Jumat, 09 Maret 2012

Perempuan di Parlemen, Apa Hukumnya?



Perempuan di Parlemen, Apa Hukumnya?Fiqhislam.com - Perempuan memiliki posisi terhormat dalam ajaran Islam. Sejak zaman Rasulullah SAW, kaum perempuan telah berjasa besar dalam dakwah dan perjuangan menyebarkan ajaran Islam.
Di era modern ini, peran perempuan setara dengan kaum pria. Salah satunya adalah peran kaum perempuan di parlemen. Bahkan UU Pemilu sebelumnya menegaskan adanya kuota 30 persen bagi kaum hawa di DPR.

Lalu bagaimana Islam memandang tampilnya kaum perempuan di parlemen? Wanita adalah manusia mukallaf (yang bertanggung jawab)  sebagaimana halnya laki-laki. Mereka dituntut beribadah kepada Allah dan menegakkan agama-Nya. Baik laki-laki maupun perempuan dituntut menunaikan segala perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, mematuhi batas-batas-Nya, menyeru orang lain kepada agama-Nya, serta beramar ma'ruf nahyi munkar.

Semua firman Allah SWT dan sabda Rasulullah SAW di dalamnya meliputi kaum wanita, kecuali jika ada dalil tertentu yang mengkhususkannya untuk laki-laki. Pada zaman Rasulullah SAW, kaum hawa sudah memainkan peran yang penting, sehingga suara yang pertama kali dikumandangkan untuk membenarkan dan mendukung Nabi SAW adalah suara wanita yakni Khadijah RA.  Bahkan, orang yang mati syahid pertama adalah wanita, yaitu Sumayyah ibu dar Ammar RA.

Ulama terkemuka Syekh Yusuf al-Qaradhawi dalam buku bertajuk Fatwa-fatwa Kontemporer, mengatakan, janganlah menetapkan sesuatu melainkan dengan nash-nash yang sahih yang memberikan ketetapan.

Syekh al-Qaradhawi, mengungkapkan, saat ini kamus sekuler memperdagangkan persoalan wanita (mengangkat persoalan-persoalan wanita) dan mencoba mengaitkannya dengan Islam mengenai hal-hal yang sebenarnya Islam terlepas daripadanya.

Misalnya, kata dia, Islam masih dipandang mendiskreditkan kaum wanita serta menyia-nyiakan kemampuan dan kodratnya, dengan alasan kebiasaan-kebiasaan yang terjadi pada beberapa dekade terakhir, dan dengan alasan beberapa pendapat kaum ekstremis pada zaman sekarang.

Menurut Syekh al-Qaradhawi, ada  sebagian orang yang  masih menganggap  duduknya wanita di parlemen adalah haram dan dosa. Padahal, kata dia,  mengharamkan sesuatu itu tidak dapat dilakukan,  kecuali dengan adanya dalil yang tidak samar lagi. Sedangkan, semua tindakan duniawi itu mubah, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan keharamannya.

Syekh al-Qaradhawi berpendapat, seorang wanita Muslim boleh menjadi anggota parlemen. Syaratnya, kata dia, mereka tak bergaul bebas dengan laki-laki lain tanpa batas. Selain itu, anggota wanita yang duduk di parlemen juga tak boleh mengabaikan suami, anak-anak dan lingkungannya.

Dengan duduk di parlemen, seorang perempuan bukan berarti diperbolehkan menyimpang dari kesopanan dalam berpakaian, berjalan, bergerak dan berbicara.  Perempuan yang menjadi anggota parlemen, papar al-Qaradhawi, harus tetap menjaga adab-adab kesopanan sesuai dengan tuntunan syara'. Hal itu, menurutnya, tidak diragukan dan tidak dipertentangkan siapa pun.

Adab-adab itu, tutur Syekh al-Qaradhawi,  harus dipenuhi seorang perempuan ketika beraktivitas di luar rumah, seperti di parlemen atau kampus. Menurut dia,  negara-negara yang memelihara adab-adab Islam dituntut untuk memberikan tempat tertentu bagi kaum perempuan untuk duduk di parlemen,  berupa baris khusus atau sudut khusus. Sehingga, mereka bisa menunaikan tugasnya dengan tenang dan terjauh dari fitnah-fitnah yang dikhawatirkan.

Syarat Wanita Duduk di Parlemen

* Nahdlatul Ulama

Nahdlatul Ulama (NU) dalam fatwanya yang disepakati pada Konferensi Besar Syuriah NU di Surabaya pada 19 Maret 1957 memperbolehkan perempuan menjadi anggota parlemen, dengan syarat:

* Afifah (Bisa menjaga kehormatan diri)
*  Ahli dalam hal-hal tersebut di atas.
*  Menututpi auratnya
*  Mendapat izin dari yang berhak memberi izin
*  Aman dari fitnah
*  Tidak menjadikan sebab timbulnya mungkar menurut syara.

Apabila tidak memenuhi syarat-syarat tersebut di atas, maka haram. Dan syuriah dengan kebijaksanaan serta persetujuan PB Syuriah NU berhak menariknya.


Muhammadiyah

Pada Muktamar XVII Muhammadiyah di Pancongan, Pekalongan, Jawa Tengah tahun 1972 diputuskan, bahwa hampir seluruh ajaran Islam tentang muamalat dunyawiyyah (urusan duniawi) mengandung unsur-unsur politis dan ideologis. Muhammadiyah membolehkan kaum perempuan untuk menjadi anggota parlemen. Muhammadiyah mendorong kaum wanita ikut serta dan berjuang mencapai jumlah perwakilan yang memadai. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan:

*  Harus ada pembimbing politis dari setiap stuasi yang dihadapi terutama yang menyangkut masalah kewanitaan, agar setiap wanita Islam memiliki kesadaran politik.

*  Harus dipersiapkan kader-kader politik wanita Islam
*  Dalam kerjasama dengan organisasi-organisasi lain, harus dapat menempatkan orang-orang yang sekiranya sanggup menjadi fa'il (pemeran).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar