Boleh jadi, ada di antara kita yang dahulu, ketika kecil (usia-usia TK atau SD), sudah memiliki kenakalan yang cukup parah, semisal mencuri buah mangga milik tetangga, ketika sambil pulang sekolah, atau kenakalan semisal. Bagaimanakah cara bertobat yang benar dari kenakalan-kenakalan semisal ini? Jawaban lengkapnya ada dalam tulisan berikut ini.
Pertanyaan, “Aku pernah mencuri beberapa benda dari suatu warung dan dari milik salah seorang kerabatku, ketika aku masih kecil, tepatnya, ketika di SD dahulu. Itu kulakukan tanpa adanya kebutuhan mendesak terhadap beberapa benda tersebut. Yang menjadi pertanyaan, apa yang harus aku lakukan terhadap benda-benda yang kucuri? Perlu diketahui bahwa aku tidak lagi memiliki benda-benda tersebut sehingga aku tidak bisa lagi mengembalikannya kepada mereka.”
Jawaban, “Jika seorang anak, yang belum balig, mencuri atau melukai bahkan membunuh seseorang atau melakukan tindakan kejahatan yang lain, anak kecil tersebut tidaklah berdosa karena dia belum terbebani dosa atas perbuatan yang dia lakukan. Akan tetapi, hak korban tidaklah gugur dikarenakan pelaku kejahatan adalah anak kecil. Namun, anak kecil tersebut wajib memberikan ganti rugi atau tebusan yang diambilkan dari harta si anak kecil.
An-Nawawi Asy-Syafi'i, dalam Al-Majmu', 7:37, menukil perkataan Ibnul Mundzir, 'Para ulama bersepakat bahwa kejahatan yang dilakukan oleh anak kecil itu--ganti ruginya--diambilkan dari harta mereka.' Perkataan Ibnul Mundzir ini juga dinukil oleh Ibnu Qudamah Al-Hanbali, dalam Al-Mughni, 3:108.
Syekh Ibnu Baz mendapatkan pertanyaan mengenai hukum seseorang yang mengambil harta yang haram dari beberapa orang. Itu terjadi sebelum orang tersebut balig. Setelah balig, dia bertobat dan memohon ampunan kepada Allah serta berkeinginan untuk mengembalikan harta yang dia curi kepada pemiliknya.
Meski begitu, dia tidak mengetahui secara pasti nilai dari harta curian tersebut. Oleh karena itu, dia berusaha mengira-ngira nilai dari harta curian tersebut, tanpa menzalimi satu pun dari korban kejahatannya di masa kecil. Permasalahan yang lain adalah ada salah seorang korban yang tidak diketahui nama dan alamat domisilinya saat ini. Bolehkah bersedekah atas nama orang tersebut ataukah tidak?
Jawaban Ibnu Baz, 'Adapun korban yang diketahui keberadaannya maka orang tersebut wajib menyerahkan hak mereka kepada orang-orang itu, sesuai dengan nilai barang curian yang dia perkirakan berdasarkan sangkaan kuatnya, atau hendaknya dia meminta maaf dan kerelaan si korban atas peristiwa yang pernah terjadi. Adapun korban yang tidak diketahui apakah masih hidup ataukah sudah meninggal dunia, serta tidak diketahui keberadaan ahli warisnya, maka solusinya adalah bersedekah atas nama orang tersebut, dengan niat pahalanya untuk orang tersebut, ditambah tobat dengan penuh kesungguhan. Dengan demikian, gugurlah kewajiban yang menjadi bebannya.' (Fatwa Ibnu Baz di atas bisa dibaca di http://www.binbaz.org.sa/mat/9338)
Terkait dengan barang curian yang saat ini sudah tidak ada, karena sudah rusak terpakai, Anda berkewajiban untuk menggantinya dengan barang yang serupa atau mengganti dengan memberikan nilai dari barang yang serupa tersebut, kepada pemiliknya.
Jika mengembalikan barang kepada pemiliknya, sambil berterus terang mengenai kejadian yang pernah terjadi, itu sulit dilakukan maka berterus terang tidaklah wajib dilakukan oleh Anda. Yang terpenting, hak orang tersebut sudah bisa dikembalikan.
Syekh Ibnu Baz pernah ditanyai mengenai harta curian lalu pelakunya bertobat dan ingin mengembalikannya, namun hal ini menyebabkan perasaan berat di hatinya.
Jawaban Ibnu Baz, 'Kewajiban orang tersebut adalah mengembalikan harta curian kepada pemiliknya, dengan cara apa pun yang memungkinkan, selama keberadaan pemiliknya diketahui, meski tanpa memberi tahu si pemilik bahwa barang tersebut berasal dari dirinya. Misalnya, dia meminta tolong kepada seseorang yang diyakini bisa menyerahkan barang tersebut kepada pemiliknya. Bisa juga lewat pos atau yang lain.
Orang tersebut tidak boleh tetap menyimpan harta curian. Bahkan, dia wajib mengembalikannya kepada pemiliknya, selama keberadaan pemilik diketahui dengan cara apa pun, meski pemilik yang sebenarnya tidak mengetahui bahwa barang tersebut berasal dari dirinya. Misalnya, dia serahkan barang curian tersebut kepada seseorang dengan pesan agar berkata kepada pemilik yang sebenarnya, 'Ada seorang yang menyerahkan barang ini kepadaku, dan orang tersebut mengatakan bahwa barang ini adalah milikmu yang ada di tempatnya,' atau mengatakan, 'Ada seseorang yang menyerahkan barang ini kepadaku dengan maksud supaya aku menyerahkan barang ini kepadamu.'' (Fatwa Ibnu Baz ini bisa dibaca di http://www.binbaz.org.sa/mat/17764).”
Diterjemahkan--dengan beberapa peringkasan--dari http://islamqa.com/ar/ref/129779.
Artikel www.PengusahaMuslim.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar