Minggu, 18 Maret 2012

Hukum Bermain Musik

www.syariahonline.com

Fathy Z. Pohan

Pertanyaan:

Assalamualaikum Wr. Wb. Alhamdulillah saya telah mendapat keterangan hukum mendengar musik dari buku Halal Haram-nya Dr. Yusuf Qaradhawi. Sekarang yang mau saya tanyakan bagaimana hukum bermain musik/alat music? Syukron, Jzzk. 

Jawaban:

Assalamu `alaikum Wr. Wb. Hukum yang terkait dengan menggunakan alat musik dan mendengarkannya, para ulama juga berbeda pendapat. Jumhur ulama mengharamkan alat musik. Sesuai dengan beberapa hadits diantaranya, sbb: Sungguh akan ada di antara umatku, kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr dan alat-alat yang melalaikan." (HR Bukhari) Dari Nafi bahwa Ibnu Umar mendengar suara seruling gembala, maka ia menutupi telingannya dengan dua jarinya dan mengalihkan kendaraannya dari jalan tersebut. Ia berkata: ‘Wahai Nafi’ apakah engkau dengar? Saya menjawab:”Ya”. Kemudian melanjutkan berjalanannya sampai saya berkata: ”Tidak”. Kemudian Ibnu Umar mengangkat tangannya, dan mengalihkan kendaraannya ke jalan lain dan berkata: Saya melihat Rasulullah saw. mendengar seruling gembala kemudian melakukan seperti ini.” (HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah). Dari Umar bin Hushain, bahwa Rasulullah saw. berkata tentang umat ini: ”Gerhana, gempa dan fitnah. Berkata seseorang dari kaum muslimin: Wahai Rasulullah kapan itu terjadi?” Rasul menjawab: ”Jika biduanita, musik dan minuman keras dominan.” (HR At-Tirmidzi). 

Para ulama membicarakan dan memperselisihkan hadits-hadits tentang haramnya nyanyian dan musik. Hadits pertama diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya, dari Abi Malik Al Asy'ari ra. Hadits ini walaupun terdapat dalam hadits shahih Bukhori, tetapi para ulama memperselisihkannya. Banyak diantara mereka yang mengatakan bahwa hadits ini adalah mualaq (sanadnya terputus), diantaranya dikatakan oleh Ibnu Hazm. Disamping itu diantara para ulama menyatakan bahwa matan dan sanad hadits ini tidak selamat dari kegoncangan (idtirab). Katakanlah, bahwa hadits ini shohih, karena terdapat dalam hadits shohih Bukhori, tetapi nash dalam hadits ini masih bersifat umum, tidak menunjuk alat-alat tertentu dengan namanya. Batasan yang ada adalah bila ia melalaikan. Hadits kedua dikatakan oleh Abu Dawud sebagai hadits mungkar. Kalaupun hadits ini shohih, maka Rasulullah saw. tidak jelas mengharamkannya. Bahkan Rasulullah saw mendengarkannya sebagaimana juga yang dilakukan oleh Ibnu Umar. Sedangkan hadits ketiga adalah hadits ghorib. Dan hadits-hadits lain yang terkait dengan hukum musik, jika diteliti ternyata tidak ada yang shohih. 

Adapun ulama yang menghalalkan musik sebagaimana diantaranya diungkapkan oleh Imam Asy-Syaukani dalam kitabnya, Nailul Authar adalah sbb: Ulama Madinah dan lainnya, seperti ulama Dzahiri dan jama’ah ahlu Sufi memberikan kemudahan pada nyanyian walaupun dengan gitar dan biola.” Juga diriwayatkan oleh Abu Manshur Al-Bagdadi As-Syafi’i dalam kitabnya bahwa Abdullah bin Ja’far menganggap bahwa nyanyi tidak apa-apa, bahkan membolehkan budak-budak wanita untuk menyanyi dan beliau sendiri mendengarkan alunan suaranya. Dan hal itu terjadi di masa khilafah Amirul Mukminin Ali ra. Begitu juga Abu Manshur meriwayatkan hal serupa pada Qodhi Syuraikh, Said bin Al Musayyib, Atho bin abi Ribah, Az-Zuhri dan Asy-Sya’bi. Imam Al-Haramain dalam kitabnya, An-Nihayah dan Ibnu Abi Ad-Dunya yang menukil dari Al-Itsbaat Al-Muarikhiin; bahwa Abdullah bin Zubair memiliki budak-budak wanita dan gitar. Dan Ibnu Umar pernah kerumahnya ternyata disampingnya ada gitar , Ibnu Umar berkata: ”Apa ini wahai sahabat Rasulullah saw. kemudian Ibnu Zubair mengambilkan untuknya, Ibnu Umar merenungi kemudian berkata:” Ini mizan Syami( alat musik) dari Syam?”. Berkata Ibnu Zubair:” Dengan ini akal seseorang bisa seimbang.” Dan diriwayatkan dari Ar-Rowayani dari Al-Qofaal bahwa madzhab Malik bin Anas membolehkan nyanyian dengan alat musik. Demikianlah pendapat ulama tentang mendengarkan alat musik. Dan jika diteliti dengan cermat, maka ulama muta’akhirin yang mengharamkan alat musik karena mereka mengambil sikap waro’ (hati-hati). Mereka melihat kerusakan yang timbul dimasanya. Sedangkan ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabi’in menghalalkan alat musik karena mereka melihat memang tidak ada dalil baik dari Al-Qur’an maupun hadits yang jelas mengharamkannya. Sehingga dikembalikan pada hukum asalnya yaitu mubah. Oleh karena itu bagi umat Islam yang mendengarkan nyanyian dan musik harus memperhatikan faktor-faktor berikut:

Pertama: Lirik Lagu yang dilantunkan. Hukum yang berkaitan dengan lirik ini adalah seperti hukum yang diberikan pada setiap ucapan dan ungkapan lainnya. Artinya, bila muatannya baik menurut syara' maka hukumnya dibolehkan. Dan bila muatanya buruk menurut syara' maka dilarang. 

Kedua: Alat Musik yang Digunakan. Sebagaimana telah diungkapkan di muka bahwa, hukum dasar yang berlaku dalam Islam adalah bahwa segala sesuatu pada dasarnya dibolehkan kecuali ada larangan yang jelas. Dengan ketentuan ini, maka alat-alat musik yang digunakan untuk mengiringi lirik nyanyian yang baik pada dasarnya dibolehkan. Sedangkan alat musik yang disepakati bolehnya oleh jumhur ulama adalah ad-dhuf (alat musik yang dipukul). Adapun alat musik yang diharamkan untuk mendengarkannya, para ulama berbeda pendapat satu sama lain. Satu hal yang disepakati ialah semua alat itu diharamkan jika melalaikan. 

Ketiga: Cara Penampilan harus dijaga agar tetap terjaga dari hal-hal yang dilarang syara' seperti pengeksposan cinta birahi, seks, pornografi dan ikhtilath.
Keempat: Akibat yang ditimbulkan. Walaupun sesuatu itu mubah, namun bila diduga kuat mengakibatkan hal-hal yang diharamkan seperti melalaikan shalat, munculnya ulah penonton yang tidak Islami sebagi respon langsung dan sejenisnya, maka sesuatu tersebut menjadi terlarang pula. Sesuai dengan kaidah Saddu Adz dzaroi' (menutup pintu kemaksiatan). 

Kelima: Aspek Tasyabuh. Perangkat khusus, cara penyajian dan model khusus yang telah menjadi ciri kelompok pemusik tertentu yang jelas-jelas menyimpang dari garis Islam, harus dihindari agar tidak terperangkap dalam tasyabbuh dengan suatu kaum yang tidak dibenarkan. Rasulullah saw. bersabda: “Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk mereka” (HR Ahmad dan Abu Dawud) 

Keenam: Orang yang menyanyikan. Haram bagi kaum muslimin yang sengaja mendengarkan nyanyian dari wanita yang bukan muhrimnya. Sebagaimana firman Allah SWT: Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (QS Al-Ahzaab 32) Demikian kesimpulan tentang hukum nyanyian dan musik dalam Islam semoga bermanfaat bagi kaum muslimin dan menjadi panduan dalam kehidupan mereka. Amiin. Wallahu A`lam Bish-Showab, Wassalamualaikum Wr. Wb.

http://www.syariahonline.com/v2/masalah-umum/1881-hukum-bermain-musik.html

Jumat, 09 Maret 2012

Perempuan di Parlemen, Apa Hukumnya?



Perempuan di Parlemen, Apa Hukumnya?Fiqhislam.com - Perempuan memiliki posisi terhormat dalam ajaran Islam. Sejak zaman Rasulullah SAW, kaum perempuan telah berjasa besar dalam dakwah dan perjuangan menyebarkan ajaran Islam.
Di era modern ini, peran perempuan setara dengan kaum pria. Salah satunya adalah peran kaum perempuan di parlemen. Bahkan UU Pemilu sebelumnya menegaskan adanya kuota 30 persen bagi kaum hawa di DPR.

Lalu bagaimana Islam memandang tampilnya kaum perempuan di parlemen? Wanita adalah manusia mukallaf (yang bertanggung jawab)  sebagaimana halnya laki-laki. Mereka dituntut beribadah kepada Allah dan menegakkan agama-Nya. Baik laki-laki maupun perempuan dituntut menunaikan segala perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, mematuhi batas-batas-Nya, menyeru orang lain kepada agama-Nya, serta beramar ma'ruf nahyi munkar.

Semua firman Allah SWT dan sabda Rasulullah SAW di dalamnya meliputi kaum wanita, kecuali jika ada dalil tertentu yang mengkhususkannya untuk laki-laki. Pada zaman Rasulullah SAW, kaum hawa sudah memainkan peran yang penting, sehingga suara yang pertama kali dikumandangkan untuk membenarkan dan mendukung Nabi SAW adalah suara wanita yakni Khadijah RA.  Bahkan, orang yang mati syahid pertama adalah wanita, yaitu Sumayyah ibu dar Ammar RA.

Ulama terkemuka Syekh Yusuf al-Qaradhawi dalam buku bertajuk Fatwa-fatwa Kontemporer, mengatakan, janganlah menetapkan sesuatu melainkan dengan nash-nash yang sahih yang memberikan ketetapan.

Syekh al-Qaradhawi, mengungkapkan, saat ini kamus sekuler memperdagangkan persoalan wanita (mengangkat persoalan-persoalan wanita) dan mencoba mengaitkannya dengan Islam mengenai hal-hal yang sebenarnya Islam terlepas daripadanya.

Misalnya, kata dia, Islam masih dipandang mendiskreditkan kaum wanita serta menyia-nyiakan kemampuan dan kodratnya, dengan alasan kebiasaan-kebiasaan yang terjadi pada beberapa dekade terakhir, dan dengan alasan beberapa pendapat kaum ekstremis pada zaman sekarang.

Menurut Syekh al-Qaradhawi, ada  sebagian orang yang  masih menganggap  duduknya wanita di parlemen adalah haram dan dosa. Padahal, kata dia,  mengharamkan sesuatu itu tidak dapat dilakukan,  kecuali dengan adanya dalil yang tidak samar lagi. Sedangkan, semua tindakan duniawi itu mubah, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan keharamannya.

Syekh al-Qaradhawi berpendapat, seorang wanita Muslim boleh menjadi anggota parlemen. Syaratnya, kata dia, mereka tak bergaul bebas dengan laki-laki lain tanpa batas. Selain itu, anggota wanita yang duduk di parlemen juga tak boleh mengabaikan suami, anak-anak dan lingkungannya.

Dengan duduk di parlemen, seorang perempuan bukan berarti diperbolehkan menyimpang dari kesopanan dalam berpakaian, berjalan, bergerak dan berbicara.  Perempuan yang menjadi anggota parlemen, papar al-Qaradhawi, harus tetap menjaga adab-adab kesopanan sesuai dengan tuntunan syara'. Hal itu, menurutnya, tidak diragukan dan tidak dipertentangkan siapa pun.

Adab-adab itu, tutur Syekh al-Qaradhawi,  harus dipenuhi seorang perempuan ketika beraktivitas di luar rumah, seperti di parlemen atau kampus. Menurut dia,  negara-negara yang memelihara adab-adab Islam dituntut untuk memberikan tempat tertentu bagi kaum perempuan untuk duduk di parlemen,  berupa baris khusus atau sudut khusus. Sehingga, mereka bisa menunaikan tugasnya dengan tenang dan terjauh dari fitnah-fitnah yang dikhawatirkan.

Syarat Wanita Duduk di Parlemen

* Nahdlatul Ulama

Nahdlatul Ulama (NU) dalam fatwanya yang disepakati pada Konferensi Besar Syuriah NU di Surabaya pada 19 Maret 1957 memperbolehkan perempuan menjadi anggota parlemen, dengan syarat:

* Afifah (Bisa menjaga kehormatan diri)
*  Ahli dalam hal-hal tersebut di atas.
*  Menututpi auratnya
*  Mendapat izin dari yang berhak memberi izin
*  Aman dari fitnah
*  Tidak menjadikan sebab timbulnya mungkar menurut syara.

Apabila tidak memenuhi syarat-syarat tersebut di atas, maka haram. Dan syuriah dengan kebijaksanaan serta persetujuan PB Syuriah NU berhak menariknya.


Muhammadiyah

Pada Muktamar XVII Muhammadiyah di Pancongan, Pekalongan, Jawa Tengah tahun 1972 diputuskan, bahwa hampir seluruh ajaran Islam tentang muamalat dunyawiyyah (urusan duniawi) mengandung unsur-unsur politis dan ideologis. Muhammadiyah membolehkan kaum perempuan untuk menjadi anggota parlemen. Muhammadiyah mendorong kaum wanita ikut serta dan berjuang mencapai jumlah perwakilan yang memadai. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan:

*  Harus ada pembimbing politis dari setiap stuasi yang dihadapi terutama yang menyangkut masalah kewanitaan, agar setiap wanita Islam memiliki kesadaran politik.

*  Harus dipersiapkan kader-kader politik wanita Islam
*  Dalam kerjasama dengan organisasi-organisasi lain, harus dapat menempatkan orang-orang yang sekiranya sanggup menjadi fa'il (pemeran).

Semut-Semut Nan Perkasa

Semut-Semut Nan PerkasaFiqhislam.com - Semut adalah binatang khusus yang bukan hanya namanya disebut di Al-Qur’an, tetapi juga digunakan menjadi nama salah satu surat – yaitu Surat Semut (An Naml), surat ke 27. Sangat bisa jadi ada pelajaran besar yang Allah kehendaki agar kita belajar dari bangsa semut ini – yang belum seluruhnya bisa kita pahami. 

Pelajaran dari bangsa semut ini akan bertambah manakala kita bisa belajar dari dua sumber utamanya sekaligus, yaitu yang pertama melalui ayat-ayat yang tertulis dalam KitabNya. Yang kedua ya dengan mengamati kehidupan masyarakat semut itu sendiri.

Semut adalah makhluk sosial yang sangat disiplin dan tahu betul tugasnya. Semut-semut yang banyak kita lihat umumnya adalah semut pekerja yang seluruhnya betina. Semut jantan tidak berkeliaran karena tugasnya hanya satu yaitu mengawini ratu-nya.

Meskipun semut pekerja tersebut adalah semut betina, mereka amat sangat perkasa. Seekor semut betina rata-rata bisa mengangkat beban sampai 50 kali berat tubuhnya sendiri. Jadi bayangkan bila istri Anda yang mungil dengan berat tubuh hanya 50 kg, tetapi dia bisa mengangkat mobil ukuran sedang seberat 2.5 ton – maka itulah kurang lebih perumpamaan kemampuan semut betina pekerja ini !.

Semut juga merupakan makhluk yang taat komando dari pimpinannya dan mampu berkomunikasi dengan sesamanya secara baik. Ketaatan pada pimpinan dan kemampuan komunikasi ini diabadikan di Al-Qur’an : “Hingga apabila mereka sampai di lembah semut berkatalah seekor semut: Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari" (QS 27 :18).

Kita memang tidak dikarunia kemampuan seperti nabi Sulaiman Alaihi Salam yang bisa memahami bahasa semut, tetapi kita tetap bisa belajar langsung dari bangsa semut ini. Anda bisa mempraktekkannya sendiri dan caranya tidak terlalu sulit.
Ambillah makanan yang manis dan taruh di tempat yang biasanya dikunjungi semut, insyaAllah tidak terlalu lama semut-semut tersebut akan berdatangan. Awalnya satu, dua, tiga dan seterusnya sampai terkumpul sejumlah semut yang cukup untuk mengangkat makanan tersebut.

Meskipun padat karya, mereka nampaknya bisa mengukur berapa jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk tugas membawa makanan ini. Tidak ada yang malas dan tidak ada yang menganggur, semua bekerja dengan satu misi yang sama.

Setelah mereka berhasil mengangkat makanan tersebut, mereka akan bergerak menuju sarangnya. Tetapi nanti dahulu, kadang perjalanan menuju sarang tersebut tidak selalu mulus. Perhatikan bagaimana semut-semut ini akan mengatasi halangan yang ada. Bila halangan terlalu besar, dia akan mengitari halangan tersebut – dia mencari jalan lain. Bila halangan tidak terlalu besar maka halangan akan ‘dilompati’ dengan cara mereka sendiri.

Sebelum mereka memutuskan apakah akan mengitari atau melompati halangan yang ada, mereka nampak berhenti dan mungkin berfikir, berdiskusi dengan teamnya – baru kemudian mengangkat kembali beban berat yang ada untuk solusi yang sudah disepakati bersama. Betapa cerdasnya mereka mengatasi halangan dan rintangan tersebut sehingga terlalu panjang bila saya uraikan detailnya disini.

Yang paling menarik adalah ketika semut-semut ini berhasil membawa makanan besar tersebut ke pintu sarangnya di akhir perjalanan. Apa yang mereka lakukan ?.

Dengan ukuran makanan yang jauh lebih besar dari pintu sarangnya, adakah mereka punya solusi untuk membawanya masuk ?. Ternyata tidak, semut-semut tersebut memang tidak berkeinginan membawa makanan besar tersebut masuk ke sarangnya. Ditinggalkannya makanan ini di pintu masuk sarangnya, untuk menjadi santapan semut-semut lain yang membutuhkannya.

Inilah rupanya salah satu pelajaran besar yang bisa kita petik, secara individu semut-semut tersebut nampaknya tahu betul bahwa dia hanya butuh sedikit saja untuk makannya. Tetapi mereka secara bersama-sama tetap bekerja keras, bersusah payah mengatasi segala halangan yang ada – agar semut-semut lain dapat makanan dengan cukup dan dengan mudah – di pintu sarangnya.

Kita bangsa manusia banyak juga yang mau bekerja keras mengatasi halangan dan rintangan, tetapi kita sering lupa bagian orang lain. Kita tahu bahwa akhirnya yang kita butuhkan sebenarnya juga hanya sedikit, tetapi kita tetap saja (berusaha) mencari begitu banyak untuk diri kita sendiri.

Kerja keras memang suatu keharusan, membangun kejayaan juga patut terus diupayakan – tetapi semua pencapian tersebut hendaklah digunakan seperti makanan semut tadi – untuk dapat dimanfaatkan oleh umat yang banyak. Inilah salah satu bentuk amal saleh yang sangat dibutuhkan umat ini, agar kita tidak diperdaya dan dijajah oleh umat lain. Agar maqasid syariah berupa iman, jiwa, pikiran, keturunan, kehormatan dan harta umat terjaga.

Maka tidak heran setelah ayat yang menceritakan semut-semut berbicara satu sama lain tersebut diatas, Allah memberikan petunjuknya tentang apa yang perlu kita lakukan : “maka dia (Sulaiman) tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdoa: "Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh". (QS 27:19).

Pasti bukan kebetulan bila ayat tersebut senada dengan do’a yang dianjurkan untuk orang-orang yang telah mencapai usia 40 tahun : “…sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri"”(QS 46 :15).

Jadi, yang kita butuhkan sekarang adalah masyarakat pekerja keras seperti kaum semut pekerja tersebut diatas. Mereka mensyukuri ‘nikmat’ kelebihan masing masing, ada yang diberi ilmu, ada yang diberi harta, ada yang diberi kekuatan fisik dlsb., mereka mensyukurinya dengan bekerja keras mengoptimalkan kelebihan masing-masing. Bukan untuk membangun kekayaannya untuk dirinya sendiri, tetapi agar menjadi amal saleh yang diridhai-Nya.

Di Al-Qur’an ada contoh-contoh yang pas untuk masing-masing peran, ada contoh untuk para pemimpin, ada contoh untuk para pendidik, ada contoh untuk suami, ada contoh untuk istri dan ada contoh untuk rakyat biasa yang rata-rata kaum pekerja.

Untuk saat ini umat sangat membutuhkan kekuatan ekstra untuk bisa membangun ketahanan ekonomi dan khususnya ketahanan pangan, maka keberadaan ‘semut-semut perkasa’ dari kaum pekerja seperti kita-kitalah yang sangat dibutuhkan. Semoga kerja keras kita bisa dicatat sebagai amal saleh yang diridhaiNya, Amin.
Oleh Muhaimin Iqbal
http://www.fiqhislam.com/index.php?option=com_content&view=article&id=47982:semut-semut-nan-perkasa&catid=74:artikel-islami&Itemid=231

Cinta Sepanjang Masa





Cinta Sepanjang Masa
 
Fiqhislam.com - Ia adalah wanita yang terus hidup dalam hati suaminya sampaipun ia telah meninggal dunia. Tahun-tahun yang terus berganti tidak dapat mengikis kecintaan sang suami padanya. Panjangnya masa tidak dapat menghapus kenangan bersamanya di hati sang suami. 

Bahkan sang suami terus mengenangnya dan bertutur tentang andilnya dalam ujian, kesulitan dan musibah yang dihadapi. Sang suami terus mencintainya dengan kecintaan yang mendatangkan rasa cemburu dari istri yang lain, yang dinikahi sepeninggalnya. (Mazin bin Abdul Karim Al Farih  dalam kitabnya Al Usratu bilaa Masyaakil)

Suatu hari istri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain (yakni ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha) berkata, “Aku tidak pernah cemburu kepada seorang pun dari istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti cemburuku pada Khadijah, padahal aku tidak pernah melihatnya, akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menyebutnya.” (HR. Bukhari)

Ya, dialah Khadijah bintu Khuwailid bin Asad bin ‘Abdul ‘Uzza bin Qushai. Dialah wanita yang pertama kali dinikahi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bersamanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membina rumah tangga harmonis yang terbimbing dengan wahyu di Makkah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menikah dengan wanita lain sehingga dia meninggal dunia.

Saat menikah, Khadijah radhiyallahu ‘anha berusia 40 tahun sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berusia 25 tahun. Saat itu ia merupakan wanita yang paling terpandang, cantik dan sekaligus kaya. Ia menikah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tak lain karena mulianya sifat beliau, karena tingginya kecerdasan dan indahnya kejujuran beliau. Padahal saat itu sudah banyak para pemuka dan pemimpin kaum yang hendak menikahinya.
Ia adalah wanita terbaik sepanjang masa. Ia selalu memberi semangat dan keleluasaan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mencari kebenaran. Ia sendiri yang menyiapkan bekal untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat beliau menyendiri dan beribadah di gua Hira’. Seorang pun tidak akan lupa perkataannya yang masyhur yang menjadikan Nabi merasakan tenang setelah terguncang dan merasa bahagia setelah bersedih hati ketika turun wahyu pada kali yang pertama, “Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Karena sungguh engkau suka menyambung silaturahmi, menanggung kebutuhan orang yang lemah, menutup kebutuhan orang yang tidak punya, menjamu dan memuliakan tamu dan engkau menolong setiap upaya menegakkan kebenaran.” (HR. Muttafaqun ‘alaih) (Mazin bin Abdul Karim Al Farih  dalam kitabnya Al Usratu bilaa Masyaakil)

Pun, saat suaminya menerima wahyu yang kedua berisi perintah untuk mulai berjuang mendakwahkan agama Allah dan mengajak pada tauhid, ia adalah wanita pertama yang percaya bahwa suaminya adalah utusan Allah dan kemudian menyatakan keislamannya tanpa ragu-ragu dan bimbang sedikit pun juga.

Khadijah termasuk salah satu nikmat yang Allah anugerahkan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia mendampingi beliau selama seperempat abad, menyayangi beliau di kala resah, melindungi beliau pada saat-saat yang kritis, menolong beliau dalam menyebarkan risalah, mendampingi beliau dalam menjalankan jihad yang berat, juga rela menyerahkan diri dan hartanya pada beliau. (Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakfury di dalam Sirah Nabawiyah)
Suatu kali ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau menyebut-nyebut Khadijah, “Seakan-akan di dunia ini tidak ada wanita lain selain Khadijah?!” Maka beliau berkata kepada ‘Aisyah, “Khadijah itu begini dan begini.” (HR. Bukhari)

Dalam riwayat Ahmad pada Musnad-nya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “begini dan begini” adalah sabda beliau, “Ia beriman kepadaku ketika semua orang kufur, ia membenarkan aku ketika semua orang mendustakanku, ia melapangkan aku dengan hartanya ketika semua orang mengharamkan (menghalangi) aku dan Allah memberiku rezeki berupa anak darinya.” (Mazin bin Abdul Karim Al Farih  dalam kitabnya Al Usratu bilaa Masyaakil)

Karenanya saudariku muslimah, jika engkau ingin hidup dalam hati suamimu maka sertailah dia dalam mencintai dan menegakkan agama Allah, sertailah dia dalam suka dan dukanya. Jadilah engkau seperti Khadijah hingga engkau kelak mendapatkan apa yang ia dapatkan. Sebagaimana yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari, Jibril mendatangi nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, inilah Khadijah yang datang sambil membawa bejana yang di dalamnya ada lauk atau makanan atau minuman. Jika dia datang, sampaikan salam kepadanya dari Rabb-nya, dan sampaikan kabar kepadanya tentang sebuah rumah di surga, yang di dalamnya tidak ada suara hiruk pikuk dan keletihan.
Saudariku muslimah, maukah engkau menjadi Khadijah yang berikutnya?

Maraji:
  1. Rumah Tangga tanpa Problema (terjemahan dari Al Usratu bilaa Masyaakil) karya Mazin bin Abdul Karim Al Farih
  2. Sirah Nabawiyah (terj) karya Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakfury
  3. Al Quran dan Terjemahnya
***
Penyusun: Ummu Abdirrahman | Muroja’ah: ustadz Abu Salman
Artikel muslimah.or.id
Publikasi: pusatmotivasi.com

Minggu, 04 Maret 2012

Soliditas Jama'ah


Ikhwan dan akhwat fillah, untuk sebuah soliditas jamaah, kita memerlukan suatu kondisi, yang sering disebut dengan istiqrar, ketenangan atau kestabilan. Sudah barang tentu kondisi ini pertama-tama dituntut dari setiap aktivis dari jamaah ini, dari setiap kader, dari ikhwan atau akhwat yang mempunyai komitmen dengan gerakan dakwah ini.

Istiqrar Nafsi
Pertama, setiap kader harus selalu memperhatikan istiqrarun nafsi, ketenangan dan stabilitas jiwanya. Jangan sampai akibat kesibukan yang demikian banyak, tantangan yang demikian berat, tuntutan akan pengorbanan yang melampaui batas-batas kemampuan membuat jiwa kita menjadi kacau, an-nufus al-murtabikah, yang kacau terguncang, yang akhirnya seperti yang sering disindir oleh Sayyid Quthub, sebagai an-nufus al-mahzumah, jiwa yang kalah lebih dulu sebelum terjun ke medan pertempuran. Oleh karena itu setiap kader, ikhwan dan akhwat harus memperhatikan, harus memberikan inayah yang cukup terhadap istiqrarun nafsi, ketenangan jiwanya. 

Ketenangan jiwa hanya bisa diraih melalui upaya mengarahkan hati kita selalu berhubungan dengan Allah Taala, al-muta’alliqah billah. Hanya dengan itulah itmi’nanun nafsi, ketenangan jiwa bisa ditumbuhkan, bisa dipelihara dan bisa dikembangkan. 

Ikhwan dan akhwat fillah, kita sebagai duat dan da’iyat ilallah harus menjadi orang yang paling sanggup memelihara hatinya dalam kondisi al-qulub al-muthmainnah. Dari sanalah akan tumbuh tsiqah, watsiqun billah, watsiqun binashrillah, yakin betul kepada Allah, yakin betul akan adanya kemenangan yang dianugerahkan oleh Allah. Tanpa itu dengan tantangan dan tugas berat ini kita akan gelisah. Oleh karena itu hati kita harus selalu dihubungkan dengan kekuatan Maha Besar, yaitu Allah Taala. Yang bukan saja menggerakkan alam semesta, tapi Dialah Pencipta alam semesta. Dialah yang mengarahkan ke mana bergeraknya alam semesta, tarmasuk fenomena dengan aneka ragam kelompok dan ideologinya, aneka ragam programnya, seluruhnya digerakkan oleh Allah dan akan mencapai target-target yang sudah dibatasi oleh iradatillah dan masyiatillah. Menghadapi akan hal ini tidak akan pernah bisa merasa gentar melihat kekuatan apa yang disebut partai besar, karena Allahlah Yang Maha Besar. Kita tidak pernah merasa minder melihat partai yang kaya raya, karena Allah yang Maha kaya dan Maha Mulia. Yakin, mungkin apa yang kita miliki sekarang sedikit, tapi yang dijanjikan Allah dalam rangka pertolongan-Nya adalah Maha Besar. Maa indakum yanfadu wa maa indallaahi baaqin, apa-apa yang disediakan oleh Allah untuk para mujahidin, para duat ilallah la yanfad, baaqin laa yanfad

Qanaah inilah yang harus kita miliki. Tanpa qanaah kita akan ngeri melihat kekayaan yang dimiliki partai-partai besar yang demikian banyak seolah-olah di mata kita akan berlomba dengan kekuatan seperti itu. Tetapi kalau kita yakin bahwa yang memerintahkan kita berlomba adalah Allah Taala dalam rangka al-khairat, fastabiqul khairat, kita insya Allah tidak akan ragu untuk start dan berjalan dengan manhaj Allah dan mencapai finish, mardhatillah. Allahu Akbar! Allah Akbar!

Jiwa yang semacam itulah yang harus dimiliki oleh para duat sehingga apapun yang kita hadapi kalkulasinya bukan kalkulasi bumi, tapi kalkulasi samawi, di mana seluruh fenomena universal ini tidak ada yang terlepas dari tadbir rabbani. Sekali-kali hanya qulub muthmainnah sajalah yang akan betul-betul watsiqun billah wa watsiqun binashrillah.

Ikhwan dan akhwat fillah, alhamdulillah, selama ini jamaah selalu memahami kita, menjaga kita, memelihara kita, memberi inayah kepada kita agar hati kita terpelihara, jangan sampai menjadi nufus murtabikah, jangan menjadi jiwa yang guncang, jiwa yang kalut dalam menghadapi tantangan. Dan bahkan Allah Taala telah mengarahkan kepada kita bagaimana agar istiqrarun nafsi itu bisa dipelihara, maka kemudian Allah mewajibkan dan menyunahkan akan adanya sunnah berumah tangga dan berkeluarga. Karena berkeluarga adalah salah satu jenjang, salah satu sarana, salah satu wadah untuk memelihara nufus mustaqirrah.
 
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (Q.S. Ar-Ruum: 21)
Istiqrar ‘Aili

Oleh karena itu istiqrarun nafsi itu harus dilanjutkan dengan upaya mewujudkan yang kedua, yaitu: istiqrarun ‘aili, ketenangan dan kestabilan keluarga para dai dan daiyat. Saya menyadari, sesadar-sadarnya bahwa keluarga duat dan daiyah tidak seperti keluarga kebanyakan manusia. Dari mulai munthalaqnya, pangkal bertolaknya mereka berumah tangga, dimana rumah tangga itu dibangun dengan mahabbah fillah. Apa lagi sama-sama dibangun melalui wihdatul aqidah, wihdatul fikrah dan wihdatul minhaj. Bahkan selalu seiring bergandengan tangan dalam perjalanan dakwah dengan segala pengorbanannya, maka ikatan mahabbah fillah yang didasari wihdatul aqidah, wihdatul fikrah dan wihdatul manhaj itu diikat pula oleh ikatan romantisme dakwah. Ikatan romantika dakwah yang mengikat rumah tangga kita. Allahu akbar walillahil hamd.
Oleh karena itu saya pesankan, setelah kita selalu memelihara istiqrarun nafsi, kita pun harus betul-betul memelihara istiqrar ‘aili kita, stabilitas dan ketenangan rumah tangga kita. Saya sering mengatakan bahwa rumah tangga dai adalah rumah tangga qa’idah da’wiyah, homebase bagi dakwah itu. Dan komandan markasnya adalah istri kita. Sudah barang tentu para junudullah membutuhkan ri’ayah dari komandan agar kegairahan berdakwahnya tetap bergelora, agar semangat dakwahnya tetap menggebu, agar daya juangnya tetap berkobar. Oleh karena itu mu’asyarah bil ma’ruf, mu’asyarah zaujiyah bil ma’ruf adalah merupakan sendi-sendi yang harus diperhatikan dalam memelihara istiqrar ‘aili, kestabilan keluarga dai. 

Sekali lagi kepada ikhwan dan kepada akhwat, kepada keduanya, saya pesankan untuk betul-betul menjaga memelihara al-istiqrar al-‘aili, sebab jika ‘ailat du’at dan da’iyah ghairu mustaqirrah, tidak tenang, tidak stabil, sudah barang tentu cukup merepotkan jamaah, cukup menghambat gerak langkah jamaah ini. Karena dia merupakan labinatun min labinaatul jamaah, salah satu batu bata dari struktur jamaah ini. Setelah binaul fard adalah binaul usrah, apakah itu usrah harakiyah apakah usrah yang bersifat fithriyah, kauniyah dan nasabiyah seterusnya harus dipelihara. Tanpa itu kaki kita akan tersandung-sandung, jalan kita akan terseok-seok. Sekarang ini setelah istiqrarun nafsi, istiqrarun ‘aili itu harus benar-benar dipelihara bersama oleh seluruh komponen keluarga. Pelihara hubungan dengan istri, dengan suami, dengan anak dengan mertua dengan orang tua, dengan siapa pun yang terkait dengan keluarga kita, karena seluruhnya adalah merupakan ra’sul mal, modal utama bagi dakwah ini.
Istiqrar Ijtima’i

Ikhwan dan akhwat fillah, yang ketiga adalah istiqrar ijtima’i, stabilitas sosial kita dalam berkomunikasi dengan tetangga, dengan masyarakat lingkungan. Kita harus husnul jiran, baik jari dzil qurba, apakah tetangga yang memang kerabat atau jari dzil junub, atau tetangga yang jauh, apakah jauh lokasi rumahnya, mungkin terselang beberapa rumah, tapi masih bagian dari lingkungan kehidupan kita atau dekat tapi jauh dari nasabnya. Seluruhnya harus kita pelihara. Kalau kita bisa memelihara istiqrar ijtima’i, insya Allah lingkungan kita akan menjadi al-qaidah al-ijtima’iyah bagi dakwah kita. Apalagi lingkungan-lingkungan kita sekarang sesuai dengan perjalanan dakwah, sudah merupakan akumulatif dari kumpulan keluarga-keluarga ikhwan dan akhwat yang berhimpun di suatu daerah, suatu area atau bahkan sengaja membuat kampung atau komplek sendiri. Sudah barang tentu harus memperlihatkan keteladanannya dalam al-istiqrar al-ijtima’i, harus memancarkan qudwah, keteladanan mujtama’ mustaqir, masyarakat yang tenang dan tenteram. Karena masyarakat yang tenang dan tenteram sajalah yang akan memberikan kontribusinya, akan memberikan sumbangsihnya bagi lingkungan-lingkungan yang lebih luas, umat, bangsa dan negara.
Istiqrar Tanzhimi

Ikhwan dan akhwat fillah, dengan modal istiqrar nafsi, istiqrar ‘aili dan istiqrar ijtima’i itu, insya Allah secara struktural kita pun akan tenang, tanzhim kita akan tenang, tidak banyak PR, tidak banyak urusan internal, tidak mendengar sindiran sebagai jamaah qadhaya, karena yang selalu dibahas qadhaya dan qadhaya. Dan ini tadzkirah, saya kira fenomenanya sedikit, tapi bagi jamaah dakwah cukup mengusik, mengusik hati, mengusik pikiran. Potensi qiyadah dan qa’idah dan junud terkuras oleh hal-hal yang begitu. Oleh karena itu dengan modal istiqrar nafsi, istiqrar ‘aili dan istiqrar ijtima’i, insya Allah akan mencapai yang keempat: yaitu istiqrar tanzhimi. Tanzhim kita insya Allah akan menjadi tanzhim mustaqir, menjadi struktur yang stabil, yang tenang, tidak direpotkan oleh isu, oleh gosip, oleh kasak kusuk, oleh friksi-friksi yang na’udzubillah jika dibiarkan akan menjadi fraksi-fraksi.

Istiqrar Da'wi
Ikhwan dan akhwat fillah, jika istiqrar tanzhimi tadi bisa terwujud, maka insya Allah terjadilah istiqrar da'wi, dakwah kita stabil, jalan terus. Guncangan apapun tidak akan membuat kita terguling, jebakan apapun tidak akan membuat kita terperosok, situasi apapun tidak membuat kita terkecoh.

sumber (http://al-intima.com/taujih-ust-hilmi-aminuddin/soliditas-jamaah)

Ghibah di Jalan Dakwah?



Hari ini, nampaknya tidak ada seorang pun dari masyarakat kota yang tidak kenal Friendster, Myspace, Facebook, atau Twitter. Situs jejaring sosial tersebut begitu digemari masyarakat karena dapat membantu memperluas pertemanan, membuat komunitas, menemukan teman lama, silaturahim, berbisnis, kampanye politik, menggalang aktivitas sosial, berdakwah, dan bahkan cari jodoh.

Namun disamping membawa dampak positif, situs jejaring sosial juga ternyata membawa dampak negatif. Misalnya seorang social networker kerap menghabiskan waktunya untuk memantau status atau komentar, kinerja perusahaan terganggu karena karyawan rajin surfing, waktu belajar para pelajar habis untuk ngoprek Friendster, Facebook atau chatting, berkurangnya kebiasaan silaturahim antara kerabat ataupun sahabat, dan salah satu hal yang paling berbahaya dari sudut pandang agama adalah semakin merebaknya ‘budaya’ ghibah atau bergunjing antar sesama. Di situs pertemanan ini juga kerap mengemuka fenomena saling fitnah, saling menjatuhkan, saling tuduh, debat kusir, dan namimah atau penyebaran kabar burung yang menimbulkan permusuhan satu sama lain.

Dengan demikian kita harus waspada, kemajuan teknologi komunikasi ternyata dapat menimbulkan pergeseran nilai. Ghibah, saling fitnah, saling menjatuhkan, saling tuduh, debat kusir, dan namimah dianggap perkara ringan. Belumlah lagi kita dapat meredam dampak negatif ‘kebebasan pers’ yang kebablasan dan tayangan ‘infotainment’ biang ghibah, kini muncul media jejaring sosial  yang dari rahimnya lahir ‘sejuta wartawan’ pembawa berita tanpa ‘sanad’ dan ‘rawi’ serta tanpa etika Islam.[1]

Ghibah adalah dosa besar!

Allah SWT berfirman,
Dan janganlah sebagian kamu bergunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.” (QS. Al-Hujurat, 49: 12).
Apakah ghibah  atau bergunjing itu? Untuk memahaminya cukuplah bagi kita membaca hadits dari Abu Hurairah, bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya,
يَا رَسُلُ اللهُ! مَاالْغِيْبَةُ؟ قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ. قِيْلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيْ أَخِيْ مَا أَقُوْلُ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدْ اِغْتَبْتَهُ, وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدْ بَهَتَّهُ. (رواه مسلم وأبو داود والترمذي)
“’Wahai Rasulullah, apakah ghibah itu?’ Beliau menjawab, ‘Engkau menyebut-nyebut saudaramu dengan sesuatu yang tidak disukainya’. Beliau ditanya lagi, ‘Bagaimana pendapat engkau jika pada diri saudaraku itu ada sesuatu yang aku katakan?’ Beliau menjawab, ‘Jika pada dirinya ada sesuatu yang engkau katakan, berarti engkau telah mengghibahnya, dan jika pada dirinya tidak ada sesuatu yang engkau katakan, berarti engkau telah mendustakannya’.” (HR. Muslim, Abu Dawud dan At-Tirmidzy).

“Engkau menyebut-nyebut saudaramu dengan sesuatu yang tidak disukainya”, inilah kaidah yang diajarkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam agar kita mengetahui batasan ghibah. Kaidah ini harus dipegang teguh oleh setiap muslim yang hendak membicarakan saudara-saudaranya sesama muslim, meskipun apa yang dibicarakan itu memang benar-benar ada pada diri saudaranya terkait dengan cacat tubuh, budi pekerti, harta, anak, istri, saudaranya, atau apa pun yang ada hubungannya dengan dirinya.

Hasan, cucu Nabi, berkata bahwa bergunjing itu ada tiga macam, ketiganya disebutkan dalam Al-Qur’an, yaitu ghibah, ifki, dan buhtan. Ghibah atau bergunjing, yaitu menyebut-nyebut keburukan yang ada pada orang lain. Adapun ifki adalah menyebut-nyebut seseorang mengenai berita-berita yang sampai kepada kita, dan buhtan atau tuduhan yang palsu ialah bahwa menyebut-nyebut kejelekan seseorang yang tidak ada padanya. Adnan Ath-Tharsyah menyebutkan dalam bukunya  ‘Majalisuna Ila Aina?’ bahwa tidak ada perbedaan pendapat antara para ulama bahwa bergunjing ini termasuk dosa besar, dan diwajibkan kepada orang yang bergunjing supaya segera bertobat kepada Allah dan meminta maaf kepada orang yang bersangkutan.

Mu’awiyah bin Qurrah berkata kepada Syu’bah, “Jika seandainya ada orang yang putus tangannya lewat di hadapanmu, kemudian kamu berkata ‘Itu si buntung,’ maka ucapan itu termasuk bergunjing.”

Dalam Al-Qur’an surah Al-Hujurat ayat 12, Allah Ta’ala mengemukakan sebuah perumpamaan supaya terhindar dari bergunjing, yaitu dengan suatu peringatan yang berbentuk pertanyaan, “Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati?” Oleh karena itu janganlah menyebut-nyebut keburukan seseorang ketika ia masih hidup atau sudah mati. Tahanlah lidah kita. Kalaupun terpaksa harus membicarakan orang lain, maka berbicaralah yang baik-baik saja

Diriwayatkan Ibnu Mundzir dari Ibnu Juraij bahwa Al-Hujurat ayat 12 ini turun berkaitan dengan Salman Al-Farisi yang makan, kemudian tidur, lalu mendengkur. Orang-orang membicarakannya. Maka turunlah surah ini yang melarang umat Islam bergunjing dan mengumpat.

Ghibah tidak hanya terbatas pada perkataan saja, tetapi juga mencakup segala sesuatu yang menjelaskan kekurangan saudaramu kepada orang lain. An-Nawawy berkata, “Ghibah itu mencakup ucapan dan tulisan, atau simbol dan isyarat dengan mata, tangan maupun kepala. Tepatnya, ghibah adalah segala sesuatu yang menjelaskan kepada orang lain tentang kekurangan saudaramu sesama muslim.” Yang juga termasuk ghibah adalah mendengarkan apa yang disampaikan orang lain dengan menampakkan keta’ajuban.

Salah satu faktor mengapa  ghibah ini demikian dicela oleh Islam ialah karena  potensinya yang sangat dahsyat untuk menghancurkan reputasi dan kehormatan seseorang. Terlebih lagi jika ia mewabah di tengah masyarakat yang sakit, yakni masyarakat yang sangat jeli melihat kesalahan orang lain, tapi tidak pernah berkaca melihat kesalahan pribadi; sangat garang dan sengit menghakimi kesalahan orang lain, tapi begitu ‘bijak’ memaafkan kesalahan diri sendiri.
Pergunjingan pada kenyataannya lebih sering berproses menjadi ifki dan buhtan. Berawal dari tersebarnya berita pada beberapa orang, kemudian terjadi bias informasi, dan pada akhirnya tereksposlah berita yang telah terdistorsi secara massal. Dengan begitu berkembanglah kebencian dan munculnya kekacauan di tengah-tengah masyarakat.

“(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja, padahal dia pada sisi Allah adalah besar.” (QS. An-Nur, 24: 15)

Sebab-sebab Bangkitnya Syahwat Berghibah

Sebab-sebab yang membangkitkan ghibah secara umum menurut Adnan Ath-Tharsyah adalah mencari kepuasan, kedengkian, marah, iri, olok-olok, ejekan dan lain-lainnya. Imam Al-Ghazaly menyebutkan sebelas sebab dan merincinya dalam Ihya Ulumuddin. Sebagian diantaranya yang menyebabkan manusia secara umum melakukan ghibah adalah:

Pertama: Mencari muka di hadapan teman-teman, menjaga persahabatan, dan membantunya dalam perkataan. Jika teman-temannya menodai kehormatan seseorang, lalu dia tidak ikut-ikutan dan menjauhi mereka, maka dia merasa sungkan dan berat. Sehingga mau tidak mau dia harus ikut-ikutan. Jika teman-temannya marah kepada seseorang, maka dia juga harus marah kepadanya sebagai rasa solidaritas, sehingga dia harus ikut menyingkap keburukan dan aib orang lain.

Kedua: Karena hendak membanggakan diri. Maksudnya dia mengangkat kedudukannya dengan mengurangi kedudukan orang lain, misalnya dengan mengucapkan: “Fulan bodoh, pemahamannya dangkal dan ucapannya tidak kuat.” Tujuannya agar ucapannya itu bisa menonjolkan kelebihan dirinya dan dia tampak lebih pandai.

Ketiga: Untuk main-main, bersenda gurau dan lawakan. Dia menyebutkan aib orang lain agar orang-orang tertawa saat mendengarnya.

Keempat: Mengejek dan mengolok-olok, sebagai penghinaan terhadap orang yang disebut-sebut. Pendorongnya yang utama adalah untuk merendahkan orang lain.

Selain itu, ‘orang-orang khusus’, seperti: aktivis dakwah, mubaligh, ustadz, dan bahkan para ulama, kadangkala terjebak pula melakukan ghibah atau pergunjingan. Penyebabnya adalah:
Pertama: Munculnya keheranan dalam mengingkari yang mungkar dan kesalahan dalam agama. Misalnya ucapan seorang da’i: “Aku heran terhadap Fulan!” Boleh jadi apa yang disebutkan ini memang benar-benar terjadi pada diri orang yang dibicarakan. Tapi seharusnya, dia tidak perlu menyebutkan nama orangnya. Sebab setan sangat mudah mempengaruhinya, sehingga lama-kelamaan dia bisa mengghibahnya dan tanpa terasa akhirnya dia pun berdosa.
Kedua: Merasa kasihan. Misalnya seorang da’i merasa kasihan terhadap musibah yang menimpa seseorang seraya berkata, “Sungguh kasihan Fulan itu. Musibah yang menimpanya telah menyentuh perasaan saya.” Tapi berikutnya setan menyeretnya kepada keburukan sehingga menjadi ghibah.

Ketiga: Marah karena Allah. Kadang-kadang seorang da’i merasa marah menghadapi kemungkaran yang dilakukan manusia, lalu dia menyebut nama pelakunya itu. Hal ini tidak diperbolehkan. Seharusnya tidak perlu menyebutkan nama pelakunya.

Ghibah yang diperbolehkan

Segolongan ulama mengecualikan beberapa kondisi sehingga diperbolehkannya ghibah. An-Nawawy, misalnya, mengemukakan ada enam sebab diperbolehkannya ghibah, yaitu:

Pertama: Pengaduan. Seseorang yang dizalimi bisa mengadu kepada penguasa atau hakim atau seseorang yang memegang kekuasaan untuk berbuat adil terhadap orang yang menzaliminya. Dia bisa berkata, “Fulan menzalimiku begini dan begini.”

Kedua: Sebagai sarana untuk merubah kemungkaran dan mempengaruhi orang yang durhaka agar menjadi benar. Seseorang bisa berkata kepada orang yang bisa mengenyahkan kemungkaran: “Fulan berbuat begini dan begitu.” Maksudnya laporan itu sebagai upaya untuk menghentikan kemungkaran pelakunya. Tetapi jika niatnya bukan untuk itu, maka perbuatannya adalah haram.
Ketiga: Untuk meminta fatwa. Misalnya ucapan seseorang: “Ayahku, saudaraku, suamiku, atau Fulan telah menzalimi aku. Apakah dia boleh berbuat begitu? Apa caraku untuk menghindarinya? Bagaimana agar bisa kudapatkan hakku dan sekaligus mencegah kezalimannya?”

Perkataan seperti ini diperbolehkan kalau memang dibutuhkan. Tetapi yang lebih baik ialah dengan berkata: “Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang berbuat begini dan begitu kepadaku?” Yaitu tanpa menyebutkan nama orang yang bersangkutan. Tapi menyebutkan nama orang yang bersangkutan tetap diperbolehkan.

Hal ini didasarkan kepada riwayat Aisyah radhiyallahu anha, bahwa Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan pernah berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang kikir. Dia tidak memberiku belanja yang mencukupi kebutuhanku dan kebutuhan anakku, kecuali harus mengambil harta darinya, sementara dia tidak mengetahuinya.”

Beliau berkata, “Ambilah yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan kebutuhan anakmu dengan cara yang ma’ruf.” (Muttafaq Alaihi).

Keempat: Untuk memperingatkan orang-orang muslim dan menasehati mereka. Misalnya jika seseorang melihat orang lain yang sedang belajar, akan condong kepada ahli bid’ah, atau hendak mendatangi orang fasik yang akan dijadikan guru, sehingga orang yang akan belajar itu dikhawatirkan akan mendapat kemudharatan bagi agamanya. Dalam keadaan seperti ini dia bisa memberitahukan keadaan orang yang hendak didatangi tersebut.

Tapi sebelum melakukannya, dia perlu mendalami terlebih dahulu dengan hati-hati, apakah orang yang akan didatangi tersebut memang benar-benar ahli bid’ah? Apakah memang yang dilakukannya itu sebuah kemungkaran? Atau hanya ikhtilaf atau perbedaan ijtihad yang syar’i? Atau masih banyaknya hal-hal samar? Jika keadaannya belum jelas benar, hendaknya dia berhati-hati dan tidak terburu-buru menyebutkan berbagai hal tentang orang itu, karena tidak jarang tindakan memperingatkan orang ternyata dilatarbelakangi kedengkian.

Kelima: Memberitahukan keburukan seseorang yang jelas kefasikan atau perbuatan bid’ahnya, seperti orang yang terang-terangan meminum khamr, menghalang-halangi manusia dari Islam, mengambil harta secara zalim, dan melakukan hal-hal yang batil.

Keenam: Untuk pengenalan. Misalnya penyebutan Si Buta, Si Pincang, Si Tuli, dan lain-lain, yang tidak dimaksudkan untuk mengolok-olok atau memperlihatkan kekurangan. 

Meskipun begitu, Asy-Syaukany telah mengomentari pendapat An-Nawawy tersebut, bahwa sebagian di antara contoh-contoh ini tidak bisa dijadikan pengecualian pengharaman ghibah dan beliau tetap menganggapnya sebagai ghibah.

Bagaimana Menghindari Ghibah?

Agar terhindar dari ghibah, kita harus menyadari bahwa perbuatan bergunjing itu membangkitkan kemarahan Allah Ta’ala. 

Kita pun harus selalu mengaca kepada diri sendiri yang mungkin banyak memiliki kekurangan, maka hendaknya kita sibuk mengurusi kekurangan tersebut. Hendaknya kita malu jika tidak mau mencela diri sendiri, dan justru mencela orang lain. Jika kita tidak mendapati cela pada diri sendiri, maka hendaklah dia bersyukur kepada Allah dan tidak menodainya dengan aib yang lebih besar. 

Kita harus tahu, sebagaimana kita, orang lain pun akan tersiksa dan terganggu oleh ghibah. Jika kita tidak rela tersiksa dan terganggu karena ghibah orang lain, maka orang lain pun tidak rela jika kita mengghibahnya.

Hendaklah kita melihat latar belakang melakukan ghibah. Jika sebabnya marah, maka hendaklah kita mengobatinya dengan berkata: “Jika aku terus mengikuti rasa marahku, boleh jadi Allah juga terus marah kepadaku karena ghibah. Jika aku menghentikan marahku, maka aku tidak akan mendapatkan ancaman-Nya.”

Jika tujuan ghibah yang kita lakukan untuk menonjolkan dan mengangkat diri sendiri, dengan cara mencela orang lain, maka kita harus tahu bahwa perbuatan itu akan melenyapkan keutamaan kita di sisi Allah. Bahkan di mata manusia, keutamaan kita sedang berada di pinggir jurang, atau boleh jadi kepercayaan mereka terhadap kita akan menyusut jika mereka tahu tujuan ghibah kita. Kalau pun kita bisa mendapatkan kepercayaan manusia karena perbuatan kita itu, toh mereka tidak akan berguna sedikit pun di hadapan Allah.

Sedangkan ghibah karena iri dan dengki, berarti menghimpun dua siksaan. Di dunia tersiksa oleh bara kedengkian dan di akhirat tersiksa api neraka.

Tebusan Ghibah

Sebagian ulama berpendapat, orang yang mengghibah harus menyesali perbuatannya dan bertaubat, agar dia keluar dari hak Allah, kemudian membayar denda, agar dia bebas dari kezalimannya.

Menurut Al-Hasan, pelaku ghibah cukup memohon ampun tanpa harus membayar denda.
Menurut Mujahid, denda atas tindakan ‘memakan daging saudaranya’ ialah memujinya dan berdo’a bagi dirinya.

