Minggu, 12 Mei 2013

http://www.pkspiyungan.org/2013/05/eyang-kpk-waktu-sihir-mu-sudah-habis.html

Rabu, 05 September 2012

Tips Wawancara untuk Lolos Melamar Pekerjaan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dalam proses seleksi melamar pekerjaan, wawancara sering kali dianggap mudah. Namun dalam sesi wawancara beberapa orang gagal mendapatkan pekerjaan yang didambakannya. Untuk itu sesi wawancara harus dipersiapkan dengan sunguh-sungguh.
Berikut tips rahasia sukses wawancara saat melamar pekerjaan;
1. Berapa gaji yang Anda minta?
Jawab: Sebutkan gaji yang besarnya realistis. Lihat mata pewawancara, sebutkan jumlah, dan berhentilah bicara. Jangan bohong tentang gaji yang Anda terima di kantor sebelumnya, bila Anda sudah bekerja. Bila Anda merasa bahwa gaji Anda di kantor yang sekarang terlalu kecil, berikan penjelasan.
2. Apa kelebihan utama Anda?
Jawab: Pilih potensi Anda yang relevan dengan bidang pekerjaan yang Anda lamar. Hindari respons yang generik seperti pengakuan bahwa Anda pekerja keras. Lebih baik, berikan respons berupa, “Saya selalu diperbudak daftar pekerjaan yang saya buat sendiri. Sebab, saya tidak mau pulang sebelum pekerjaan di kantor beres semua.”
3. Apa kekurangan Anda yang paling jelas?
Jawab: Jangan bilang Anda seorang perfeksionis (menunjukkan bahwa Anda sombong). Lebih baik, jujur saja dan sebutkan kelemahan yang kongkret. Misalnya, Anda lemah menghitung di luar kepala, dan karenanya Anda mengatasinya dengan membawa kalkulator. Tapi, kemudian, susul dengan kelebihan Anda.
4. Di mana Anda melihat diri Anda lima tahun lagi?
Jawab: Gambarkan posisi yang realistis. Kira-kira dua-tiga posisi di atas posisi yang Anda lamar sekarang. Jangan sertakan cita-cita yang tak ada hubungannya dengan lamaran pekerjaan Anda, misalnya, ingin jadi bintang sinetron atau jadi novelis. Sebab, Anda akan tampak tidak fokus.
5. Mengapa Anda ingin meninggalkan kantor yang lama?
Jawab: Jangan sampai mengemukakan hal yang negatif. Kalau kenyataannya begitu, ucapkan dalam kalimat ‘positif’, misalnya bahwa Anda tidak melihat ada ‘ruang’ di mana Anda bisa berkembang. Lalu, jelaskan mengapa Anda menganggap bahwa pekerjaan di kantor baru ini memberi kesempatan yang lebih baik.
6. Adakah contoh kegagalan Anda?
Jawab: Ungkapkan kegagalan yang pernah Anda alami, tapi yang sudah terpenuhi solusinya. Supaya, pewawancara tahu bahwa Anda punya usaha untuk mengatasi masalah
7. Apakah Anda punya pertanyaan?
Jawab: Berikan paling sedikit dua pertanyaan yang terfokus pada kantor baru ini. Misalnya, Anda bertanya apakah kantor ini sudah punya website. Atau, bisa juga Anda mempertanyakan kehadiran CEO yang Anda tahu baru saja diangkat – apakah membuat kinerja perusahaan semakin baik, dan semacamnya. Jangan bertanya tentang kepentingan Anda sendiri, misalnya, apakah karir Anda akan berkembang di sana.
Apa yang menjadikan seseorang selalu sukses untuk menggapai impiannya? Tampil beda dan memiliki keunggulan komperatif mungkin salah satu yang menjadikan Anda selalu berada di dalam posisi terdepan!
Termasuk dalam meraih karier dan mengungguli orang lain dalam mencari pekerjaan yang sesuai. Ada beberapa trik atau strategi yang perlu disiapkan agar Anda sukses dalam melewati tahapan untuk mengejar karier yang diidam-idamkan.
Modal nekat saja, pasti tak cukup.. Di sini juga anda bisa menemukan beberapa lowongan kerja yang mungkin tak ada salahnya jika anda mencobanya. (tslb)

Senin, 03 September 2012

Antara Dua Ied yang Penuh Barakah dan Rahmat


http://saibah.co.id/wp-content/uploads/2012/05/sholat-Idul-Fitri-di-Masjidil-Haram.jpg
Islamedia - Iedul Fithri adalah program Allah yang didahului dengan tajdidul fithrah. Pada dasarnya semua Ansyitah Ramadhan mendorong kita kembali kepada fitrah.
Bila orang gembira karena meninggalkan puasa Ramadhan maka kita gembira karena ada perubahan fitrah dan mampu memperbaharui fitrah kita. Sebab kita hanya akan mampu menempuh kehidupan apabila kita memiliki fitrah yang utuh. Artinya kita memiliki keutuhan mesin penggerak kehidupan itu sendiri sebab hidup dengan Islam berarti hidup dengan fitrah.
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَ‌تَ اللَّـهِ الَّتِي فَطَرَ‌ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّـهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَـٰكِنَّ أَكْثَرَ‌ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Rum, 30: 30)
Sementara itu, Iedul Adha merupakan program Allah yang orientasinya adalah tajdid ruhul bazl wa tadhhiyah (semangat memberi dan berkorban). Bila orang bergembira karena memperoleh daging kurban maka kita hanya dapat bergembira apabila kita memperoleh sikap ruhul bazl wa tadhhiyah.
Semangat fitrah tanpa ruhul badzl wa tadhhiyah bagaikan mesin tanpa bahan bakar. Mesin Islam hanya dapat melaju dengan kesiapan memberi dan berkorban di jalan Allah.
Cara mempertahankan kefitrahan kita adalah dengan melanjutkan sunnah dan tradisi Ramadhan meskipun intensitasnya tidak sama tetapi harus berkelanjutan. Ini merupakan ma'alim ta'abudiyah. Hal ini meliputi :
Pertama, perhatikan ansyithah fikriyah (Aktivitas Pemikiran). 
Membangun dan memelihara keutuhan fitrah sama artinya dengan merealisasikan daurul fitri fil ibadah yaitu tadzakur dan tafakur yang senantiasa memerlukan dua ma'alim utama, (1) Ma'alim ta'abudiyah (rambu-rambu ibadah) yang intinya ashalah dzikriyah (orisinalitas zikir), yang merupakan upaya lit ta'shil (orisinalisasi), (2) Ma'alim kauniyah (rambu-rambu alam semesta) yang intinya adalah ashalah fikriyah (orisinalitas pemahaman) merupakan upaya lit tathwir (pengembangan).
Ashalah Insaniyah (orisinalitas kemanusiaan), ashalah Islamiyah (orisinalitas Islam), da'wiyah, jamaiyah dibangun oleh ansyithah fikriyah. Kita tidak cukup berorientasi pada ashalah aqidah, fikrah dan minhajiah. Sebab bila ketiganya berlangsung tanpa pengembangan akan berbahaya. Kita akan terjebak pada kejumudan yang membawa malal (kebosanan) dan futur.
Seorang muslim bisa jadi beraqidah shahihah tetapi ketinggalan kereta peradaban. Atau berminhaj jelas dan benar tetapi tidak mampu berkembang karena dha'ful wasail amaliyah (lemah sarana amal). Melalui ansyithah amaliah lit tathwir (aktivitas amal untuk pengembangan) diharapkan kita mampu rukubul hadharah (mengendarai peradaban). Karena seorang muslim dituntut memberi dan berkorban secara maksimal dalam roda perjalanan sejarah yang terus menerus berkembang.
Dalam da’wah senantiasa diperlukan dua unsur : aslih nafsaka wad'uu ghairok (perbaiki dirimu, serulah orang lain). Seorang muslim dituntut menjadi shalihun wa muslihun (baik dan melakukan perbaikan), shalihun linafsihi wa muslihun li ghairihi—memperbaiki diri dan orang lain. Sebagaimana firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْ‌كَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَ‌بَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ‌ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (QS. Al-Hajj, 22: 77).
Disini disebutkan bahwa kemenangan ditentukan dua unsur: irka'uu wasjuduu wa'buduu (yaitu ruku, sujud, dan menyembah) yang merupakan ansyithah dzikriyah lit ta'shil (kegiatan zikir untuk menjaga orisinalitas) dan waf'alul khaira (berbuat kebajikan) yang merupakan ansyithah fikriyah lit tathwir (kegiatan pemikiran untuk pengembangan).
Daurul fitri melalui visi dan misi ibadah serta fungsi khilafah dengan ma'alim ta'abudiyah dan ma'alim kauniyahnya Insya Allah akan membuat kita mampu mengikuti dinamika sejarah, isu kemanusiaan, tren peradaban, perkembangan politik dan sebagainya.
Kedua, perhatikan tathwir 'amal jam'iy wat tanzhimiy (Pengembangan 'Amal Jama'i dan Struktur). 
Dengan personal/kader inti yang memiliki Al-Fahmus syamil wal iltizamul kamil da’wah yang berkonsepsi syumuliyah mutakamilah akan senantiasa berkembang pesat dari waktu ke waktu. Sebab setiap unsur ke-syumuliyah-an dan ke-takamuliyah-an harus terpadu mengikuti kebutuhan umat dan hadharah insaniyah (peradaban manusia) di tengah realitas dunia yang berkembang.
Maka jika pada mulanya kita bergumul dengan ansyithah tajnidiyah (kegiatan kaderisasi), secara pasti kita akan melangkah dan berkembang lebih luas. Dahulu kita berhubungan dengan zawil kafaat tajnidiyah dengan ansyithah di sekitar itu, tetapi kemudian kita berhadapan dengan pengembangan ansyithah karena ingin mewujudkan kesyumuliyahan dan ketakamuliyahan da’wah.
Dalam suasana ini, adalah keliru bila kita mengartikan tajarrud sebagai meninggalkan ansyithah syumuliyah demi terwujudnya tajnidiyah. Tajarrud bukan meninggalkan semua tetapi justru membawa semua secara tawazun. Masalahnya kita harus pandai menentukan prioritas amal jama'iy. Problematika kita adalah bagaimana kita mengatur waktu; menentukan yang dharuriy, hajiyaat dan tahsinaat; kemudian melaksanakan kewajiban kita secara ihsan. Inallaha katabal ihsan 'ala kulli syaiy'i.
Perhatian kita sebagai afrad jama'ah hendaknya pada seluruh elemen kehidupan manusia. Dengan sendirinya potensi dan aktifitas akan terbagi namun bila kesemuanya dibingkai dengan wihdatul aqidah, wihdatul fikrah dan wihdatul minhaj yang kita miliki akan meraih keberkahan dan rahmat Allah Ta’ala. Selain itu, semua aktifitas hendaknya terpadu erat, bukan langkah infiradi (perseorangan) yang nyelonong. Harus terikat dengan barnamij dan harus ter-takhtith (rencana) dengan baik.
Jamaah memiliki tingkat ekspansi yang tinggi, sedangkan manusia telah digariskan tabiatnya untuk da’wah ini. Selama kita (afrad jamaah) memiliki mawazin dan memiliki qiyam fitriyah Insya Allah perkembangan jamaah pun akan sehat. Untuk peningkatan ekspansi baramij tarbawiyah (program tarbiyah) aktifitas jamaah sifatnya hanya stimulans, hanya menjadi pemicu dan pemacu. bukan satu-satunya baramij yang harus direalisasikan. Diperlukan usaha yang besar dalam tarbiyah dzatiyah.. Untuk merealisasikan tausi'ah wa tarqiyah (perluasan demografis dan peningkatan SDM) senantiasa diperlukan ubudiyah wa 'ulumiyah atau dengan kata lain da’wah wat tarbiyah.
Karena itu kita memerlukan junud (laskar) yang siap memikul beban da’wah, bukan malah menjadi beban. Sebab jama'ah kita bukan sekolah kendati suasana tarbiyah-mentarbiyah dihidupkan di segala sisi untuk mewujudkan syumuliyah dan takamuliyah perkembangan da’wah. Juga bukan rumah sakit tetapi kumpulan orang-orang sehat yang saling bersinergi memberi dan berkorban, saling membantu, senasib sepenanggungan.
Marilah kita tingkatkan aktifitas jamaah ini dengan meningkatkan sifat kekaderannya di berbagai bidang sehingga terwujud junud da’wah sejati. Sebab hanya kader yang mampu memikul beban yang dapat saling bekerja sama secara harmonis.
Standar tarbiyah yang ada dalam baramij juga hendaknya mengantisipasi masalah ini. Jangan terpaku pada baramij rismiyah, karena apa artinya bila kita mabit tetapi tidak mampu melakukan ekspansi da’wah. Atau sibuk mengurus tanzhim tetapi tak mampu mengurus daulah. Karena itu dalam mutaba'ah hendaknya jangan kaku dengan aturan menyangkut kehadiran di liqa’ padahal seorang akh mempunyai nasyath tanzhimiyah (aktivitas struktural) yang lebih dharuriy. Ini hendaknya menjadi perhatian bagi para Pembina.
Ketiga, perhatikan tathwir 'ilmi wats tsaqafi wal hadhari (pengembangan ilmu, wawasan dan peradaban). 
Memperhatikan pengembangan ilmu, tsaqafah dan peradaban ini sangat penting untuk meningkatkan penguasaan kita terhadap wasail (sarana) dan asalib hadhariyah fid da’wah. Juga menangkal segala jarasim fikriyah (virus pemikiran) yang akan merusak da’wah yang datang dari berbagai arah, serta mewujudkan suatu alternatif (badil) bagi peningkatan wawasan umat Islam.
Afrad jamaah hendaknya mampu mengantisipasi masa depan dengan memahami perkembangan tren ilmu dan teknologi, tren ekonomi, politik dan budaya, bahkan hendaknya kita mampu melangkah dengan menjadikannya sebagai sarana da’wah. Karena itu, belajar dan tingkatkan wawasan. Seraplah informasi dunia khususnya yang terkait dengan tathwir 'ilmi was siyasi ini sehingga kita mampu memahamkan masyarakat melalui unsur-unsur hadhari ini.
Keempat, perhatikan tathwir ijtima'iy wal iqtishady (pengembangan sosial dan ekonomi). 
Masalah sosial dan interaksinya dengan perkembangan hadharah selalu berubah dan berkembang terus menerus. Kuasailah suasananya tanpa meninggalkan prinsip dan kepribadian kita. Kita bergaul dengan masyarakat dengan dua acuan: ansyithah ijtimaiyah dakhiliyah (aktivitas kemasyarakatan internal) dan ansyithah ijtimaiyah kharijiyah (aktivitas kemasyarakatan eksternal). Jadi jangan menjadi orang yang aneh di tengah kaum muslimin sendiri.
Dalam ansyithah dakhiliyah seluruh stelsel dan elemen tanzhim tersentuh dan tercover dengan ta'awun iqtishadiy dan takaful ijtima'iy. Jangan sampai ada yang mengeluh dalam masalah ekonomi, berta'awunlah. Sedangkan untuk nasyath kharijiyah kita bertanggungjawab pula mensejahterakan umat. Kita lebih wajib merealisasikan surat Al-Ma'uun yang mengharuskan kita menyeimbangkan ibadah dan fungsi sosial di tengah umat. Prinsip kita: nahnu minhum, nahnu ma'ahum wa nahnu lahum.
Dalam masalah ijtimaiyah ini Rasul memberi taujih da’wah dengan pola yang jelas dengan berbagai pendekatan: Dengan pendekatan bahasa dan budaya, khatibun naasa 'ala qadri lughatihim (bicaralah dengan masyarakat sesuai dengan bahasa mereka); pendekatan intelektual, khatibun nasa 'ala qadri uqulihim (bicaralah dengan masyarakat sesuai dengan kemampuan nalar mereka); pendekatan sosial, anzilun nasa manazilahum (tempatkanlah masyarakat sesuai dengan kedudukan mereka); pendekatan ekonomi, tu'khadzu min aghniyaaihim wat turadduu ila fuqaraaihim (ambillah sebagian harta orang-orang kaya mereka dan bagikanlah ke orang-orang miskin di antara mereka)
Kelima, perhatikan tathwir siyasi (pengembangan politik). 
Yaitu kemampuan kita merekayasa pendayagunaan potensi internal maupun eksternal untuk tujuan-tujuan kita. Di antara potensi manusia sebagai musakhar, kita harus mampu melakukan politican engineering (rekayasa politis).
Tidak seluruh wihdatus shaf itu jamaah, jamaah hanya berperan sebagai intinya. Wihdatus shaf adalah umat dalam satu ideologi dan kita menyertakan mereka dalam perjuangan.
Dalam rekayasa politik kita dapat melakukan: (1) Aliansi ideologis, yaitu kerjasama dengan kelompok Islam dari kalangan orang-orang yang memiliki kemiripan akidah dan fikrah dengan kita, (2) Aliansi strategis, yaitu kerjasama dengan kelompok-kelompok yang memiliki tujuan yang sama, seperti dengan kelompok nasionalis yang sama-sama bertujuan mensejahterakan rakyat, (3) Aliansi taktis, yaitu kerjasama dengan kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan bersama, (4) Aliansi teknis, yaitu kerjasama yang sifatnya semata-mata istifadah, memanfaatkan dan memberi manfaat. Keempat aliansi ini dapat direalisasikan bila kita memiliki kredibilitas politik dilandasi dengan kemampuan handasah siyasiyah (kecerdasan politik).
Wallahu a’lam
http://t3.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSM9xGSkvXov5MBt203yq2GffbW_zH7UITHneS_vFmk1wHDgoIq&t=1
Ustadz Hilmi Aminudin 

sumber : Majalah Al Intima

Minggu, 18 Maret 2012

Hukum Bermain Musik

www.syariahonline.com

Fathy Z. Pohan

Pertanyaan:

Assalamualaikum Wr. Wb. Alhamdulillah saya telah mendapat keterangan hukum mendengar musik dari buku Halal Haram-nya Dr. Yusuf Qaradhawi. Sekarang yang mau saya tanyakan bagaimana hukum bermain musik/alat music? Syukron, Jzzk. 

Jawaban:

Assalamu `alaikum Wr. Wb. Hukum yang terkait dengan menggunakan alat musik dan mendengarkannya, para ulama juga berbeda pendapat. Jumhur ulama mengharamkan alat musik. Sesuai dengan beberapa hadits diantaranya, sbb: Sungguh akan ada di antara umatku, kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr dan alat-alat yang melalaikan." (HR Bukhari) Dari Nafi bahwa Ibnu Umar mendengar suara seruling gembala, maka ia menutupi telingannya dengan dua jarinya dan mengalihkan kendaraannya dari jalan tersebut. Ia berkata: ‘Wahai Nafi’ apakah engkau dengar? Saya menjawab:”Ya”. Kemudian melanjutkan berjalanannya sampai saya berkata: ”Tidak”. Kemudian Ibnu Umar mengangkat tangannya, dan mengalihkan kendaraannya ke jalan lain dan berkata: Saya melihat Rasulullah saw. mendengar seruling gembala kemudian melakukan seperti ini.” (HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah). Dari Umar bin Hushain, bahwa Rasulullah saw. berkata tentang umat ini: ”Gerhana, gempa dan fitnah. Berkata seseorang dari kaum muslimin: Wahai Rasulullah kapan itu terjadi?” Rasul menjawab: ”Jika biduanita, musik dan minuman keras dominan.” (HR At-Tirmidzi). 

Para ulama membicarakan dan memperselisihkan hadits-hadits tentang haramnya nyanyian dan musik. Hadits pertama diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya, dari Abi Malik Al Asy'ari ra. Hadits ini walaupun terdapat dalam hadits shahih Bukhori, tetapi para ulama memperselisihkannya. Banyak diantara mereka yang mengatakan bahwa hadits ini adalah mualaq (sanadnya terputus), diantaranya dikatakan oleh Ibnu Hazm. Disamping itu diantara para ulama menyatakan bahwa matan dan sanad hadits ini tidak selamat dari kegoncangan (idtirab). Katakanlah, bahwa hadits ini shohih, karena terdapat dalam hadits shohih Bukhori, tetapi nash dalam hadits ini masih bersifat umum, tidak menunjuk alat-alat tertentu dengan namanya. Batasan yang ada adalah bila ia melalaikan. Hadits kedua dikatakan oleh Abu Dawud sebagai hadits mungkar. Kalaupun hadits ini shohih, maka Rasulullah saw. tidak jelas mengharamkannya. Bahkan Rasulullah saw mendengarkannya sebagaimana juga yang dilakukan oleh Ibnu Umar. Sedangkan hadits ketiga adalah hadits ghorib. Dan hadits-hadits lain yang terkait dengan hukum musik, jika diteliti ternyata tidak ada yang shohih. 

Adapun ulama yang menghalalkan musik sebagaimana diantaranya diungkapkan oleh Imam Asy-Syaukani dalam kitabnya, Nailul Authar adalah sbb: Ulama Madinah dan lainnya, seperti ulama Dzahiri dan jama’ah ahlu Sufi memberikan kemudahan pada nyanyian walaupun dengan gitar dan biola.” Juga diriwayatkan oleh Abu Manshur Al-Bagdadi As-Syafi’i dalam kitabnya bahwa Abdullah bin Ja’far menganggap bahwa nyanyi tidak apa-apa, bahkan membolehkan budak-budak wanita untuk menyanyi dan beliau sendiri mendengarkan alunan suaranya. Dan hal itu terjadi di masa khilafah Amirul Mukminin Ali ra. Begitu juga Abu Manshur meriwayatkan hal serupa pada Qodhi Syuraikh, Said bin Al Musayyib, Atho bin abi Ribah, Az-Zuhri dan Asy-Sya’bi. Imam Al-Haramain dalam kitabnya, An-Nihayah dan Ibnu Abi Ad-Dunya yang menukil dari Al-Itsbaat Al-Muarikhiin; bahwa Abdullah bin Zubair memiliki budak-budak wanita dan gitar. Dan Ibnu Umar pernah kerumahnya ternyata disampingnya ada gitar , Ibnu Umar berkata: ”Apa ini wahai sahabat Rasulullah saw. kemudian Ibnu Zubair mengambilkan untuknya, Ibnu Umar merenungi kemudian berkata:” Ini mizan Syami( alat musik) dari Syam?”. Berkata Ibnu Zubair:” Dengan ini akal seseorang bisa seimbang.” Dan diriwayatkan dari Ar-Rowayani dari Al-Qofaal bahwa madzhab Malik bin Anas membolehkan nyanyian dengan alat musik. Demikianlah pendapat ulama tentang mendengarkan alat musik. Dan jika diteliti dengan cermat, maka ulama muta’akhirin yang mengharamkan alat musik karena mereka mengambil sikap waro’ (hati-hati). Mereka melihat kerusakan yang timbul dimasanya. Sedangkan ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabi’in menghalalkan alat musik karena mereka melihat memang tidak ada dalil baik dari Al-Qur’an maupun hadits yang jelas mengharamkannya. Sehingga dikembalikan pada hukum asalnya yaitu mubah. Oleh karena itu bagi umat Islam yang mendengarkan nyanyian dan musik harus memperhatikan faktor-faktor berikut:

Pertama: Lirik Lagu yang dilantunkan. Hukum yang berkaitan dengan lirik ini adalah seperti hukum yang diberikan pada setiap ucapan dan ungkapan lainnya. Artinya, bila muatannya baik menurut syara' maka hukumnya dibolehkan. Dan bila muatanya buruk menurut syara' maka dilarang. 

Kedua: Alat Musik yang Digunakan. Sebagaimana telah diungkapkan di muka bahwa, hukum dasar yang berlaku dalam Islam adalah bahwa segala sesuatu pada dasarnya dibolehkan kecuali ada larangan yang jelas. Dengan ketentuan ini, maka alat-alat musik yang digunakan untuk mengiringi lirik nyanyian yang baik pada dasarnya dibolehkan. Sedangkan alat musik yang disepakati bolehnya oleh jumhur ulama adalah ad-dhuf (alat musik yang dipukul). Adapun alat musik yang diharamkan untuk mendengarkannya, para ulama berbeda pendapat satu sama lain. Satu hal yang disepakati ialah semua alat itu diharamkan jika melalaikan. 

Ketiga: Cara Penampilan harus dijaga agar tetap terjaga dari hal-hal yang dilarang syara' seperti pengeksposan cinta birahi, seks, pornografi dan ikhtilath.
Keempat: Akibat yang ditimbulkan. Walaupun sesuatu itu mubah, namun bila diduga kuat mengakibatkan hal-hal yang diharamkan seperti melalaikan shalat, munculnya ulah penonton yang tidak Islami sebagi respon langsung dan sejenisnya, maka sesuatu tersebut menjadi terlarang pula. Sesuai dengan kaidah Saddu Adz dzaroi' (menutup pintu kemaksiatan). 

Kelima: Aspek Tasyabuh. Perangkat khusus, cara penyajian dan model khusus yang telah menjadi ciri kelompok pemusik tertentu yang jelas-jelas menyimpang dari garis Islam, harus dihindari agar tidak terperangkap dalam tasyabbuh dengan suatu kaum yang tidak dibenarkan. Rasulullah saw. bersabda: “Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk mereka” (HR Ahmad dan Abu Dawud) 

Keenam: Orang yang menyanyikan. Haram bagi kaum muslimin yang sengaja mendengarkan nyanyian dari wanita yang bukan muhrimnya. Sebagaimana firman Allah SWT: Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (QS Al-Ahzaab 32) Demikian kesimpulan tentang hukum nyanyian dan musik dalam Islam semoga bermanfaat bagi kaum muslimin dan menjadi panduan dalam kehidupan mereka. Amiin. Wallahu A`lam Bish-Showab, Wassalamualaikum Wr. Wb.

http://www.syariahonline.com/v2/masalah-umum/1881-hukum-bermain-musik.html

Jumat, 09 Maret 2012

Perempuan di Parlemen, Apa Hukumnya?



Perempuan di Parlemen, Apa Hukumnya?Fiqhislam.com - Perempuan memiliki posisi terhormat dalam ajaran Islam. Sejak zaman Rasulullah SAW, kaum perempuan telah berjasa besar dalam dakwah dan perjuangan menyebarkan ajaran Islam.
Di era modern ini, peran perempuan setara dengan kaum pria. Salah satunya adalah peran kaum perempuan di parlemen. Bahkan UU Pemilu sebelumnya menegaskan adanya kuota 30 persen bagi kaum hawa di DPR.

Lalu bagaimana Islam memandang tampilnya kaum perempuan di parlemen? Wanita adalah manusia mukallaf (yang bertanggung jawab)  sebagaimana halnya laki-laki. Mereka dituntut beribadah kepada Allah dan menegakkan agama-Nya. Baik laki-laki maupun perempuan dituntut menunaikan segala perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, mematuhi batas-batas-Nya, menyeru orang lain kepada agama-Nya, serta beramar ma'ruf nahyi munkar.

Semua firman Allah SWT dan sabda Rasulullah SAW di dalamnya meliputi kaum wanita, kecuali jika ada dalil tertentu yang mengkhususkannya untuk laki-laki. Pada zaman Rasulullah SAW, kaum hawa sudah memainkan peran yang penting, sehingga suara yang pertama kali dikumandangkan untuk membenarkan dan mendukung Nabi SAW adalah suara wanita yakni Khadijah RA.  Bahkan, orang yang mati syahid pertama adalah wanita, yaitu Sumayyah ibu dar Ammar RA.

Ulama terkemuka Syekh Yusuf al-Qaradhawi dalam buku bertajuk Fatwa-fatwa Kontemporer, mengatakan, janganlah menetapkan sesuatu melainkan dengan nash-nash yang sahih yang memberikan ketetapan.

Syekh al-Qaradhawi, mengungkapkan, saat ini kamus sekuler memperdagangkan persoalan wanita (mengangkat persoalan-persoalan wanita) dan mencoba mengaitkannya dengan Islam mengenai hal-hal yang sebenarnya Islam terlepas daripadanya.

Misalnya, kata dia, Islam masih dipandang mendiskreditkan kaum wanita serta menyia-nyiakan kemampuan dan kodratnya, dengan alasan kebiasaan-kebiasaan yang terjadi pada beberapa dekade terakhir, dan dengan alasan beberapa pendapat kaum ekstremis pada zaman sekarang.

Menurut Syekh al-Qaradhawi, ada  sebagian orang yang  masih menganggap  duduknya wanita di parlemen adalah haram dan dosa. Padahal, kata dia,  mengharamkan sesuatu itu tidak dapat dilakukan,  kecuali dengan adanya dalil yang tidak samar lagi. Sedangkan, semua tindakan duniawi itu mubah, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan keharamannya.

Syekh al-Qaradhawi berpendapat, seorang wanita Muslim boleh menjadi anggota parlemen. Syaratnya, kata dia, mereka tak bergaul bebas dengan laki-laki lain tanpa batas. Selain itu, anggota wanita yang duduk di parlemen juga tak boleh mengabaikan suami, anak-anak dan lingkungannya.

Dengan duduk di parlemen, seorang perempuan bukan berarti diperbolehkan menyimpang dari kesopanan dalam berpakaian, berjalan, bergerak dan berbicara.  Perempuan yang menjadi anggota parlemen, papar al-Qaradhawi, harus tetap menjaga adab-adab kesopanan sesuai dengan tuntunan syara'. Hal itu, menurutnya, tidak diragukan dan tidak dipertentangkan siapa pun.

Adab-adab itu, tutur Syekh al-Qaradhawi,  harus dipenuhi seorang perempuan ketika beraktivitas di luar rumah, seperti di parlemen atau kampus. Menurut dia,  negara-negara yang memelihara adab-adab Islam dituntut untuk memberikan tempat tertentu bagi kaum perempuan untuk duduk di parlemen,  berupa baris khusus atau sudut khusus. Sehingga, mereka bisa menunaikan tugasnya dengan tenang dan terjauh dari fitnah-fitnah yang dikhawatirkan.

Syarat Wanita Duduk di Parlemen

* Nahdlatul Ulama

Nahdlatul Ulama (NU) dalam fatwanya yang disepakati pada Konferensi Besar Syuriah NU di Surabaya pada 19 Maret 1957 memperbolehkan perempuan menjadi anggota parlemen, dengan syarat:

* Afifah (Bisa menjaga kehormatan diri)
*  Ahli dalam hal-hal tersebut di atas.
*  Menututpi auratnya
*  Mendapat izin dari yang berhak memberi izin
*  Aman dari fitnah
*  Tidak menjadikan sebab timbulnya mungkar menurut syara.

Apabila tidak memenuhi syarat-syarat tersebut di atas, maka haram. Dan syuriah dengan kebijaksanaan serta persetujuan PB Syuriah NU berhak menariknya.


Muhammadiyah

Pada Muktamar XVII Muhammadiyah di Pancongan, Pekalongan, Jawa Tengah tahun 1972 diputuskan, bahwa hampir seluruh ajaran Islam tentang muamalat dunyawiyyah (urusan duniawi) mengandung unsur-unsur politis dan ideologis. Muhammadiyah membolehkan kaum perempuan untuk menjadi anggota parlemen. Muhammadiyah mendorong kaum wanita ikut serta dan berjuang mencapai jumlah perwakilan yang memadai. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan:

*  Harus ada pembimbing politis dari setiap stuasi yang dihadapi terutama yang menyangkut masalah kewanitaan, agar setiap wanita Islam memiliki kesadaran politik.

*  Harus dipersiapkan kader-kader politik wanita Islam
*  Dalam kerjasama dengan organisasi-organisasi lain, harus dapat menempatkan orang-orang yang sekiranya sanggup menjadi fa'il (pemeran).

Semut-Semut Nan Perkasa

Semut-Semut Nan PerkasaFiqhislam.com - Semut adalah binatang khusus yang bukan hanya namanya disebut di Al-Qur’an, tetapi juga digunakan menjadi nama salah satu surat – yaitu Surat Semut (An Naml), surat ke 27. Sangat bisa jadi ada pelajaran besar yang Allah kehendaki agar kita belajar dari bangsa semut ini – yang belum seluruhnya bisa kita pahami. 

Pelajaran dari bangsa semut ini akan bertambah manakala kita bisa belajar dari dua sumber utamanya sekaligus, yaitu yang pertama melalui ayat-ayat yang tertulis dalam KitabNya. Yang kedua ya dengan mengamati kehidupan masyarakat semut itu sendiri.

Semut adalah makhluk sosial yang sangat disiplin dan tahu betul tugasnya. Semut-semut yang banyak kita lihat umumnya adalah semut pekerja yang seluruhnya betina. Semut jantan tidak berkeliaran karena tugasnya hanya satu yaitu mengawini ratu-nya.

Meskipun semut pekerja tersebut adalah semut betina, mereka amat sangat perkasa. Seekor semut betina rata-rata bisa mengangkat beban sampai 50 kali berat tubuhnya sendiri. Jadi bayangkan bila istri Anda yang mungil dengan berat tubuh hanya 50 kg, tetapi dia bisa mengangkat mobil ukuran sedang seberat 2.5 ton – maka itulah kurang lebih perumpamaan kemampuan semut betina pekerja ini !.

Semut juga merupakan makhluk yang taat komando dari pimpinannya dan mampu berkomunikasi dengan sesamanya secara baik. Ketaatan pada pimpinan dan kemampuan komunikasi ini diabadikan di Al-Qur’an : “Hingga apabila mereka sampai di lembah semut berkatalah seekor semut: Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari" (QS 27 :18).

Kita memang tidak dikarunia kemampuan seperti nabi Sulaiman Alaihi Salam yang bisa memahami bahasa semut, tetapi kita tetap bisa belajar langsung dari bangsa semut ini. Anda bisa mempraktekkannya sendiri dan caranya tidak terlalu sulit.
Ambillah makanan yang manis dan taruh di tempat yang biasanya dikunjungi semut, insyaAllah tidak terlalu lama semut-semut tersebut akan berdatangan. Awalnya satu, dua, tiga dan seterusnya sampai terkumpul sejumlah semut yang cukup untuk mengangkat makanan tersebut.

Meskipun padat karya, mereka nampaknya bisa mengukur berapa jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk tugas membawa makanan ini. Tidak ada yang malas dan tidak ada yang menganggur, semua bekerja dengan satu misi yang sama.

Setelah mereka berhasil mengangkat makanan tersebut, mereka akan bergerak menuju sarangnya. Tetapi nanti dahulu, kadang perjalanan menuju sarang tersebut tidak selalu mulus. Perhatikan bagaimana semut-semut ini akan mengatasi halangan yang ada. Bila halangan terlalu besar, dia akan mengitari halangan tersebut – dia mencari jalan lain. Bila halangan tidak terlalu besar maka halangan akan ‘dilompati’ dengan cara mereka sendiri.

Sebelum mereka memutuskan apakah akan mengitari atau melompati halangan yang ada, mereka nampak berhenti dan mungkin berfikir, berdiskusi dengan teamnya – baru kemudian mengangkat kembali beban berat yang ada untuk solusi yang sudah disepakati bersama. Betapa cerdasnya mereka mengatasi halangan dan rintangan tersebut sehingga terlalu panjang bila saya uraikan detailnya disini.

Yang paling menarik adalah ketika semut-semut ini berhasil membawa makanan besar tersebut ke pintu sarangnya di akhir perjalanan. Apa yang mereka lakukan ?.

Dengan ukuran makanan yang jauh lebih besar dari pintu sarangnya, adakah mereka punya solusi untuk membawanya masuk ?. Ternyata tidak, semut-semut tersebut memang tidak berkeinginan membawa makanan besar tersebut masuk ke sarangnya. Ditinggalkannya makanan ini di pintu masuk sarangnya, untuk menjadi santapan semut-semut lain yang membutuhkannya.

Inilah rupanya salah satu pelajaran besar yang bisa kita petik, secara individu semut-semut tersebut nampaknya tahu betul bahwa dia hanya butuh sedikit saja untuk makannya. Tetapi mereka secara bersama-sama tetap bekerja keras, bersusah payah mengatasi segala halangan yang ada – agar semut-semut lain dapat makanan dengan cukup dan dengan mudah – di pintu sarangnya.

Kita bangsa manusia banyak juga yang mau bekerja keras mengatasi halangan dan rintangan, tetapi kita sering lupa bagian orang lain. Kita tahu bahwa akhirnya yang kita butuhkan sebenarnya juga hanya sedikit, tetapi kita tetap saja (berusaha) mencari begitu banyak untuk diri kita sendiri.

Kerja keras memang suatu keharusan, membangun kejayaan juga patut terus diupayakan – tetapi semua pencapian tersebut hendaklah digunakan seperti makanan semut tadi – untuk dapat dimanfaatkan oleh umat yang banyak. Inilah salah satu bentuk amal saleh yang sangat dibutuhkan umat ini, agar kita tidak diperdaya dan dijajah oleh umat lain. Agar maqasid syariah berupa iman, jiwa, pikiran, keturunan, kehormatan dan harta umat terjaga.

Maka tidak heran setelah ayat yang menceritakan semut-semut berbicara satu sama lain tersebut diatas, Allah memberikan petunjuknya tentang apa yang perlu kita lakukan : “maka dia (Sulaiman) tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdoa: "Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh". (QS 27:19).

Pasti bukan kebetulan bila ayat tersebut senada dengan do’a yang dianjurkan untuk orang-orang yang telah mencapai usia 40 tahun : “…sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri"”(QS 46 :15).

Jadi, yang kita butuhkan sekarang adalah masyarakat pekerja keras seperti kaum semut pekerja tersebut diatas. Mereka mensyukuri ‘nikmat’ kelebihan masing masing, ada yang diberi ilmu, ada yang diberi harta, ada yang diberi kekuatan fisik dlsb., mereka mensyukurinya dengan bekerja keras mengoptimalkan kelebihan masing-masing. Bukan untuk membangun kekayaannya untuk dirinya sendiri, tetapi agar menjadi amal saleh yang diridhai-Nya.

Di Al-Qur’an ada contoh-contoh yang pas untuk masing-masing peran, ada contoh untuk para pemimpin, ada contoh untuk para pendidik, ada contoh untuk suami, ada contoh untuk istri dan ada contoh untuk rakyat biasa yang rata-rata kaum pekerja.

Untuk saat ini umat sangat membutuhkan kekuatan ekstra untuk bisa membangun ketahanan ekonomi dan khususnya ketahanan pangan, maka keberadaan ‘semut-semut perkasa’ dari kaum pekerja seperti kita-kitalah yang sangat dibutuhkan. Semoga kerja keras kita bisa dicatat sebagai amal saleh yang diridhaiNya, Amin.
Oleh Muhaimin Iqbal
http://www.fiqhislam.com/index.php?option=com_content&view=article&id=47982:semut-semut-nan-perkasa&catid=74:artikel-islami&Itemid=231