Judul Buku : Tarbiyah Politik Hasan Al-Banna: Referensi Gerakan Dakwah di Kancah Politik
Penulis : Dr. Yusuf Al-Qaradhawi
Penerbit : Arah Press, Jakarta
Tahun Terbit : Desember 2007
Tebal : x + 228 halaman
Delapan pilar itu adalah:
1. Memadukan antara Islam dan politik (agama dan negara)
2. Membangkitkan kesadaran wajib membebaskan tanah air Islam
3. Membangkitkan kesadaran wajib mendirikan pemerintahan islami
4. Menegakkan eksistensi umat Islam
5. Menyadarkan kewajiban persatuan Islam
6. Menyambut sistem perundang-undangan
7. Mengkritisi multipartai dan kepartaian
8. Melindungi kelompok minoritas dan unsur asing
Memadukan antara Islam dan politik (agama dan negara)
Membangkitkan kesadaran wajib membebaskan tanah air Islam
Membangkitkan kesadaran wajib mendirikan pemerintahan Islami
Menegakkan eksistensi umat Islam
Menyadarkan kewajiban persatuan Islam
Menyambut Sistem Undang-undang dan Parlementer
Mengkritisi Multipartai dan Kepartaian
Perlindungan bagi Kaum Minoritas dan Orang Asing
Penulis : Dr. Yusuf Al-Qaradhawi
Penerbit : Arah Press, Jakarta
Tahun Terbit : Desember 2007
Tebal : x + 228 halaman
Dakwatuna.com – Hasan Al-Banna adalah seorang mujahid dakwah yang tidak hanya mewariskan Ikhwanul Muslimin yang kini menjadi gerakan Islam terbesar di dunia. Ia juga mewariskan pemikiran-pemikiran yang sangat berharga bagi dunia Islam, tidak hanya bagi Ikhwan. Kontribusi pemikirannya telah memenuhi ruang sejarah tersendiri yang sampai kini terus dikaji dan diadopsi banyak gerakan Islam. Begitu pun pemikirannya dalam bidang politik.
Melalui buku At-Tarbiyah As-Siyasiyah Inda Hasan Al-Banna, yang diterjemahkan menjadi Tarbiyah Politik Hasan Al-Banna ini, Dr. Yusuf Qaradhawi mengupas dimensi aspek politik yang orisinil dan detail tentang aspek politik dalam metode tarbiyah yang digagas oleh Hasan Al-Banna. Buku yang diterbitkan dalam rangka memperingati seratus tahun kelahiran Hasan Al-Banna ini diselesaikan Dr. Yusuf Qaradhawi dengan terlebih dahulu mengkaji perkataan Hasan Al-Banna melalui berbagai kumpulan risalahnya, kemudian melakukan muqaranah (komparasi) antara perkataan Hasan Al-Banna satu sama lain, dan metode an-naqd al-‘ilmi al-maudhu’i (kritik ilmiyah tematik). Dengan metode itu, Dr. Yusuf Qaradhawi mendapatkan kesimpulan 8 pilar tarbiyah politik Hasan Al-Banna dan ia berbeda pendapat serta mengkritisi Hasan Al-Banna pada pilar ketujuh.
1. Memadukan antara Islam dan politik (agama dan negara)
2. Membangkitkan kesadaran wajib membebaskan tanah air Islam
3. Membangkitkan kesadaran wajib mendirikan pemerintahan islami
4. Menegakkan eksistensi umat Islam
5. Menyadarkan kewajiban persatuan Islam
6. Menyambut sistem perundang-undangan
7. Mengkritisi multipartai dan kepartaian
8. Melindungi kelompok minoritas dan unsur asing
Memadukan antara Islam dan politik (agama dan negara)
Hasan Al-Banna berusaha keras mengajarkan umat Islam tentang syumuliyatul Islam(kesempurnaan Islam). Apalagi di awal dakwahnya, masyarakat Mesir masih memahami Islam secara parsial. Bahwa Islam adalah rukun iman dan rukun Islam. Sementara politik, pendidikan, ekonomi, dan lain-lain tidak masuk dalam urusan din Islam.
Hasan Al-Banna dalam banyak kesempatan sangat menekankan pentingnya kembali pada syumuliyatul Islam. Begitu pun beliau mencantumkan pembahasan ini di awal ushul isyrin (20 prinsip pokok Ikhwanul Muslimin dalam memahami Islam). Dalam lingkup inilah dakwah Hasan Al-Banna berada. Ia ingin menghilangkan pemikiran sempit yang mengurung Islam dalam ritual tertentu. Ia ingin membina umat Islam dengan pemahaman dan cakrawala luas yang bisa menggiring terbentuknya pribadi Islam yang diidam-idamkan.
Inilah pilar kedua dalam tarbiyah politik Hasan Al-Banna. Memperkuat kesadaran dan memicu sentimen wajib membebaskan tanah air Islam dari penjajahan dan penguasaan asing. Meskipun saat itu Mesir sendiri masih berada di bawah penguasaan Inggris, Hasan Al-Banna juga berpikir jauh ke negara-negara lain yang harus dibebaskan dari penjajahan dan penguasaan asing, termasuk Indonesia. Tentu saja ini adalah implikasi dari pemahaman bahwa umat Islam adalah satu tubuh dan tanah air Islam tidak dibatasi oleh sekat-sekat geografis, melainkan seluruh bumi di mana di atasnya dikumandangkan syahadat.
Upaya menyadarkan umat ini juga ditunjukkan secara faktual dengan keterlibatan Ikhwan mengusir penjajah dari Mesir dan Sudan, pengiriman mujahidin ke Palestina, sampai menekan pemerintah agar mendukung kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945.
Pilar yang kedua di atas sebenarnya hanyalah sarana. Tujuan utamanya adalah menegakkan eksistensi umat Islam agar hidup dengan aqidah dan syariat Islam. Untuk itu, setelah membebaskan negara dari penjajahan dan penguasaan asing, target berikutnya adalah mendirikan pemerintahan yang islami.
Eksistensi umat Islam tidak bisa tegak kecuali jika belenggu penjajahan di segala aspek, baik ekonomi, politik, undang-undang, dan sebagainya bisa dibebaskan, lalu diatur dengan sistem Islam. Dari sini kita mengetahui, bahwa mendirikan pemerintahan Islami merupakan kewajiban, sekaligus kebutuhan yang mau tidak mau harus ditunaikan. Atas dasar inilah sampai saat ini Ikhwan di berbagai negara berupaya merealisasikan tarbiyah politik Hasan Al-Banna untuk mendirikan pemerintahan islami baik dengan mendirikan partai politik atau metode lain. Namun demikian, mendirikan pemerintahan Islami ini bukan hanya tugas Ikhwan dan siapapun yang berhasil mendirikan perlu didukung bersama.
Pilar keempat dari tarbiyah politik Hasan Al-Banna adalah menegakkan eksistensi umat Islam agar mampu mengatur kehidupan masyarakat Islam di wilayah negaranya dan juga dunia internasional dalam satu ikatan di bawah panji Islam.
Islam telah membuktikan tegaknya eksistensi umat dalam skala besar, mengumpulkannya dengan aqidah yang satu, syariat yang satu, nilai-nilai yang sama, adab yang sama, pemahaman dan syariah yang sama serta dalam satu kiblat. Cukuplah mempersatukan umat dengan tiga perkara: pertama, kesatuan referensi (wihdatul maraji’iyah), semuanya berhukum dengan syariah Islam yang bersandar pada Al-Qur’an dan Sunnah; kedua, kesatuan tanah air Islam (wihdatu darul Islam), meskipun terdiri dari banyak negara yang jaraknya berjauhan; ketiga, kesatuan kepemimpinan (wihdatul qiyadah as-siyasiyah), yang diwujudkan dengan khalifah sebagai pemimpin tertinggi.
Pilar kelima ini melengkapi pilar keempat, yaitu membangun kesadaran wajib mempersatukan umat. Pilar ini merupakan tuntutan wajib dalam Islam sekaligus tuntutan aksiomatik secara duniawi.
Dalam hal ini tidak ada kontradiksi antara persatuan Islam dan nasionalisme yang kita kenal. Persatuan Islam juga tidak menganulir paham kebangsaan atau kesukuan. Dalam risalah dakwatuna, Hasan Al-Banna telah menjelaskan bagaimana sikapnya terhadap berbagai paham termasuk nasionalisme dan kebangsaan. Meskipun istilahnya sama, tetapi ada berbagai varian yang dimaksudkan dengan satu istilah itu. Dan karenanya, kita tidak boleh menggeneralisasinya.
Terkadang sebagian orang dan sebagian ikhwan mendengarkan slogan “Al-Qur’an dusturuna” itu artinya mereka menolak hukum positif apapun. Akan tetapi sebenarnya, yang dimaksud dengan slogan itu adalah menjadikan Al-Qur’an sebagai rujukan tertinggi, kepadanyalah kita kembalikan segala urusan. Maka aturan-aturan di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an.
Dengan demikian, boleh bagi umat Islam untuk membuat aturan-aturan yang lebih detail yang merupakan penjabaran dari Al-Qur’an untuk diimplementasikan dalam kehidupan praktis, serta aturan-aturan detail lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan Aqidah dan syariat Islam.
Pilar ke-7 dari tarbiyah politik Hasan Al-Banna adalah ketidaksetujuannya dengan partai-partai yang ada di Mesir saat itu serta ketidaksetujuannya terhadap multipartai. Hasan Al-Banna melihat bahwa banyaknya partai justru membawa mafsadat bagi umat karena yang terjadi adalah perpecahan umat akibat sikap fanatik pada partai. Di samping itu, partai-partai yang ada juga tidak mewakili umat secara benar, bahkan cenderung dibangun hanya untuk meraih kekuasaan tanpa memiliki basis ideologi Islam. Tidak banyak perbedaan program dari semua partai, tetapi semuanya ingin berkuasa dan mendapatkan keuntungan materi. Karenanya, Hasan Al-Banna lebih setuju pada konsep partai tunggal agar rakyat -Mesir khususnya, saat itu- bisa bersatu dan lebih mudah mencapai tujuan.
Pada pilar ke-7 inilah Dr. Yusuf Qaradhawi berbeda pendapat dengan Hasan Al-Banna. Karena partai tunggal justru mendatangkan mudarat yang lebih besar bagi umat, terutama munculnya diktatorisme seperti yang kemudian terjadi di Mesir saat Gamal Abdul Naser melancarkan revolusi lalu menghapus partai-partai dan menghimpun rakyat di bawah jargon “persatuan nasional”. Faktor ini mungkin belum disadari oleh Hasan Al-Banna sebelumnya. Meski demikian, Hasan Al-Banna telah mendapatkan pahala atas ijtihadnya, insya Allah.
Inilah pilar ke-8 tarbiyah politik Hasan Al-Banna. Dan memang inilah Islam. Ia rahmatan lil ‘alamin. Islam pada dasarnya melindungi siapa saja yang tidak memusuhi Islam. Apalagi jika pihak non muslim itu tunduk di bawah naungan negara Islam. Ini sangat berbeda dengan paham kelompok-kelompok garis keras yang cenderung mengambil langkah kekerasan sebagai prioritas utama dalam bersikap menghadapi orang asing.
Dalam fakta sejarah, kita telah mendapatkan perlindungan Nabi kepada kaum Yahudi Madinah, perlindungan Umar pada Nasrani Palestina, juga perlindungan Shalahudin Al-Ayubi pada Nasrani Palestina, dan lain-lain. Saat Islam memegang kekuasaan, kaum minoritas akan terlindungi, karena Islam adalah rahmatan lil ‘alamin. Wallaahu a’lam bish shawab. (Muchlisin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar