Selasa, 27 Desember 2011

Hukum Bermain Catur

Islamedia - Benarkah bermain catur diharamkan? (Pertanyaan dari beberapa jamaah di berbagai majelis yang berbeda)

Jawaban:

                Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah wa ‘ala aalihi wa ashhabihi wa man waalah wa ba’d:                

Inilah salah salah satu permainan terkenal sejagat, yang kebaradaannya sudah ada sejak belasan abad silam. Ada yang sekedar mengisi waktu luang, ada yang sudah menjadi hobi, ada pula diperlombakan dalam kompetisi baik sekala kecil hingga dunia, dan ada juga yang dicampur dengan judi. Yang jelas, permainan ini dengan segala macam jenis dan motivasinya adalah sama saja, yakni sama-sama lahwun wa la’ibun (sesuatu yang melalaikan dan permainan), dan Allah Ta’ala menyebut segala kesenangan dunia  dengan sebutan mata’ul ghurur (kesenangan yang menipu). 

                Ada pun Dinul Islam  adalah agama yang mengecam segala bentuk perbuatan yang melalaikan dan melupakan hal-hal yang lebih produktif bagi agama dan kemakmuran dunia.

                “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian Maka mereka Itulah orang-orang yang merugi.” (QS. Al Munafiqun (63): 9)

                “Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan Para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu Lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al Hadid (57): 20)

                Lalu, apakah dengan demikian Islam mengharamkan segala bentuk permainan yang diciptakan manusia untuk mereka atau untuk anak-anak mereka, walau dilakukan hanya sesekali saja? Apakah ini hanyalah sesuatu yang baik jika isinya baik, dan buruk jika isinya buruk?

Kaidah Penting

                Catur –bahasa Arabnya Asy Syithranju- sebagaimana  permainan lainnya adalah urusan dunia. Perkara keduniaan pada dasarnya adalah halal kecuali ada dalil yang jelas dan pasti tentang haramnya. Kerangka berpikir ini berasal dari penggalian para ulama terhadap nash-nash syariat sebagai berikut:

                “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Baqarah (2): 29)

Berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah dalam Fathul Qadir-nya tentang surat Al Baqarah ayat 29 ini:

قال ابن كيسان:  "خلق لكم" أي من أجلكم، وفيه دليل على أن الأصل في الأشياء المخلوقة الإباحة حتى يقوم دليل يدل على النقل عن هذا الأصل، ولا فرق بين الحيوانات وغيرها مما ينتفع به من غير ضرر، وفي التأكيد بقوله: "جميعاً" أقوى دلالة على هذا

Berkata Ibnu Kaisan (yakni Thawus, pen): (Menjadikan untuk kalian) yaitu karena kalian. Di dalamnya ada dalil bahwa hukum asal dari segala sesuatu ciptaan adalah mubah (boleh) sampai tegaknya dalil yang menunjukkan perubahan hukum asal ini. Tidak ada perbedaan antara hewan-hewan atau selainnya, dari apa-apa yang dengannya membawa manfaat, bukan kerusakan. Hal ini dikuatkan lagi dengan firmanNya: (jami’an) “Semua”, yang memberikan korelasi yang lebih kuat lagi dalam hal ini. “ (Imam Asy Syaukani, Fathul Qadir,  1/ 64. Mauqi’ Ruh Al Islam)

 Selain ayat di atas, kaidah ini juga dikuatkan oleh hadits berikut:

الحلال ما احل الله في كتابه والحرام ما حرم الله في كتابه وما سكت عنه وهو مما عفا عنه (رواه الترمذى)

        “Yang halal adalah apa yang Allah halalkan dalam kitabNya, yang haram adalah yang Allah haramkan dalam kitabNya, dan apa saja yang di diamkanNya, maka itu termasuk yang dimaafkan.”  (HR. At Tirmidzi No. 1726, katanya: hadits gharib. Ibnu Majah No. 3367, Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 6124. Syaikh Al Albani mengatakan: hasan. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 1726. Juga dihasankan oleh Syaikh Baari’ ‘Irfan Taufiq dalam Shahih Kunuz As sunnah An Nabawiyah, Bab Al Halal wal Haram wal Manhi ‘Anhu, No. 1 )       

Dari sinilah, berkata Imam Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah:

أن كل شيء سكت عنه الشارع فهو عفو لا يحل لأحد أن يحرمه أو يوجبه أو يستحبه أو يكره

“Bahwa segala sesuatu yang didiamkan oleh syari’ (pembuat syariat), maka hal itu dimaafkan (mubah), tidak boleh bagi seorang pun untuk mengharamkan, atau mewajibkan, atau menyunnahkan, atau memakruhkan.”   (Imam Muhammad bin Abdul Wahhab, Arba’u Qawaid Taduru Al Ahkam ‘Alaiha, Hal. 3)

Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah mengatakan:

وهو سبحانه لو سكت عن إباحة ذلك وتحريمه لكان ذلك عفوا لا يجوز الحكم بتحريمه وإبطاله فإن الحلال ما أحله الله والحرام ما حرمه وما سكت عنه فهو عفو فكل شرط وعقد ومعاملة سكت عنها فإنه لا يجوز القول بتحريمها فإنه سكت عنها رحمة منه من غير نسيان وإهمال

Dia –Subhanahu wa Ta’ala- seandainya mendiamkan kebolehan dan keharaman sesuatu, namun memaafkan hal itu, maka tidak boleh menghukuminya dengan haram dan membatalkannya, karena halal adalah apa-apa yang Allah halalkan, dan haram adalah apa-apa yang Allah haramkan, dan apa-apa yang Dia diamkan maka itu dimaafkan. Jadi, semua syarat, perjanjian, dan muamalah yang didiamkan oleh syariat, maka tidak boleh mengatakannya haram, karena mendiamkan hal itu merupakan kasih sayang dariNya, bukan karena Dia lupa dan membiarkannya. (I’lamul Muwaqi’in, 1/344-345)

Maka dari itu, untuk menentukan haramnya   permainan catur ini, tentu harus ada dalil syara’ yang tegak dalam keharamannya.

Adakah Dalil-Dalil Pengharaman Catur Secara Khusus?

Untuk lebih jelas akan kami paparkan beberapa hadits tentang catur, seperti yang dipaparkan oleh Imam Asy Syaukani Rahmatullah ‘Alaih, sebagai berikut:

1.       Dari Watsilah bin Al Asqa’ secara marfu’:

إن لله عز وجل فى كل يوم ثلاث مائة و ستين نظرة, ليس لصاحب الشاه منها نصيب

                “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla setiap hari memberikan perhatian (dengan kasih sayang, pen) sebanyak 360 kali,  namun  tidak bagi  para pemain catur.” 

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Bakar Al Atsram dalam Jami’-nya. (Imam Adz Dzahabi, Al Kabair, Hal. 88). Syaikh Al Albani mengatakan maudhu’ (palsu). (Lihat Irwa’ Al Ghalil, 8/428. No. 2671. Al Maktab Al Islami), Syaikh Taqiyuddin An Nadwi mengatakan: dhaif. (Lihat catatan kaki No. 7, pada kitab Al Muwaththa – riwayat Muhammad bin Al Hasan, 3/380.  Cet. 1, 1413H-1991M. Darul Qalam, Damaskus)
 
2.        Dari Ibnu Abbas secara marfu’:
ألا إن أصحاب الشاه في النار الذين يقولون قتلت واللّه شاهك
“Ketahuilah sesungguhnya para pemain syah (raja/catur) di dalam neraka, yakni orang-orang yang berkata: Demi Allah aku telah bunuh rajamu.” (Riwayat Ad Dailami No. 488. Alauddin Al Muttaqi Al Hindi, Kanzul ‘Ummal No. 40654)

3.       Dari Anas secara marfu’:
 ملعون من لعب بالشطرنج

“Terlaknat bagi orang yang main catur.” (Riwayat Ad Dailami)

 Syaikh Al Albani mengatakan maudhu’ (palsu). (As SIlsilah Adh Dhaifah,  3/283, No. 1145) sementara Imam An Nawawi mengatakan: tidak shahih. (Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 223)

4.       Dikeluarkan oleh  Ibnu Hazm dan ‘Abdan:

ملعون من لعب الشطرنج والناظر إليهم كالآكل لحم الخنزير

“Terlaknat bagi orang yang main catur, dan memandang  catur sama dengan makan daging babi.”

Dalam sanadnya terdapat Hubbah bin Muslim, Ibnu Hazm mengatakan: Hubbah adalah majhul (tidak dikenal identitasnya), dan sanadnya munqathi’ (terputus). Ibnu Al Qaththan juga mengatakan: Hubbah adalah  majhul. Seandainya, dia adalah Hubbah bin Salamah saudara dari Syaqiq bin Salamah, dia juga tidak dikenal. (Raudhatul Muhadditsin, 8/454, No. 3804) Syaikh Al Albani mengatakan sanadnya mursal dan munqathi’  (As Silsilah Adh Dhaifah, Ibid) maka hadits ini dhaif.

5.       Dari Ali secara marfu’:
يأتي على الناس زمان يلعبون بها ولا يلعب بها إلا كل جبار والجبار في النار

                “Akan datang kepada manusia zaman di mana manusia suka main catur, dan tidak ada yang memainkannya melainkan  orang yang berbuat sewenang-wenang (diktator), dan para diktator berada di neraka.” (Riwayat Ad Dailami)

6.       Dari Ali  dia berkata:
النرد والشطرنج من الميسر

                “Dadu dan catur adalah termasuk judi.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah, 6/191, No. 10) 

                Dalam sanadnya terdapat Hatim bin Ismail, dia diperbincangkan para ulama. Imam Adz Dzahabi mengatakan bahwa dia tsiqah (terpercaya) dan shaduq (jujur). Segolongan ulama juga mentsiqah-kannya. Sementara, Imam An Nasa’i mengatakan: laisa bil qawwi (tidak kuat). Imam Ahmad mengatakan bahwa para ulama menilainya sebagai orang yang ghaflah (lalai). (Mizanul I’tidal, 1/428). Seandai pun shahih, ini hanyalah ucapan Ali Radhiallahu ‘Anhu, bukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

7.       Dari Ali dia berkata:
 الشطرنج هو ميسر الأعاجم

                “Catur adalah judinya orang-orang non Arab.” Hadits ini mursal, tetapi memiliki penguat. (Al Baihaqi, No. 20717)

 Hadits mursal, yakni terputus sanadnya pada generasi sahabat, adalah salah satu jenis dari hadits dhaif, sebagaimana menurut Imam Asy Syafi’I dan lainnya.  Sementara Imam Ibnu Katsir mengatakan bahwa hadits ini munqathi’ jayyid  (terputus sanadnya namun bagus). (Nailul Authar, 8/95). Hadits munqathi’ tidak bisa dijadikan hujjah.

8.       Dari Ali juga, ketika beliau melewati sekelompok kaum yang sedang bermain catur, maka Ali menghardik mereka dan mengutip ayat: 

 مَا هَذِهِ التَّمَاثِيل الَّتِي أَنْتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ ؟ 

                “Patung-patung apa ini yang membuat kalian I’tikaf untuknya?” (Al Baihaqi,  No. 20718. Lihat juga At Talkhish Al Habir, 4/493. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

                Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad  riwayat ini terputus (munqathi’). Bahkan dia mengatakan:

و قد عجبت ممن صحح إسناده

                “Aku    heran terhadap orang yang menshahihkan sanad hadits ini.” (Irwa’ Al Ghalil, 8/430)

9.       Dari Ali juga, mirip dengan kisah hadits sebelumnya, bahwa beliau berkata kepada orang yang sedang main catur:

فقال ما هذه التماثيل التي أنتم لها عاكفون لأن يمس جمرا حتى يطفأ خير له من أن يمسها            
   
“Patung-patung apa ini yang membuat kalian I’tikaf untuknya?, sungguh menyentuh bara api hingga bara itu padam adalah lebih baik baginya daripada menyentuh catur.” (Al Baihaqi, No. 20719)

Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini dhaif jiddan (sangat lemah). (Irwa’ Al Ghalil, 8/430).  
Dua riwayat dari Ali inilah (yakni No. 20718 dan 20719)  yang oleh Imam Al Baihaqi sebagai sebagai penguat (syawahid) hadits no. 20717, namun keduanya pun dhaif.  

10.    Dari Ibnu Umar, dia berkata: 

جاء اعرابي إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال يا نبي الله إني رأيت البارحة في المنام أنه ليس من عبد يشهد أن لاإله إلا الله ويشهد أنك رسول الله إلا رفعه الله درجة في الجنة إلا أصحاب الشاه وهي الشطرنج.

“Datang seorang A’rabi (Badui) kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan berkata: “Aku semalam melihat dalam mimpi, bahwa tidaklah orang yang bersaksi bahwa Tiada Ilah selain Allah dan Sesungguhnya engkau adalah Rasulullah, melainkan Allah akan angkat derajatnya di surga, kecuali bagi pemain syah (raja) yaitu catur.” (HR. Ath Thabarani dalam Al Awsath)

Imam Nuruddin Al Haitsami mengatakan, dalam sanadnya terdapat Tsabit bin Zuhair, seorang yang dhaif. (Lihat Majma’ Az Zawaid, 8/113) 

                 Nah, setelah menyebut riwayat-riwayat ini,  Imam Asy Syaukani mengutip dari Imam Ibnu Katsir sebagai berikut:

قال ابن كثير : والأحاديث المروية فيه لا يصح منها شيء ويؤيد هذا ما تقدم من أن ظهوره كان في أيام الصحابة

                “Berkata Ibnu Katsir: hadits-hadits yang meriwayatkan tentang catur tak ada yang shahih sama sekali. Hal ini didukung oleh fakta masa lalu bahwa catur baru ada pada zaman sahabat (zaman nabi belum ada, pen).” (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 8/96. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
 
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah sebagai  berikut:

ورد في الاحاديث تحريم لعب الشطرنج. ولكن هذه الاحاديث لم يثبت منها شئ. قال الحافظ بن حجر العسقلاني: " لم يثبت في تحريمه حديث صحيح ولا حسن ".

                “Telah datang hadits-hadits tentang pengharaman bermain catur, tetapi hadits-hadits tersebut tidak satu pun yang tsabit (kuat). Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani: “Tidak ada yang tsabit tentang pengharamannya, tidak dalam hadits shahih dan  tidak pula hasan.” (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 3/513. Dar Al Kitab Al ‘Arabi)

                Imam Ibnu Hajar Al Haitami dalam kitab Tuhfatul Muhtaj mengatakan:

قَالَ الْحُفَّاظُ : لَمْ يَثْبُتْ مِنْهَا حَدِيثٌ مِنْ طَرِيقٍ صَحِيحٍ وَلَا حَسَنٍ وَقَدْ لَعِبَهُ جَمَاعَةٌ مِنْ أَكَابِرِ الصَّحَابَةِ وَمَنْ لَا يُحْصَى مِنْ التَّابِعِينَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ وَمِمَّنْ كَانَ يَلْعَبُهُ غِبًّا سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ

                “Para hafizh berkata: Tidak ada satu pun hadits yang pasti, baik dengan jalan yang shahih dan hasan, bahkan sekumpulan para sahabat senior ada yang memainkannya, dan tidak terhitung dari kalangan tabi’in, dan manusia setelah mereka. Dan di antara mereka yang kadang-kadang main catur adalah Said bin Jubeir Radhiallahu ‘Anhu. (Imam Ibnu Hajar Al Haitami, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, 43/474. Mawqi’ Al Islam)

                Imam An Nawawi berkata, ketika mengomentari hadits: Man la’iba bisy syithranj fahuwa mal’uun (Barangsiapa yang bermain catur maka dia terlaknat):   

لا يصح، وهو كذلك بل لم يثبت من المرفوع في هذا الباب شيء كما بينته في عمدة المحتج.

                “Tidak shahih, dan demikian juga ini,  bahkan sama sekali tidak ada yang pasti baik riwayat  marfu’ (sampai kepada Rasulullah) tentang tema ini (catur), sebagaimana saya jelaskan dalam ‘Umdatul Muhtaj. (Imam As Sakhawi, Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 223)

                Perlu diketahui, di antara  riwayat-riwayat tentang catur,  perkataan Ali bin Abi Thalib adalah yang paling  baik sanadnya di antara yang lainnya. Hal ini dikatakan oleh Imam ibnu Katsir berikut:

وأحسن ما روي فيه ما تقدم عن علي كرم اللّه وجهه    
     
                “Dan yang paling bagus tentang riwayat catur adalah riwayat dari Ali Karramallahu wajhah. (Nailul Authar, 8/96)
 
                Imam Ibnu Qudamah mengutip dari Imam Ahmad sebagai berikut:

قَالَ أَحْمَدُ : أَصَحُّ مَا فِي الشِّطْرَنْجِ ، قَوْلُ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ .
                “Berkata Ahmad: riwayat paling shahih tentang catur adalah ucapan Ali Radhiallahu ‘Anhu.” (Al Mughni, 23/178)

                  Maksudnya bukan berarti ucapan Ali merupakan riwayat shahih tetapi merupakan ucapan paling baik kualitas riwayatnya di antara yang   buruk. Dengan kata lain, riwayat Ali adalah yang paling sedikit kelemahannya di antara yang lain. Sebab, riwayat   Ali tentang catur termasuk yang dimaksud oleh Imam Ibnu Katsir, Imam Ibnu Hajar, Imam As Sakhawi dan lainnya, “Tidak ada sama sekali yang shahih atau hasan tentang pengharaman catur.” Dan, memang terbukti bahwa riwayat-riwayat Ali tentang catur pun semuanya dhaif (lemah), sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.

Demikian. Jadi, tidak ditemukan nash tentang pengharaman catur yang berasal dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka, pihak yang mengharamkan pun tidak berdalil dengan riwayat-riwayat ini. Mereka mengharamkan karena catur bisa melalaikan manusia dari mengingat Allah dan shalat.  Jika telah diketahui tidak ada dalil yang bisa dipertanggungjawabkan  –menurut golongan yang membolehkan- maka    tidak ada alasan untuk mengharamkannya.

Pendapat Para Ulama Madzhab dan Alasan Masing-Masing Golongan 

                Tertulis dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah – sebuah kitab Ensiklopedi Fiqih setebal 45 Juz yang diterbitkan oleh  Kementerian Waqaf dan urusan Keislaman di Kuwait- sebagai berikut:

أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى أَنَّ اللَّعِبَ بِالشِّطْرَنْجِ حَرَامٌ إِذَا كَانَ عَلَى عِوَضٍ أَوْ تَضَمَّنَ تَرْكَ وَاجِبٍ مِثْل تَأْخِيرِ الصَّلاَةِ عَنْ وَقْتِهَا ، وَكَذَلِكَ إِذَا تَضَمَّنَ كَذِبًا أَوْ ضَرَرًا أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ مِنَ الْمُحَرَّمَاتِ .

                “Kaum muslimin telah ijma’ (aklamasi/sepakat) bahwa bermain catur adalah HARAM jika terdapat bayaran, atau  sampai meninggalkan kewajiban semisal mengakhirkan shalat dari waktunya, demikian juga jika mengandung kebohongan, atau kerusakan, atau hal-hal haram lainnya.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 35/269. Wizarah Al Awqaf wasy Syu’un Al Islamiyah – Kuwait)

                Hanya saja mereka berselisih pendapat, jika permainan catur tidaklah dibarengi dengan judi, tidak melalaikan, dan hal-hal haram lainnya. Mereka terbagi atas tiga kelompok.

Pertama. Golongan Yang Mengharamkan

                Inilah golongan mayoritas di antara para imam  kaum muslimin, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Adz Dzahabi berikut:
وأما الشطرنج فأكثر العلماء على تحريم اللعب بها سواء كان برهن أو بغيره  
                “Ada pun catur, maka kebanyakan ulama mengharamkan memainkannya, sama saja baik itu dengan taruhan atau tidak.” (Imam Adz Dzahabi, Al Kabair, Hal. 31. Mawqi’ Ruh Al Islam)
 
Juga  diisyaratkan oleh Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berikut ini:
فمن حرمه: أبو حنيفة ومالك وأحمد.

                “Di antara yang mengharamkannya adalah Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad (bin Hambal).” (Fiqhus Sunnah, 3/513)

                Namun, kami menemukan dalam kitab Al Muwaththa’-nya Imam Malik, bahwa  Imam Malik  ‘cuma’ memakruhkan. Berikut teksnya:

قال يحيى وسمعت مالكا يقول لا خير في الشطرنج وكرهها وسمعته يكره اللعب بها وبغيرها من الباطل ويتلو هذه الآية { فماذا بعد الحق إلا الضلال }

                “Berkata Yahya, aku mendengar Malik berkata: “Tidak ada kebaikan dalam catur.” Dia memakruhkannya. Aku mendengarnya memakruhkan bermain dengannya dan selainnya, dan itu termasuk perbuatan batil (sia-sia), dia membaca ayat:   “Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan.” (Imam Malik, Al Muwaththa’, No. 1720) Inilah yang bisa lebih dipercaya dari Imam Malik, sebab bersumber dari kitabnya sendiri. 

                Tetapi beda Imam Malik, beda pula dengan pengikutnya yakni Malikiyah (pengikut Malik). Mereka memang mengharamkan catur sebagaimana yang dikatakan dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, sebagai berikut:

الْمَذْهَبُ عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ وَهُوَ اخْتِيَارُ الْحَلِيمِيِّ وَالرُّويَانِيِّ مِنَ الشَّافِعِيَّةِ حُرْمَةُ اللَّعِبِ بِالشِّطْرَنْجِ مُطْلَقًا .
                “Menurut pengikut madzhab Maliki dan Hambali – dan ini juga dipilih oleh Al Hulaimi dan Ar Ruyani dari pengikut Syafi’i- bahwa bermain catur adalah haram secara mutlak.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 35/269)

                Selain mereka, pihak yang mengharamkan catur diantaranya adalah Ali bin Abi Thalib, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Said bin Al Musayyib, Al Qasim, Salim, ‘Urwah, Muhammad bin Sirin, dan Mathar Al Warraq.” (Ibid)

                Dari nama-nama ini, ada beberapa nama yang simpang siur, seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar. Kami  temukan dalam Nailul Authar bahwa mereka berdua –juga beberapa sahabat lainnya- cuma memakruhkan saja. Bahkan dalam Dhau’u An Nahar disebutkan bahwa Ibnu Abbas membolehkannya. (Nailul Authar, 8/ 95). Juga Said bin Al Musayyib dan Muhammad bin Sirin. Saya temukan dalam kitab lainnya bahwa Said bin Al Musayyib justru membolehkan catur. (Fiqhus Sunnah, 3/514. Nailul Authar, Ibid) dan dalam As Sunan Al Kubra-nya Imam Al Baihaqi disebutkan bahwa Said bin Al Musayyib mengatakan main catur adalah perbuatan batil (sia-sia/tidak bermanfaat) (Al Baihaqi, No. 20726). Juga Muhammad bin Sirin yang justru pernah bermain catur sebagaimana diceritakan oleh Imam Asy Syafi’i. (Al Baihaqi, No. 20712), tetapi Al Baihaqi sendiri mengelompokkan Muhammad bin Sirin dalam golongan yang memakruhkan. (Lihat Al Baihaqi, 20729)

                Selanjutnya, dalil golongan ini adalah beberapa atsar yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu bahwa beliau berkata;

الشطرنج هو ميسر الأعاجم

                “Catur adalah judinya orang-orang non Arab.” Hadits ini mursal, tetapi memiliki penguat. (Al Baihaqi, No. 20717)

 Hadits mursal adalah salah satu jenis dari hadits dhaif, sebagaimana menurut Imam Asy Syafi’I dan lainnya.  Sementara Imam Ibnu Katsir mengatakan bahwa hadits ini munqathi’ jayyid  (terputus sanadnya lagi bagus). (Nailul Authar, 8/95). Hadits munqathi’ tidak bisa dijadikan hujjah.

Dari Ali juga, ketika beliau melewati sekelompok kaum yang sedang bermain catur, maka Ali menghardik mereka dan mengutip ayat:
 مَا هَذِهِ التَّمَاثِيل الَّتِي أَنْتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ ؟
                “Patung-patung apa ini yang membuat kalian I’tikaf untuknya?” (Al Baihaqi,  No. 20718. Lihat juga At Talkhish Al Habir, 4/493. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah) hadits ini telah didhaifkan oleh Syaikh Al Albani sebagaimana  yang kami paparkan sebelumnya. Padahal riwayat-riwayat dari Ali ini  disebut yang terbaik (paling baik di antara yang lemah) dibanding ucapan sahabat nabi  lainnya! Lalu bagaimana riwayat selain dari Ali?

                Selain dari Ali, ada beberapa sahabat nabi lainnya yang mencela catur. Seperti Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma:
أنه سئل عن الشطرنج فقال هو شر من النرد
                “Bahwa dia ditanya tentang catur, beliau menjawab: “Itu lebih buruk dari dadu.” (Al Baihaqi, No. 20723)
                Abu Musa Al Asy’ari Radhiallahu ‘Anhu mengatakan:
لا يعلب الشطرنج إلا خاطئ
                “Tidaklah memainkan catur melainkan orang yang salah.” (Al Baihaqi No. 20724)

                Demikianlah dalil-dalil pihak yang mengharamkan catur. Dalil-dalil  golongan ini perlu ditinjau lagi. Ada beberapa catatan. 

Pertama,  Dalil-dalil ini – seandainya shahih- adalah bukan ucapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Ucapan   bernadakan larangan yang berasal dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaih wa Sallam saja belum tentu bermakna haram, bisa jadi makruh atau memang sebagai manusia biasa beliau membencinya,  maka apalagi   ucapan yang berasal dari selain Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tentu lebih tidak bisa lagi langsung dihukumi haram. Ditambah lagi, ternyata hadits riwayat Ali tersebut munqathi’ (terputus sanadnya), sehingga lebih tidak bisa lagi dijadikan hujjah. Dan riwayat sahabat lainnya lebih buruk dari ini keadaannya.

Kedua, Dalil-dalil ini –seandainya shahih- lebih tepat disebut sebagai pendapat sahabat yakni pendapat Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu dan lainnya. Maka, pendapat sahabat nabi tidaklah lebih utama dibanding sahabat nabi lainnya, kecuali mana yang lebih diunggulkan oleh dalil. Lagi, pula yang diingkari oleh Ali adalah sikap menyibukkan diri dengan permainan catur. Sebab jika catur haram, pastilah Ali tidak hanya mengingkari, tetapi juga akan merubah dengan tangannya karena dia seorang pemimpin yang memiliki tanggung jawab  saat itu. Ini pun jika riwayat Ali adalah shahih, ternyata dhaif sebagaimana  penelitian  Syaikh Al Albani.

Dalam hal ini justru ada sahabat nabi lainnya yang tidak mengharamkan  permainan catur seperti Abu Hurairah, bahkan beliau pernah main catur . (Al Hafizh Ibnu Hajar, At Talkhish, 4/493) 

 Abu Said Al Khudri juga ‘cuma’ memakruhkannya. (Al Baihaqi No. 20725).

 Dalam Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juga disebutkan bahwa diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Ibnu Zubeir, dan Abu Hurairah, mereka tidak mengharamkan catur. (Syaikh Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 4/211. Maktabah Misykah)  

Begitu pula dalam Nailul Authar,  diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu Musa, Abu Said, dan ‘Aisyah mereka memakruhkan, tidak mengharamkan. (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 8/95. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)

Bahkan jika ditanya adakah keberadaan dalil  pengharamannya dari Rasulullah? maka pada pembahasan  sebelumnya sudah saya sebutkan perkataan Imam An Nawawi,  Syaikh Sayyid Sabiq, Al Hafizh Ibnu Hajar, Al Hafizh Ibnu Katsir, dan Imam Ibnu Hajar Al Haitami,  yang menyatakan tak ada satu pun hadits, baik shahih atau hasan yang mengharamkan catur. 

Maka, jelaslah bahwa tidak ada nash dalam Al Quran, As Sunnah Ash Shahihah, dan tidak pula ijma’ (kesepakatan)  sahabat nabi tentang pengharaman catur. Tinggal-lah satu lagi dalil golongan ini yakni qiyas. Mereka mengqiyaskan permainan catur dengan dadu (nardasyir). Hal ini disebutkan oleh Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah sebagai berikut:
" فأما الشطرنج فهو كالنرد في التحريم.
إلا أن النرد آكد منه في التحريم لورود النص في تحريمه لكن هذا في معناه فيثبت فيه حكمه قياسا عليه ".

“Adapun catur, maka dia sama dengan dadu dalam keharamannya. Bedanya, bahwa dadu keharamannya ditegaskan dalam nash-nash tentang haramnya, tetapi catur secara makna sama dengan dadu, maka penegasan hukum catur adalah diqiyaskan dengan dadu.” (Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni, 23/177. Mawqi’ Al Islam. Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 3/514.  Dar Al Kitab Al ‘Arabi)

Qiyas ini pun tidak bisa diterima, sebab ada beberapa perbedaan antara dadu dengan catur (istilahnya qiyas ma’al fariq). Perbedaan ini pun telah ditegaskan para ulama, seperti Imam Ibnu Qudamah sendiri dan lainnya. (Tetapi, Imam Ibnu Qudamah tetap mengikuti pendapat madzhabnya yakni Hambali, bahwa catur adalah haram, walau dia sendiri telah menyebutkan perbedaan prinsip antara catur dan dadu)

Perbedaannya adalah  permainan catur merupakan permainan otak. Syaikh Wahbah Az Zuhaili mengatakan:

 وقيل: فيه تشحيذ الخواطر، وتذكية الأفهام.

“Dikatakan: pada permainan catur terdapat upaya penajaman pikiran dan mencerdaskan pemahaman.” (Syaikh Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 4/211. Maktabah Misykah)

Selain itu, ia juga permainan untuk melatih strategi peperangan. Berkata Imam Ibnu Qudamah:

 وَيُفَارِقُ الشِّطْرَنْجُ النَّرْدَ مِنْ وَجْهَيْنِ ؛ أَحَدُهُمَا ، أَنَّ فِي الشِّطْرَنْجِ تَدْبِيرَ الْحَرْبِ ، فَأَشْبَهَ اللَّعِبَ بِالْحِرَابِ ، وَالرَّمْيَ بِالنُّشَّابِ ، وَالْمُسَابَقَةَ بِالْخَيْلِ .
وَالثَّانِي ، أَنَّ الْمُعَوَّلَ فِي النَّرْدِ مَا يُخْرِجُهُ الْكَعْبَتَانِ ، فَأَشْبَهَ الْأَزْلَامَ ، وَالْمُعَوَّلَ فِي الشِّطْرَنْجِ عَلَى حِذْقِهِ وَتَدْبِيرِهِ ، فَأَشْبَهَ الْمُسَابَقَةَ بِالسِّهَامِ .

“Perbedaan catur dan dadu ada dua sisi: Pertama, catur adalah pengaturan strategi perang, maka dia menyerupai permainan perang-perangan, melempar anak panah, dan perlombaan kuda. Kedua, dalam permainan dadu yang menjadi keyakinan adalah apa-apa yang keluar menurut dua kubus, maka itu menyerupai mengundi nasib dengan panah, sedangkan catur adalah mengandalkan kepintaran dan pengaturannya, maka ini menyerupai perlombaan memanah.” (Al Mughni, 23/178. Lihat juga Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 35/270-271)

Jadi, tidak cukup alasan mengharamkan catur dengan mengqiyaskannya dengan dadu.  Sebab, catur merupakan permainan yang membutuhkan ketajaman analisa, selain sebagai sarana berlatih mengatur perang, dan membutuhkan waktu untuk memainkannya. Menang atau kalah sangat ditentukan oleh hal-hal ini, bukan karena untung-untungan atau spekulasi. Sedangkan dadu, tidak menggunakan analisa, cukup mengkocok dan melempar dadu, lalu menunggu ‘nasib’ dan apa yang terjadi, tanpa menunggu waktu lama. Jelaslah perbedaan keduanya, maka qiyas ini pun juga batal. Wallahu A’lam
Demikian pandangan pihak yang mengharamkan dan komentar terhadapnya.

Kedua, Golongan Yang Memakruhkan

                Diriwayatkan dari para sahabat, tabi’in, Imam Malik, dan Imam Asy Syafi’i bahwa mereka memakruhkan catur.  Disebutkan dalam Fiqhus Sunnah sebagai berikut:

وقال الشافعي وبعض التابعين بكره ولا يحرم: فقد لعبه جماعة من الصحابة ومن لا يحصى من التابعين.

                “Berkata Asy Syafi’i dan sebagian tabi’in bahwa catur adalah makruh dan tidak haram: sekelompok sahabat nabi pernah main catur, dan tidak terhitung dari kalangan tabi’in yang memainkannya.” (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 3/513. Dar Al Kitab Al ‘Arabi)

Dalam kitab Al Muwaththa’-nya Imam Malik, bahwa  Imam Malik   memakruhkan. Berikut teksnya:

 قال يحيى وسمعت مالكا يقول لا خير في الشطرنج وكرهها وسمعته يكره اللعب بها وبغيرها من الباطل ويتلو هذه الآية { فماذا بعد الحق إلا الضلال }

                “Berkata Yahya, aku mendengar Malik berkata: “Tidak ada kebaikan dalam catur.” Dia memakruhkannya. Aku mendengarnya memakruhkan bermain dengannya dan selainnya, dan itu termasuk perbuatan batil (sia-sia), dia membaca ayat:   “Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan.” (Imam Malik, Al Muwaththa’, No. 1720)

                Makna batil tidaklah menunjukkan haram, tetapi sia-sia dan tidak bermanfaat, tentu hal tersebut adalah perbuatan yang dibenci oleh syariat. Allah Ta’ala berfirman:
رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذا بَاطِلاً
                 "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia ..” (QS. Ali ‘Imran (3); 191)

Disebutkan dalam Al Mausu’ah:

وَالْمَذْهَبُ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ وَهُوَ قَوْلٌ عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ أَنَّ اللَّعِبَ بِالشِّطْرَنْجِ مَكْرُوهٌ .

                “Pendapat madzhab pengikut Abu Hanifah, Syafi’i, dan ini pendapat pengikut Malik, bahwa bermain catur adalah makruh.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 35/270)
 
                Imam Asy Syafi’i Rahimahullah berkata dalam kitabnya Al Umm:

يكره من وجه الخبر اللعب بالنرد أكثر مما يكره اللعب بشئ من الملاهي ولا نحب اللعب بالشطرنج وهو أخف من النرد
             
   “Dimakruhkannya – lantaran adanya khabar- bermain dadu lebih banyak dibanding kemakruhan permainan lainnya. Aku tidak menyukai permainan catur dan hal itu lebih ringan dibanding dadu.” (Imam Asy Syaf’I, Al Umm, 6/224. Darul Fikr)

                Dari sini kita dapat mengetahui bahwa, tidak satu pun di antara imam empat madzhab yang membolehkan catur, mereka antara mengharamkan dan memakruhkan. Ada pun pengikutnya tidak sedikit yang mengatakan mubah seperti kalangan Malikiyah dan Syafi’iyah, serta Al Qadhi Abu Yusuf, kawan dan murid Imam Abu Hanifah .

                Imam Adz Dzahabi menyebutkan dalam kitabnya, Al Kabair:

وسئل النووي رحمه الله عن اللعب بالشطرنج أحرام أم جائز فأجاب رحمه الله تعالى هو حرام عند أكثر أهل العلم. وسئل أيضاً رحمه الله عن لعب الشطرنج هل يجوز أم لا وهل يأثم اللاعب بها أم لا أجاب رحمه الله إن فوت به صلاة عن وقتها أو لعب بها على عوض فهو حرام وإلا فمكروه عند الشافعي وحرام عند غيره وهذا كلام النووي في فتاويه.

                “An Nawawi Rahimahullah ditanya tentang bermain dengan catur, apakah haram atau boleh? Maka beliau –Rahimahullah- menjawab: Itu adalah haram menurut mayoritas ulama. Dia juga ditanya tentang bermain catur, apakah boleh atau tidak? Apakah berdosa memainkannya atau tidak? Maka beliau –Rahimahullah- menjawab: “Jika hal itu membuatnya luput waktu shalat, atau memainkannya dengan bayaran (taruhan), maka itu haram, jika tidak demikian, maka makruh menurut Asy Syafi’I, dan haram menurut selainnya. Inilah ucapan An  Nawawi dalam fatwanya.” (Al Kabair, Hal. 31)

                Imam Al Baihaqi, dalam As Sunan Al Kubra-nya meriwayatkan dari tokoh-tokoh besar Islam yang memakruhkan catur. Di antaranya, seorang sahabat nabi, yakni Abu Said Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu. Berikut ini teksnya:
وأبو سعيد الخدري يكره أن يلعب بالشطرنج

                “Abu Said Al Khudri memakruhkan memainkan catur.” (Al Baihaqi, No. 20725)

Imam Asy Syaukani juga menyebutkan sederetan nama sahabat nabi lainnya:    
   
وروي عن ابن عباس وابن عمر وأبي موسى الأشعري وأبي سعيد وعائشة أنهم كرهوا ذلك

                “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu Musa Al Asy’ari, Abu Said Al Kudri, dan ‘Aisyah bahwa mereka memakruhkan catur.” (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 15/192. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)

                Selain itu Imam Al Baihaqi juga menyebutkan para tabi’in:

وروينا في كراهية اللعب بها عن يزد بن أبي حبيب ومحمد بن سيرين وإبراهيم النخعي ومالك بن أنس

                “Kami meriwayatkan tentang kemakruhan bermain dengan catur, dari Yazd bin Abi Habib, Muhammad bin Sirin, Ibrahim An Nakha’i, dan Malik bin Anas.” (Al Baihaqi, No. 20729)

                Adapun dalil golongan yang memakruhkan adalah hadits dari Jabir bin  ‘Umair Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

كُل شَيْءٍ لَيْسَ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَل فَهُوَ لَهْوٌ أَوْ سَهْوٌ إِلاَّ أَرْبَعَ خِصَالٍ : مَشْيُ الرَّجُل بَيْنَ الْغَرَضَيْنِ ، وَتَأْدِيبُهُ فَرَسَهُ ، وَمُلاَعَبَةُ أَهْلِهِ ، وَتَعَلُّمُ السِّبَاحَةِ

                “Segala hal selain dzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla adalah termasuk perminan dan kelalaian kecuali empat hal: berlatih panah, melatih kuda, bergurau dengan isteri, dan belajar berenang.” (HR. Ath Thabarani No. 1760. Imam Nuruddin Al Haitsami mengatakan para perawinya adalah perawi shahih, kecuali Abdul Wahab bin Bakht, dia tsiqah (bisa dipercaya). Majma’ Az Zawaid, 5/269. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah. Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Shahih At Targhib wat Tarhib, No. 1282. Maktabah Al Ma’arif)

                Dalam hadits ini hanya dibatasi empat macam permainan, seakan-akan selain empat hal ini adalah perbuatan yang lalai dan batil. Sebenarnya, berdalil dengan hadits ini adalah tidak tepat. Sebab pada kenyataannya masih ada permainan lain yang tidak disebutkan dalam hadits ini, dan itu diriwayatkan dalam Shahih Bukhari yakni kisah tentang orang orang Habasyah yang bermain tarian pedang di masjid nabawi ketika hari raya dan saat itu Rasulullah dan ‘Aisyah pun melihatnya. Jelas sekali, permainan Habasyah ini adalah selain empat hal di atas. Maka, hadits ini sama sekali tidaklah menunjukkan terlarang atau tercelanya permainan selain empat jenis  itu.

                Hal ini sama halnya dengan amalan Bani Adam setelah mati adalah terputus kecuali tiga yakni sedekah jariyah, ilmu bermanfaat, dan doa anak yang shalih. Hadits ini shahih riwayat Imam Muslim. Walau pun hadits ini membatasi hanya tiga hal yang masih sampai ke mayit, ternyata para ulama telah ijma’ –sebagaimana kata Ibnu Qudamah-  bahwa orang yang masih hidup bisa memberikan amal dan pahala kepada mayit selain tiga hal itu seperti  menghajikan, sedekah untuknya, dan doa (walau bukan anaknya, sebagaimana doa nabi kepada sahabatnya, Abu Salamah, dalam riwayat Muslim). Sementara, mengirim pahala bacaan Al Quran mereka berbeda pendapat.  

                Maka, jelaslah bahwa sikap membatasi empat aktifitas saja, dan menganggap tercela diluar empat aktifitas itu, adalah tidak benar. Ternyata, dari sisi dalil pun tidak ada satu pun yang sah tentang pelarangan catur. Oleh karena itu, wajib mengembalikan kepada hukum asal segala sesuatu urusan dunia yakni boleh.

                Ada baiknya kami ingatkan kembali ucapan Imam Muhammad bin Abdul Wahhab berikut;

أن كل شيء سكت عنه الشارع فهو عفو لا يحل لأحد أن يحرمه أو يوجبه أو يستحبه أو يكره
“Bahwa segala sesuatu yang didiamkan oleh syari’ (pembuat syariat), maka hal itu dimaafkan (mubah), tidak boleh bagi seorang pun untuk mengharamkan, atau mewajibkan, atau menyunnahkan, atau memakruhkan.”   (Imam Muhammad bin Abdul Wahhab, Arba’u Qawaid Taduru Al Ahkam ‘Alaiha, Hal. 3)

                Ada pun potensi yang ada pada permainan catur bahwa dia permainan yang dapat melalaikan manusia dari dzikir dan shalat, maka ini sifatnya sangat pribadi (personally), dan tergantung manusianya. Sebab masih banyak yang mampu mengendalikan diri dan hanya sesekali saja (sa’atan sa’atan). Bukan hanya catur, hal-hal yang disebutkan dalam hadits tersebut seperti berlatih panah, melatih kuda, bersenda gurau dengan isteri dan belajar berenang, jika semua dilakukan sampai melupakan waktu yang lebih utama seperti shalat, maka ini semua juga dilarang.

Ketiga. Golongan Yang Membolehkan

                Telah diriwayatkan bahwa segolongan sahabat nabi dan tabi’in –dalam jumlah yang tak terhitung-  yang   bermain catur. Hal ini menunjukkan bahwa mereka berpendapat  bolehnya catur, sebab mereka adalah generasi yang amat takut dengan perkara haram dan dibenci (makruh) oleh syariat.  

                Disebutkan dalam Dhau’un Nahar bahwa Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu membolehkannya. (Nailul Authar, 8/ 95). Tetapi dalam riwayat lain disebutkan bahwa beliau memakruhkannya.

                Al Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan tentang Ibnu Az Zubeir dan Abu Hurairah, bahwa mereka berdua pernah main catur. (Imam Ibnu Hajar, At Talkhish Al Habir, 4/493, No. 2134. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

                Tetapi menurut Ibnu Hajar, yang dimaksud Ibnu Az Zubeir di sini adalah Hisyam bin ‘Urwah bin Az Zubeir (seorang tabi’in) bukan sahabat nabi, Abdullah bin Az Zubeir (anaknya Zubeir bin Awwam).

                Syaikh Sayyid Sabiq juga memberikan keterangan demikian:

وروي عن أبي هريرة وسعيد بن المسيب وسعيد بن جبير اباحته.

“Dan diriwayatkan dari Abu Hurairah, Said bin Al Musayyib, dan Said bin Jubeir, tentang kebolehannya.” (Fiqhus Sunnah, 3/514)

Secara ringkas, kami sebutkan para ulama zaman tabi’in yang pernah bermain catur, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra, yakni Said bin Jubeir, Muhammad bin Sirin, Hisyam bin ‘Urwah bin Zubeir, Asy Sya’bi,  Bahz bin Hakim, dan Ibrahim Al Hajari. (Semua ini ada dalam hadits No. 20711, 20712, 20713, 20715, dan 20716)

Sementara tentang tokoh besar tabi’in, Al Hasan Al Bashri, pernah ada orang ditanya tentang  sikap Al Hasan terhadap  catur, orang itu menjawab: Kaana laa yaraa biha ba’san (Beliau memandang hal itu tidak apa-apa). (Al Baihaqi, No. 20714) 

Dalam Al Mausu’ah juga disebutkan demikian:

وَنُقِل الْقَوْل بِالإِْبَاحَةِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَسَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ وَسَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ وَمُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ وَمُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ وَعُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ وَابْنِهِ هِشَامٍ وَسُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ وَالشَّعْبِيِّ وَالْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ وَرَبِيعَةَ وَعَطَاءٍ

“Telah dinukil pendapat yang membolehkan catur dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, Said bin Al Musayyib, Said bin Jubeir, Muhamamd bin Al Munkadir, Muhammad bin Sirin, ‘Urwah bin Az Zubeir dan anaknya (Hisyam), Sulaiman bin Yasar, Asy Sya’bi, Al Hasan Al Bashri, Rabi’ah, dan ‘Atha. “ (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 35/271)  

Tokoh-tokoh ini adalah ahli ilmu yang amat disegani. Said bin Al Musayyib adalah menantu Abu Hurairah. Beliau menjadi imamnya para ahli fiqih pada zamannya. Imam Ahmad mengatakan bahwa Said bin Al Musayyib adalah  tabi’in terbaik.

Said bin Jubeir adalah ahli tafsir, kawan sekaligus murid dari Ibnu Abbas, bahkan Ibnu Abbas menjadikannya andalan untuk permasalahan yang tidak bisa dijawabnya.

Muhammad bin Sirin adalah orang yang paling tahu masalah kehakiman, tegas terhadap pemimpin yang zalim, dan muridnya –yakni Ibnu ‘Aun- menyebutkan bahwa Ibnu Sirin adalah orang yang sangat ketat terhadap dirinya sendiri namun memberikan toleransi bagi orang lain.

Asy Sya’bi adalah  ahli fiqih-nya daerah Kufah, dan seorang imam hadits pada masanya. Sedangkan Bahz bin Hakim adalah ahli hadits terpercaya. Ahmad bin Basyir berkata: Aku sampai di Bashrah, dalam rangka menutut (mencari) hadits, aku datangi Bahz bin Hakim, ternyata dia sedang bermain catur dengan sebuah kaum. (Al Baihaqi, No. 20715)

Urwah bin Az Zubeir adalah anak dari Az Zubeir bin Awwam seorang sahabat nabi yang dijamin masuk surga. Urwah adalah ahli fiqih, ahli hadits terpercaya, ahli ibadah, dan luas wawasannya, sebagaimana yang dikatakan oleh para imam zamannya.

‘Atha bin Rabbah adalah ahli hadits, fiqih, tafsir dan ahli ibadah, sederhana dan zuhud terhadap dunia. Demikianlah manusia mulia generasi awal Islam. 

Sementara itu, Imam Adz Dzahabi menceritakan tentang Imam Asy Syafi’i:

وحكي إباحته في رواية عن الشافعي إذا كان في خلوة ولم يشغل عن واجب ولا عن صلاة في وقته
“Dan diceritakan tentang kebolehan catur dari Asy Syafi’i, jika tidak ada hal yang jelek, dan tidak membuatnya sibuk meninggalkan kewajiban, dan tidak meninggalkan shalat dari waktunya.” (Al Kabair, Hal. 31. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Untuk kalangan madzhab, disebutkan dalam Al Mausu’ah sebagai berikut:

وَذَهَبَ أَبُو يُوسُفَ وَهُوَ قَوْلٌ عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ وَقَوْلٌ عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ إِلَى إِبَاحَةِ اللَّعِبِ بِالشِّطْرَنْجِ لِمَا فِيهِ مِنْ شَحْذِ الْخَوَاطِرِ وَتَذْكِيَةِ الأَْفْهَامِ
“Pendapat Abu Yusuf -dan ini pendapat Syafi’iyah (para pengikut Imam Asy Syafi’i) dan Malikiyah (para pengikut Imam Malik)- adalah bolehnya bermain catur karena didalamnya terdapat manfaat untuk menajamkan pikiran dan mencerdaskan pemahaman.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 35/270)

Pihak yang membolehkan berdalil pada beberapa hal. 

Pertama. Hukum asal segala sesuatu adalah mubah. Alasan ini disebutkan dibeberapa kitab berikut alasannya:
واحتجوا بأن الاصل الاباحة. ولم يرد بتحريمها نص ولا هي في معنى المنصوص عليه فتبقى على الاباحة.
                “Mereka beralasan bahwa hukum asalnya adalah mubah. Tidak ada nash (teks) yang mengharamkannya, tidak ada pula secara makna tentang nash yang mengharamkannya. Maka, yang tersisa adalah kembali pada kebolehannya.” (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 3/514. Darul Kitab Al ‘Arabi. Lihat pula Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 35/270. Wizarah Al Awqaf wasy Syu’un Al Islamiyah)

                Kedua. Tidak ditemukan satu pun riwayat dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang shahih atau hasan tentang catur sebagaimana yang dikatakan oleh para Imam Ahli Hadits dan Fiqih seperti Imam An Nawawi, Al Hafizh Ibnu Hajar, Al Hafizh Ibnu Katsir,  Imam Ibnu Hajar Al Haitami, dan Syaikh Sayyid Sabiq. Faktanya –sebagaimana kata Imam Ibnu Katsir- catur belum ada pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masih hidup. Riwayat yang datangnya dari sahabat pun, yang paling baik dari yang lain   adalah ucapan Ali Radhiallahu ‘Anhu. Ini pun juga terbukti kelemahannya sebagaimana penjelasan yang telah lalu.

                Ketiga. Alasan bahwa catur merupakan permainan yang lahwun (melalaikan) dan batil (sia-sia/tidak ada manfaatnya) sehingga dia layak diharamkan adalah alasan yang lemah. Sebab, bukan hanya catur yang melalaikan, tetapi dunia ini adalah melalaikan. Maka, seharusnya bukan hanya catur yang diharamkan dan dibenci, tetapi seluruh kehidupan dunia juga harus diharamkan. Allah Ta’ala berfirman:

                “Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan ..” (QS. Al Hadid (57): 20) 

                Selain itu melalaikan atau tidak, sifatnya sangat pribadi (personally) sebagaimana yang sudah kami jelaskan. Jika ada orang yang melalaikan shalat karena main catur, maka di tempat lain ada orang shalih dan mulia, yang tidak lalai dari mengingat Allah Ta’ala walau dia bermain catur, sebagaimana yang dilakukan oleh para tabi’in.
                Sedangkan jika catur disebut permainan yang batil, sebagaimana disebutkan oleh para tabi’in dalam kitab As Sunan Al Kubra-nya Al Baihaqi, maka makna batil  tersebut adalah sia-sia dan tidak bermanfaat, bukan bermakna haram. Bahkan Abu Darda Radhiallahu ‘Anhu pernah berkata: “Sesungguhnya aku menghibur diriku dengan sesuatu yang batil untuk menguatkan hatiku kepada kebenaran.” Tentunya batil di sini adalah sesuatu yang tidak ada manfaatnya,  tidak bisa dikatakan haram, makruh, wajib atau sunah.

Allah Ta’ala berfirman:
رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذا بَاطِلاً

                 "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia ..” (QS. Ali ‘Imran (3); 191)

                Demikianlah dalil-dalil kelompok yang membolehkan, dan nampaknya inilah pendapat yang lebih kuat.
Wallahu A’lam

Rambu-Rambu Yang Harus Diperhatikan

               Pembolehan ini bukanlah tanpa syarat. Sebab permainan apa pun memiliki potensi membuat manusia lupa kepada hal-hal yang lebih utama. Oleh karena itu para ulama yang membolehkan pun tetap memberikan rambu-rambu. Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menyampaikan hal tersebut sebagai berikut:

 (1) أن لا يشغل عن واجب من واجبات الدين.
(2) أن لا يخالطه قمار
(3) أن لا يصدر أثناء اللعب ما يخالف شرع الله.

                Pertama. Tidak membuatnya sibuk sehingga lupa  dari kewajiban-kewajiban agama.

                Kedua. Tidak dicampur dengan taruhan.

                Ketiga. Ketika bermain tidak terjadi hal-hal yang berselisihan dengan syariat Allah Ta’ala. (Fiqhus Sunnah, 3/514)


                Bukan hanya rambu-rambu ini, ada tambahan sebagai berikut:

                Keempat. Tidak dilakukan secara berlebihan dan sering sebab akan membuat candu dan ketergantungan.
                Kelima. Tidak sampai melupakan pekerjaan yang lebih bermanfaat.
                Keenam. Tidak dicampur dengan perkataan kasar, sumpah serapah, dan bohong.
                Ketujuh. Dilakukan di tempat pantas, bukan tempat yang menurunkan martabat.

                Jika satu saja tidak terpenuhi maka permainan catur sudah jatuh pada keharaman.

 Celaan Permainan Catur Dari Para Ulama 

                Walau alasan-alasan pengharaman catur itu lemah lantaran tak ada dalam Al Quran, As Sunnah, ijma’ sahabat, dan tidak pula qiyas yang benar, namun kami pun   akan sampaikan celaan para ulama terhadap permainan catur dan pemainnya. Sebab, bersikap hati-hati adalah lebih utama, dan sebenarnya celaan terhadap permainan catur bukan hanya datangnya dari ulama yang mengharamkan, tetapi juga ulama yang memakruhkan, bahkan yang membolehkan pun sebenarnya juga mencela permainan catur.
 
                Berikut ini kecaman permainan catur, baik dari ulama yang mengharamkan, memakruhkan, bahkan yang membolehkan.

Abdullah bin Umar Radhiallahu ‘Anhu

                Disebutkan oleh Imam As Suyuthi sebagai berikut:

وأخرج ابن أبي الدنيا عن عبيد الله بن عمير قال : سئل ابن عمر عن الشطرنج فقال : هي شر من النرد

                Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Ad Dunya, dari ‘Ubaidullah bin ‘Amir, katanya: Ibnu Umar ditanya tentang catur, Beliau menjawab: “Itu lebih buruk dibanding dadu.” (Ad Durul Mantsur, 3/170. Darul Fikr)

Imam Qasim bin Muhammad Rahimahullah

                Beliau menyatakan bahwa bermain catur termasuk kategori judi (maisir), walaupun tidak memakai uang.
وعن عمر بن عبد الله، قال: قلت للقاسم بن محمد: أرأيت الشطرنج ميسر هي؟ فقال: كل ما ألهى عن ذكر الله، وعن الصلاة، فهو ميسر.
                Dari Umar bin Abdullah, dia berkata: Aku berkata kepada Al Qasim bin Muhammad: “apa pendapat anda tentang catur, apakah dia termasuk judi?” Dia  menjawab: “Setiap hal yang melalaikan dari dzikir kepada Allah, maka itu adalah judi.” (Imam As Suyuthi, Al Amru bil Ittiba wan Nahyu ‘anil Ibtida’, Hal. 30. Mawqi’ Al Warraq)

Imam Sufyan Ats Tsauri dan Imam Waki’ bin Al Jarrah Rahimahullah

                Allah Ta’ala befirman:
وَأَن تَسْتَقْسِمُواْ بِالأَزْلاَمِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ
                “ … dan (diharamkan juga) Al Azlam (mengundi nasib dengan anak panah),  dan itu bagi kalian adalah kefasikan.”  (QS. Al Maidah (5): 3)

                Imam Sufyan Ats Tsauri dan Imam Waki’ menafsirkan makna bil azlam pada ayat ini adalah catur. (Imam Adz Dzahabi, Al Kabair, Hal 31)

                Maka, dari sini kita mengetahui bahwa kedua imam ini menyamakan antara catur dengan permainan  mengundi nasib dengan panah (Al Azlam) yang jelas haram, dan dalam ayat lain disebutkan bahwa Al Azlam   termasuk rijs (kotor) dan perbuatan syetan, maka jauhilah. (QS. Al Maidah (5): 90)

Imam Ishaq bin Rahawaih Rahimahullah

                Beliau ditanya tentang catur, “Apakah menurutmu pada permainan catur itu ada keburukan?” Beliau menjawab:
البأس كله فيه.
                “Semua keburukan ada di dalamnya.”

                Lalu, Imam Ishaq ditanya pula: Sesungguhnya ahluts tsughur (mujahidin) memainkan catur karena itu merupakan strategi perang. Beliau menjawab: Huwa fujur (itu adalah kedurhakaan/berdosa). (Ibid)

Imam Ibrahim An Nakha’i Rahimahullah

                Beliau ditanya sebagai berikut:
ما تقول في اللعب بالشطرنج فقال: إنها ملعونة.
                “Apa pendapatmu tentang catur? Beliau menjawab: “Sesungguhnya hal itu terlaknat.” (Ibid)

Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah
               
Beliau termasuk yang sangat keras sikapnya dengan orang yang bermain catur. Berikut ini beberapa bukti sikap beliau:

وَقَالَ أَبُو دَاوُد سَمِعْتُ أَحْمَدَ سُئِلَ عَنْ رَجُل مَرَّ بِقَوْمٍ يَلْعَبُونَ بِالشِّطْرَنْجِ فَنَهَاهُمْ فَلَمْ يَنْتَهُوا فَأَخَذَ الشِّطْرَنْج فَرَمَى بِهِ فَقَالَ قَدْ أَحْسَن  
                “Berkata Abu Daud, Aku mendengar Ahmad ditanya tentang seseorang yang melewati sebuah kaum yang sedang bermain catur lalu dia mencegahnya tetapi mereka tidak peduli, lalu orang tersebut mengambil catur tersebut dan melemparnya. Ahmad menjawab: “Itu lebih baik.” (Imam Syamsuddin bin Muflih, Al Adab Asy Syar’iyyah, 1/212. Mauqi’ Al Islam)
 
                Beliau berpendapat bahwa pemain catur tidak berhak diberikan ucapan salam (Assalamu ‘Alaikum ..). Berikut ini teksnya:

وَقَال أَحْمَدُ فِيمَنْ يَلْعَبُ بِالشِّطْرَنْجِ : مَا هُوَ أَهْلٌ أَنْ يُسَلَّمَ عَلَيْهِ

                “Berkata Imam Ahmad tentang orang yang sedang bermain catur: “Bukanlah termasuk yang berhak diberikan salam atasnya.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 25/168)

                Bahkan, sebagian ulama memakruhkan mengucapkan salam untuk orang yang sedang bermain catur. Imam Ibnu Muflih menyebutkan dalam kitab Al Adab Asy Syar’iyyah:

يُكْرَهُ لِكُلِّ مُسْلِمٍ مُكَلَّفٍ أَنْ يُجَالِسَ مَنْ يَلْعَبُ بِشِطْرَنْجٍ أَوْ نَرْدٍ وَأَنْ يُسَلِّمَ عَلَيْهِ بَلْ يُنْكِرُ عَلَيْهِ ذَلِكَ وَيَهْجُرُهُ إنْ لَمْ يَنْزَجِرْ عَنْهُمَا . وَحَكَى الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ أَنَّ أَبَا حَنِيفَةَ وَأَحْمَدَ وَغَيْرَهُمَا قَالُوا إنَّهُ لَا يُسَلِّمُ عَلَى لَاعِبِ الشِّطْرَنْجِ لِأَنَّهُ مُظْهِرٌ لِلْمَعْصِيَةِ
                “Dimakruhkan bagi setiap muslim duduk bersama orang yang bermain catur dan dadu dan mengucapkan salam atasnya, bahkan mesti diingkari perbuatan itu, dan mesti diboikot jika dua hal ini belum dijauhkannya. Syaikh Taqiyuddin menceritakan bahwa Abu Hanifah, Ahmad,  dan lainnya mengatakan: bahwa tidaklah diberi salam orang yang bermain catur karena hal itu adalah menampakkan maksiat.” (Al Adab Asy Syar’iyyah, 4/52)
 
Pandangan Objektif Syaikh Sayyid Rasyid Ridha Rahimahullah

                Sebagai penutup ada baiknya kami sampaikan pandangan jernih dari seorang ulama mujaddid, Al ‘Allamah Syaikh Sayyid Rasyid Ridha dari kitab tafsirnya, Al Manar, kami dapatkan pendapatnya yang tidak fanatik dan sangat seimbang. Berikut ini teksnya:   

إِنَّ اللَّعِبَ بِالشِّطْرَنْجِ إِذَا كَانَ عَلَى مَالٍ دَخَلَ فِي عُمُومِ الْمَيْسِرِ وَكَانَ مُحَرَّمًا بِالنَّصِّ كَمَا تَقَدَّمَ ، وَإِذَا لَمْ يَكُنْ كَذَلِكَ فَلَا وَجْهَ لِلْقَوْلِ بِتَحْرِيمِهِ قِيَاسًا عَلَى الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ إِلَّا إِذَا تَحَقَّقَ فِيهِ كَوْنُهُ رِجْسًا مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ ، مُوقِعًا فِي الْعَدَاوَةِ وَالْبَغْضَاءِ ، صَادًّا عَنْ ذِكْرِ اللهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ ، بِأَنْ كَانَ هَذَا شَأْنَ مَنْ يَلْعَبُ بِهِ دَائِمًا أَوْ فِي الْغَالِبِ ، وَلَا سَبِيلَ إِلَى إِثْبَاتِ هَذَا وَإِنَّنَا نَعْرِفُ مِنْ لَاعِبِي الشِّطْرَنْجِ مَنْ يُحَافِظُونَ عَلَى صَلَوَاتِهِمْ وَيُنَزِّهُونَ أَنْفُسَهُمْ عَنِ اللَّجَاجِ وَالْحَلِفِ الْبَاطِلِ ، وَأَمَّا الْغَفْلَةُ عَنِ اللهِ تَعَالَى فَلَيْسَتْ مِنْ لَوَازِمِ الشِّطْرَنْجِ وَحْدَهُ ، بَلْ كُلِّ لَعِبٍ وَكُلِّ عَمَلٍ فَهُوَ يَشْغَلُ صَاحِبَهُ فِي أَثْنَائِهِ عَنِ الذِّكْرِ وَالْفِكْرِ فِيمَا عَدَاهُ إِلَّا قَلِيلًا ، وَمِنْ ذَلِكَ مَا هُوَ مُبَاحٌ وَمَا هُوَ مُسْتَحَبٌّ أَوْ وَاجِبٌ ، كَلَعِبِ الْخَيْلِ وَالسِّلَاحِ وَالْأَعْمَالِ الصِّنَاعِيَّةِ الَّتِي تُعَدُّ مِنْ فُرُوضِ الْكِفَايَاتِ ، وَمِمَّا وَرَدَ النَّصُّ فِيهِ اللَّعِبُ; لَعِبُ الْحَبَشَةِ فِي مَسْجِدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحَضْرَتِهِ ، وَإِنَّمَا عِيبَ الشِّطْرَنْجُ مِنْ أَنَّهُ أَشَدُّ الْأَلْعَابِ إِغْرَاءً بِإِضَاعَةِ الْوَقْتِ الطَّوِيلِ ، وَلَعَلَّ الشَّافِعِيَّ كَرِهَهُ لِأَجْلِ هَذَا ، وَنَحْمَدُ اللهَ الَّذِي عَافَانَا مِنَ اللَّعِبِ بِهِ وَبِغَيْرِهِ ، كَمَا نَحْمَدُهُ حَمْدًا كَثِيرًا أَنْ عَافَانَا مِنَ الْجُرْأَةِ عَلَى التَّحْرِيمِ وَالتَّحْلِيلِ ، بِغَيْرِ حُجَّةٍ وَلَا دَلِيلٍ .
                “Sesungguhnya bermain catur jika disertai dengan uang maka dia masuk kategori keumuman judi, maka hukumnya haram menurut nash sebagaimana penjelasan lalu. Jika tidak demikian, maka tidak ada alasan bagi yang mengharamkannya secara qiyas, karena tidak bisa diqiyaskan dengan khamr dan judi, kecuali jika jelas-jelas permainan tersebut adalah kotor dan termasuk perbuatan syetan, yang bisa menciptakan permusuhan dan kebencian, serta membuatnya terbentur dari mengingat Allah dan shalat. Jika bagi yang memainkannya terdapat kondisi ini yang selalu ada atau biasanya seperti itu maka tidak ada jalan untuk menetapkan kebolehannya. Sesungguhnya kami mengetahui diantara pemain catur ada yang masih menjaga shalat mereka, dan jiwa mereka bersih dari keributan dan sumpah yang batil. 

                Ada pun lalai mengingat Allah Ta’ala bukan hanya karena kebiasaan bermain catur saja, tetapi semua permainan dan semua pekerjaan. Hal itu bisa membuat pelakunya lalai dari  dzikir dan memikirkan hal lainnya kecuali hanya sedikit. Dari situlah, maka ini terjadi tidak hanya pada yang mubah, yang sunah dan wajib, seperti bermain kuda, pedang, dan amal perbuatan yang termasuk fardhu kifayah. Di antara permainan yang memiliki nash adalah permainannya orang Habasyah di masjid nabawi dan nabi hadir saat itu. Tercelanya catur disebabkan karena dia adalah permainan yang banyak menyita waktu, oleh karena inilah Ays Syafi’I memakruhkannya.

                Kami memuji Allah Ta’ala yang telah menjaga kami dari permainan catur dan lainnya, dan kami banyak memujiNya karena Dia telah menjaga kami dari mengharamkan dan menghalalkan tanpa hujjah dan dalil.” (Syaikh Rasyid Ridha, Al Manar, 7/53. Al Hai’ah Al Mishriyah Al ‘Amah Lil Kitab)

Wallahu A’lam

Farid Nu'man Hasan 
http://www.islamedia.web.id/2011/12/hukum-bermain-catur.html