak untuk mengaruniakan kemenangan, tak satu kekuatan pun dapat menghalanginya.

Persoalannya adalah, apakah kita termasuk orang yang layak mendapat pertolongan Allah itu? Tentu ada prasyarat pertolongan Allah turun kepada kita. Nah, hadits di atas sarat dengan pesan-pesan luhur yang akan mengantarkan manusia mencapai kemenangan yang didambakan itu. Sampai-sampai sebagian ulama mengatakan, “Saya merenungi hadits ini dan saya benar-benar terperangah dengannya. Amat disesalkan bila ada yang tidak memahami makna hadits itu.”

Ihfazhillah, jagalah Allah! Menjaga Allah, kata Abul-Faraj Al-Hambali dalam kitabnya Jami’ul-‘Ulumi Wal-Hikam, adalah menjaga aturan-aturan, hak-hak, perintah-perintah, dan larangan-larangan Allah swt. Tentu saja hal itu dilakukan dengan cara melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Jika seseorang melakukannya, maka ia termasuk orang-orang yang menjaga aturan-aturan Allah seperti yang disebutkan dalam ayat-Nya: “Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) pada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-peraturan-Nya). (Yaitu) orang yang takut kepada Rabb Yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertaubat.” (QS. 50: 32-33)

Kata ‘Hafizh’ (memelihara) yang tercantum pada ayat di atas ditafsirkan dengan ‘menjaga (melaksanakan) perintah-perintah Allah dan menjaga diri dari dosa-dosa dan selalu bersegera untuk bertaubat jika melakukan kesalahan-kesalahan.’ Di antara perintah-perintah agung yang harus dijaga oleh setiap Muslim adalah:

1. Shalat.
Secara eksplisit Allah swt. memerintahkan kita menjaga shalat. Firman-Nya: “Peliharalah segala shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu.” (QS. 2:238)
Dalam ayat lain Allah memuji orang-orang yang memelihara shalat. Firman-Nya: “Dan orang-orang yang memelihara shalatnya.” (QS. 23:9)

Semakin banyak aktivitas, semakin berat beban perjuangan, semakin besar target yang ingin kita capai, seharusnya semakin membuat kita dekat dengan Allah. Dan momentum di mana seorang hamba sangat dekat dengan Allah adalah saat ia bersujud. “Keadaan yang paling dekat antara hamba dengan Rabbnya adalah saat di sujud. Maka perbanyaklah doa di kala sujud itu,” demikian sabda Rasulullah saw. dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim.

Jadi, sangat ironis bila semakin banyak kegiatan malah semakin terlalaikan shalat; dan lebih celakalah lagi bila shalat itu dilalaikan justru dengan alasan kesibukan. Tidak akan ada barokah dari aktivitas yang melalaikan shalat. Apa pun alasannya. Termasuk dengan alasan bahwa yang penting adalah shalat aktivitas. Yang dimaksud dengan shalat aktivitas adalah kegiatan yang diklaim sebagai perjuangan menegakkan kebenaran. Itu saja dianggap cukup sekalipun meninggalkan shalat. Pasti perjuangan itu bukan di jalan Allah melainkan di jalan thaghut.

2. Janji atau sumpah.
Integritas dan kredibelitas seseorang dapat dilihat, antara lain, dari tingkat komitmennya terhadap sumpah dan janji. Makanya Allah swt. memesankan agar orang beriman berpegang teguh kepada janji atau sumpah yang dibuatnya. Firman-Nya: “Dan peliharalah sumpah-sumpah kalian.” (QS. 5:89)
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. 16:91)
Lebih berat lagi bobot janji itu apabila pelanggarannya dapat menyebabkan kesengsaraan orang banyak. Misalnya janji atau sumpah jabatan. Atau janji yang dibuat untuk menarik dan merekrut orang agar mendukung dirinya dan berpihak kepadanya.

3. Kepala dan Perut.
Dan di antara hal yang wajib dijaga adalah kepala dan perut. Rasulullah saw. bersabda, “Malu yang sebenarnya kepada Allah adalah engkau menjaga kepala dengan segala yang termuat di dalamnya dan menjaga rongga perut dengan segala yang di kandung di dalamnya.” (Ahmad, At-Tirmidzi, Al-Bazzar)
Menjaga kepala dengan segala yang termuat di dalamnya di antaranya dengan menjaga pendengaran, penglihatan, lidah dari hal-hal yang diharamkan. Dan menjaga rongga perut adalah dengan menjaga hati dari segala penyakit hati.

Penjagaan Allah
Penjagaan Allah kepada hambanya menyangkut dua hal: pertama, kemaslahatan duniawi seperti penjagaan fisik, anak, keluarga, harta. Ini seperti yang Allah firmankan, “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.” (QS. 13:11)
Ini terjadi misalnya pada Safinah maula (sahaya yang dimerdekakan oleh) Nabi saw. Saat perahu yang dinaikinya pecah ia terdampar di sebuah pulau. Di hutan ia bertemu dengan seekor singa. Ternyata singa itu memberi petunjuk jalan. Setelah itu sang singa pergi.

Kedua, dan ini yang paling penting, penjagaan dalam urusan agama, keimanan, dan akhlak. Allah menjaga para hambanya hingga mereka bisa menghindari perkara-perkara yang merusak iman dan akhlak, hingga mereka meninggal dunia dalam keadaan iman. Betapa saat-saat ini kita membutuhkan pemeliharaan iman.
Kesejatian cita-cita untuk menegakkan keadilan dan mewujudkan kesejahteraan dengan berbagai upaya harus dibuktikan dengan sikap sejati dalam melakukan pendekatan kepada Allah. Dan kejujuran menegakkan syari’at Islam harus dibuktikan dengan kejujuran melaksanakannya baik dalam diri pribadi, keluarga, masyarakat, dan dalam segala peran yang diembannya. Allahu a’lam.

Hubungan Seksual Suami-Istri

Oleh: Tim dakwatuna.com
0diggsdigg
email
dakwatuna.com – Sebenarnya, masalah hubungan antara suami-istri itu pengaruhnya amat besar bagi kehidupan mereka. Maka hendaknya mereka memerhatikan atau menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan kerusakan dan kelangsungan hubungan suami-istri. Kesalahan yang bertumpuk dapat mengakibatkan kehancuran bagi kehidupan keluarganya.
Agama Islam dengan nyata tidak mengabaikan segi-segi kehidupan manusia dan kehidupan berkeluarga, yang telah diterangkan tentang perintah dan larangannya. Semua telah tercantum dalam ajaran-ajaran Islam, misalnya mengenai akhlak, tabiat, suluk, dan sebagainya. Tidak ada satu hal pun yang diabaikan (dilalaikan).

Islam telah menetapkan pengakuan bagi fitrah manusia dan dorongannya akan seksual, serta ditentangnya tindakan ekstrim yang condong menganggap hal itu kotor. Oleh karena itu, Islam melarang bagi orang yang hendak menghilangkan dan memfungsikannya dengan cara menentang orang yang berkehendak untuk selamanya menjadi bujang dan meninggalkan sunnah Nabi SAW, yaitu menikah.

Nabi SAW telah menyatakan sebagai berikut: “Aku lebih mengenal Allah daripada kamu dan aku lebih khusyuk, kepada Allah daripada kamu. Tetapi aku bangun malam, tidur, berpuasa, tidak berpuasa dan menikahi wanita. Maka barangsiapa yang tidak senang (mengakui) sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku.”

Islam telah menerangkan terhadap kedua pasangan setelah pernikahan, mengenai hubungannya dan masalah-masalah seksual. Bahkan mengerjakannya dianggap suatu ibadat.

Sebagaimana dikatakan Nabi SAW, “Di kemaluan kamu ada sedekah (pahala).” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah ketika kami bersetubuh dengan istri akan mendapat pahala?” Rasulullah SAW menjawab, “Ya. Andaikata bersetubuh pada tempat yang dilarang (diharamkan) itu berdosa. Begitu juga dilakukan pada tempat yang halal, pasti mendapat pahala. Kamu hanya menghitung hal-hal yang buruk saja, akan tetapi tidak menghitung hal-hal yang baik.”

Berdasarkan tabiat dan fitrah, biasanya pihak laki-laki yang lebih agresif, tidak memiliki kesabaran dan kurang dapat menahan diri. Sebaliknya wanita itu bersikap pemalu dan dapat menahan diri.

Karenanya diharuskan  bagi  wanita  menerima  dan  menaati panggilan suami. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits, “Jika si istri dipanggil oleh suaminya karena perlu, maka supaya segera datang, walaupun dia sedang masak.” (HR Tirmidzi)
Nabi SAW menganjurkan supaya si istri jangan sampai menolak kehendak suaminya tanpa alasan, yang dapat menimbulkan kemarahan atau menyebabkannya menyimpang ke jalan yang tidak baik, atau membuatnya gelisah dan tegang.

Nabi SAW bersabda, “Jika suami mengajak tidur si istri lalu dia menolak, kemudian suaminya marah kepadanya, maka malaikat akan melaknat dia sampai pagi.” (Muttafaq Alaih).

Keadaan yang demikian itu jika dilakukan tanpa uzur dan alasan yang masuk akal, misalnya sakit, letih, berhalangan, atau hal-hal yang layak. Bagi suami, supaya menjaga hal itu, menerima alasan tersebut, dan sadar bahwa Allah SWT adalah Tuhan bagi hamba-hamba-Nya Yang Maha Pemberi Rezeki dan Hidayat, dengan menerima uzur hambaNya. Dan hendaknya hamba-Nya juga menerima uzur tersebut.

Selanjutnya, Islam telah melarang bagi seorang istri yang berpuasa sunnah tanpa seizin suaminya, karena baginya lebih diutamakan untuk memelihara haknya daripada mendapat pahala puasa. Nabi SAW bersabda, “Dilarang bagi si istri (puasa sunnah) sedangkan suaminya ada, kecuali dengan izinnya.” (Muttafaq Alaih)
Disamping dipeliharanya hak kaum laki-laki (suami) dalam Islam, tidak lupa hak wanita (istri) juga harus dipelihara dalam segala hal. Nabi SAW menyatakan kepada laki-laki (suami) yang terus-menerus puasa dan bangun malam. Beliau bersabda, “Sesungguhnya bagi jasadmu ada hak dan bagi keluargamu (istrimu) ada hak.”

Abu Hamid Al-Ghazali, ahli fiqih dan tasawuf, dalam kitab Ihya’ mengenai adab bersetubuh, berkata, “Disunnahkan memulainya dengan membaca basmalah dan berdoa, sebagaimana diajarkan Nabi SAW, “Ya Allah, jauhkanlah aku dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau berikan kepadaku.”

Al-Ghazali berkata, “Dalam  suasana ini (akan bersetubuh) hendaknya didahului dengan kata-kata manis, bermesra-mesraan dan sebagainya. Dan menutup diri mereka dengan selimut, jangan telanjang menyerupai binatang. Sang suami harus memelihara suasana dan menyesuaikan diri, sehingga kedua pasangan sama-sama dapat menikmati dan merasa puas.”

Menurut Ibnul Qayyim, tujuan utama dari jimak (bersetubuh) itu adalah: 1) Dipeliharanya nasab (keturunan), sehingga mencapai jumlah yang ditetapkan menurut takdir Allah. 2) Mengeluarkan air yang dapat mengganggu kesehatan badan jika ditahan terus. 3) Mencapai maksud dan merasakan kenikmatan, sebagaimana  kelak di surga.

Ditambah lagi mengenai manfaatnya, yaitu menundukkan pandangan, menahan nafsu, menguatkan jiwa dan agar tidak berbuat serong bagi kedua pasangan.

Nabi SAW bersabda, “Wahai para pemuda, barangsiapa yang mampu melaksanakan pernikahan, maka hendaknya menikah. Sesungguhnya hal itu menundukkan penglihatan dan memelihara kemaluan.”
Kemudian Ibnul Qayyim berkata,  “Sebaiknya sebelum bersetubuh hendaknya diajak bersenda-gurau dan menciumnya, sebagaimana Rasulullah SAW melakukannya.”

Ini semua menunjukkan bahwa para ulama dalam usaha mencari jalan baik tidak bersifat konservatif. Bahkan tidak kalah kemajuannya daripada penemuan-penemuan atau pendapat masa kini.

Yang dapat disimpulkan di sini adalah bahwa sesungguhnya Islam telah mengenal hubungan seksual di antara kedua pasangan, suami-istri, yang telah diterangkan dalam Alquranul Karim pada surah Al-Baqarah, yang ada hubungannya dengan peraturan keluarga.

Firman Allah SWT: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa, bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasannya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu, Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah kamu, hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedangkan kamu beriktikaf dalam masjid. Itulah larangan  Allah, maka janganlah kamu mendekatinya…” (QS Al-Baqarah: 187).

Tidak ada kata yang lebih indah, serta lebih benar, mengenai hubungan antara suami-istri, kecuali yang telah disebutkan, yaitu: “Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.” (QS Al-Baqarah: 187)

Pada ayat lain juga diterangkan, yaitu: “Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah: Haid itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu dengan cara bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan takwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira bagi orang-orang yang beriman.” (QS Al-Baqarah: 222-223)

Maka, semua hadis yang menafsirkan bahwa dijauhinya yang disebut pada ayat di atas, hanya masalah persetubuhan saja. Selain itu, apa saja yang dapat dilakukan, tidak dilarang.
Pada ayat di atas disebutkan: “Maka, datangilah tanah tempat bercocok tanammu dengan cara bagaimanapun kamu kehendaki.” (QS Al-Baqarah: 223)
Tidak  ada suatu perhatian yang melebihi daripada disebutnya masalah dan undang-undang atau peraturannya dalam Alquranul Karim secara langsung, sebagaimana diterangkan di atas

Sumber: Fatwa Qaradhawi

Keutamaan Menikah

Islamedia - Pernikahan di dalam Islam adalah salah satu dari syari’at Islam dan syiar para Nabi dan Rasul. Untuk itulah Rasulallah saw menganjurkan kepada pemuda yang telah memiliki kretia mampu (dengan segala dimensinya yang dibutuhkan dalam sebuah pernikahan dan kehidupan berumah tangga) untuk segera melangsungkan pernikahan karena dengannya hawa nafsu dan pandangan seseorang akan dapat terkendali. Sabdanya:

Wahai para pemuda siapa diantara kalian yang sudah memiliki kemampuan untuk menikah maka menikahlah ! Sesungguhnya pernikahan itu akan dapat menjaga pandangan dan membentengi kemaluan

Bahkan beliau pernah marah kepada sahabatnya yang hendak hidup membujang, padahal alasan nya adalah untuk ibadah. Beliau bersabda:
Nikah itu adalah sunnahku, barangsiapa yang membenci sunnahku bukanlah ia termasuk golongan ku

Dalam pernikahan ada aturan-aturan dan rambu-rambu yang harus diperhatikan. Agar pernikahan itu benar-benar membawa rahmat, keberkahan dan dapat mewujudkan sakinah dan mawaddah. Diantara rambu-rambu tersebut adalah

1. Niat yang ikhlas dan motivasi yang benar dalam menikah

Pernikahan dalam konsep Islam adalah bagian dari ibadah kepada Alloh, karena ia merupakan aplikasi dari perintah atau anjuran dalam ajaran Islam. Keutuhan ibadah dan kesempurnaannya sangat ditentukan oleh keikhlasan dan motivasi yang benar. Dalam hal ini Rasulallah saw pernah bersabda:
“Siapa yang menikahi wanita karena kecantikannnya saja maka Alloh tidak akan menambahkan melainkan keburukan. Siapa yang menikahi wanita karena hartanya Alloh tidak akan menambahkan kecuali kefakiran. Siapa yang menikahkan wanita karena nasabnya Alloh tidak akan menambahkan kecuali kehinaan. Siapa yang menikahi wanita karena ingin menjaga pandangannya dan kemaluannya maka Alloh akan memberkahi keduanya … “

2. Tidak didahului dengan pacaran.

Pacaran bukanlah budaya Islam bahkan bertentangan dengan budaya Islam. Karena pada umumnya orang berpacaran hanyalah untuk melampiaskan nafsu dan menjadi peluang besar untuk melakukan maksiat. Dalam hadits Rasulallah saw mengingatkan;

Janganlah orang itu berduaan saja (lain jenis dan bukan mahrom) karena yang ketiganya adalah syaitan

Demi Alloh memegang bara yang panas jauh lebih ringan dari pada menyentuh wanita yang bukan mahromnya

Bukan berarti kita tidak dapat mengenal kepribadian calon pasangan kita. Karena Islam mengajarkan kita untuk selalu menjunjung kejujuran. Disamping itu kita bisa mengetahui kepribadian calon pasangan kita dengan informasi yang lebih akurat. Sebab orang apabila berada dihadapan orang yang dicintainya berusaha untuk menutupi kekurangannya.

3. Meminang (Khitbah)

Apabila seorang sudah benar-benar siap untuk menikah dan sudah menemukan calonnya maka segeralah ia memberitahukannya dan memintanya kepada orang tuanya. Dan apabila orangtuanya sudah menerima pinangan, maka ia tidak boleh menerima pinangan lain dan orang lainpun tidak boleh meminangnya. Dan segerahlah untuk melakukan akad dalam waktu dekat.

Dalam meminang tidak ada aturan-aturan tertentu, karena pada intinya adalah meminta kesediaan orang tua untuk menikahkan anaknya. Adapun tukar cincin adalah bukan budaya Islam, tidak ada keharusan. Apalagi dalam pelaksanaannya melanggar aturan-aturan Islam. seperti menyentuh yang bukan mahromnya, prianya juga memakai cincin emas, seyogyanya tidak dilakukan. Adapun memberikan hadiah kepada calon mempelai sah-sah saja dan dibolehkan dalam Islam.

4. Akad Nikah

Kehalalan seorang perempuan (yang bukan mahrom) untuk disentuh dan seterusnya adalah melalui akad nikah yang terdiri dari 4 syarat yaitu: Calon mempelai, wali, mahar dan ijab qobul. Dalam ijab qobul, ulama menganjurkan untuk dilakukan dengan bahasa arab yang intinya pada kalimat: “Ankahtuka wazawajtuka” lalu dijawab “Qobiltu nikahaha”. Hal ini mengingat pernikahan adalah ibadah. Namun ulama juga memberikan toleransi untuk menggunakan bahasa yang dimengerti oleh kedua belah pihak Termasuk adalah bahasa isyarat bagi yang tidak mampu berbicara. Dalam kasus yang anda tanyakan dalam hal ini sah manakala bahasanya dimengerti, tidak ada unsur penipuan.

5. Membina kehidupan Rumah tangga dengan nilai-nilai yang Islami

Setiap orang pasti menginginkan kehidupan rumah tangganya tentram, sakinah, mawaddah dan rahmah, dan untuk mewujudkan akan nilai tersebut islam telah memberikan petunjuk dan ajarannya yang benar, dan bagi orang yang mengharapkan pernikahannya langgeng dan tercipta suasana kasih sayang maka perlu baginya mengikuti ajaran Islam tersebut, saling mengerti akan kewajiban suami terhadap istrinya dan sebaliknya, dan yang lebih inti lagi saling mewujudkan rasa percaya antara keduanya serta saling nasehat menasehati dalam kebaikan dan kebenaran. Sangat indah sabda Rasulullah saw dalam mensifati rumah tangganya dengan : “rumahku adalah surgaku”. Karena perwujudan rumah tangganya yang berlandaskan ruh islam. 

wallahu a’lam bisshowab.

murattalkeren

http://www.islamedia.web.id/2011/09/keutamaan-menikah.html