Atha bin Abu Rabbah pernah ditanya tentang taubat ghibah, dia menjawab, “Dia harus menemui saudaranya yang dighibah seraya berkata, ‘Aku telah berkata dusta tentang dirimu dan menzalimi dirimu. Jika engkau mau, maka engkau bisa berbuat menurut hakmu, dan jika engkau mau, maka engkau bisa memaafkan aku’.”
Mari kita renungkan hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dari Abu Hurairah berikut ini.
مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَذْلُمَةٌ لِاَخِيْهِ مِنْ عِرْضِهِ اَوْ مِنْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ اْليَوْمَ قَبْلَ اَنْ لاَ يَكُوْنَ دِيْنَارٌ وَلاَ دِرْهَامٌ, اِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَلِحٌ اُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَذْلُمَتِهِ وَ اِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ اُخِذَ مِنْ سَيِّأَتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ. (رواه البخارى).
“Barangsiapa yang pernah menganiaya saudaranya baik yang berhubungan dengan kehormatan diri maupun sesuatu yang berhubungan dengan yang lain, maka hendaklah ia minta dihalalkan (minta maaf) sekarang juga sebelum datangnya saat dimana dinar dan dirham tidak berguna, dimana bila ia mempunyai amal salih maka amal itu akan diambil sesuai dengan kadar penganiayaannya, dan bila ia tidak mempunyai kebaikan maka kejahatan orang yang dianiaya itu diambilnya dan dibebankan kepadanya”. (HR. Bukhari).

Majelis Amar Ma’ruf Nahi Munkar atau Majelis Ghibah?

Diantara bentuk perbuatan yang harus selalu diwaspadai oleh setiap muslim khususnya para da’i adalah berkumpulnya mereka dalam ‘majelis amar ma’ruf nahi munkar’, namun sebenarnya ia adalah ‘majelis ghibah’. Bagaimana tidak disebut demikian, jika setiap kali berkumpul di majelis itu, selalu saja disediakan santapan berupa daging saudaranya sesama muslim, minumannya adalah kehormatannya, buah-buah hidangannya adalah aib-aibnya, dan manisannya adalah kekurangan-kekurangannya. Majelis itu hanya diisi dengan serangan terhadap kehornatan orang-orang muslim dan mencari-cari kekurangan mereka. Semua itu kemudian dianggapnya sebagai ‘amar ma’ruf nahi munkar’.

Al-Ghazaly berkata, “Persoalan ghibah merupakan sesuatu yang paling rumit dan tersamar, karena ia merupakan kejahatan yang disembunyikan setan dalam selimut kebaikan. Memang disitu ada kebaikan, kemudian setan memupuknya dengan kejahatan.”
Prosedur amar ma’ruf nahi munkar itu sangat jelas, seperti disabdakan oleh Nabi shalallahu ‘alihi wa sallam:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرهُ بِيَدِهِ, فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ, فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ, وَ ذَلِكَ اَضْعَفُ الاِيْمَانِ (رواه مسلم).
"Barang siapa di antara kamu melihat kemunkaran maka ubahlah ia dengan tangannya, jika ia tidak mampu maka ubahlah dengan lisannya, jika ia tidak mampu maka ubahlah dengan hati, dan yang demikian itu selemah-lemah iman" (HR. Muslim).

Dari hadits di atas kita mengetahui bahwa jika seorang mukmin melihat kemungkaran, yang harus dilakukannya adalah merubah dengan tangan atau kekuasaannya. Namun jika tidak mampu, ia harus menghadapinya dengan menggunakan lisan, yakni mendatangi orang yang berbuat munkar, berhadapan langsung dengannya untuk memberikan nasehat. Tetapi kalau cara ini tidak memungkinkan, maka berikutnya yang harus dilakukan adalah mengingkarinya dengan hati.

Marah karena Allah tidak mengharuskan seseorang menyebutkan nama pelaku kemungkaran atau menunjuknya secara langsung. Apalagi menyebutnya di tengah-tengah majelis dimana disana berkumpul orang-orang dengan beragam niatnya. Ada orang yang datang hanya untuk mengisi kekosongan waktu dengan sedikit kesenangan dan obrolan yang sejalan dengan tuntunan hawa nafsunya, dan ada pula orang-orang yang sengaja datang untuk mendengar informasi ghibah.

Pada diri Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam terdapat teladan yang baik. Beliau tidak pernah menunjuk secara langsung. Jika beliau tidak menyukai sesuatu pada diri seseorang, maka beliau bertanya, “Bagaimana kedaan segolongan orang yang begini dan begitu, atau berbuat begini dan begitu?” atau pertanyaan lain yang serupa dengan ini.

Dari Aisyah radhiyallahu anha, dia berkata, “Jika Nabi shalallahu alaihi wa sallam mendengar sesuatu pada diri seseorang, maka beliau tidak bertanya, “Ada apa Fulan berkata begitu?” Tetapi beliau bertanya, “Ada apa segolongan orang berkata begini dan begini?”
Nabi shalallahu alaihi wa sallam bersabda, “Muslim itu saudara muslim lainnya, tidak menzaliminya, tidak menelantarkannya, dan tidak merendahkannya.” (HR. Muslim).

Menurut An-Nawawy, perkataan Nabi: “Tidak menelantarkannya”, maksudnya tatkala melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, atau tatkala menuntutnya suatu hak tertentu. Seharusnya dia menolongnya, membantunya dan menjaganya sekuat tenaga. Perkataan beliau: “Tidak merendahkannya”, artinya dia tidak boleh menganggap dirinya lebih baik daripada yang lain, tetapi dia harus menganggap bahwa orang lain lebih baik darinya, atau tidak menganggap apa pun. Sebab apa yang terjadi kemudian masih tersamar dan seseorang tidak tahu bagaimana kesudahannya.

Seorang muslim yang baik harus marah karena Allah kepada teman-temannya yang menyebutkan keburukan seseorang. Sebab mereka telah mendurhakai Rabb mereka dengan dosa yang amat keji, yaitu ghibah. Membenarkan ghibah sama dengan ghibah itu sendiri. Orang yang mendengarkan ghibah merupakan sekutu orang yang mengghibah, kecuali jika dia mengingkari atau membela kehormatan saudaranya.

Dari Utbah bin Malik radhiyallahu anhu, dia berkata, “Ada beberapa orang di antara mereka berkata, ‘Mana Malik bin Ad-Dukhaisyin?” Maksudnya anak Dahsyam.
Lalu sebagian menanggapi, “Itulah orang munafik yang tidak mencintai Allah dan Rasul-Nya.”
Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam berkata, “Janganlah kamu berkata begitu! Tidakkah kamu tahu bahwa dia telah mengucapkan: ‘Tiada Ilah selain Allah’, dan dia menghendaki keridhaan Allah?”

Utban berkata, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Sesungguhnya kami juga tahu nasihat yang diberikannya kepada orang-orang munafik.”

Beliau shalallahu alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan api neraka terhadap orang yang berkata: ‘La ilaha illallah’, yang dengan ucapan ini dia mencari keridhaan Allah.”

Begitulah tindakan Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam yang membela kehormatan orang yang tidak ada di sisinya dan beliau tidak suka jika orang ini dighibah atau disebut-sebut keburukannya di majelis beliau. 

Bahaya Ghibah Bagi Gerakan Dakwah

Ghibah sangat berbahaya bagi gerakan dakwah. Karena salah satu faktor yang dapat merusak barisan, mengurai ikatan, dan mengguncang bangunan dakwah menurut Ustadz Fathi Yakan, adalah lahirnya perilaku suka bergunjing, mengadu domba, mengintai aib orang lain, banyak bicara, dan tersebarnya itu semua tanpa kendali dengan alasan memperbaiki keadaan melalui amar makruf nahi munkar.

Penyakit yang berbahaya ini, lanjut beliau, sayangnya telah mewarnai gerakan Islam diseluruh wilayah Islam, baik di lingkup lokal, regional, maupun negara. Hasilnya adalah: rasa rendah diri, goncangnya barisan, tiadanya tsiqah, serta tersingkapnya kelemahan harakah di hadapan musuh.

Membudayanya sikap suka bicara dan menceritakan apa yang didengar tanpa seleksi dapat menyebabkan gerakan Islam hancur. Bermula dari mencela qiyadah lalu meragukan konsep, akhirnya hancurlah bangunan harakah sama sekali.

Ustadz Fathi Yakan menegaskan nasehatnya kepada para pengemban dakwah yang berperilaku seperti itu untuk takut kepada Allah dari menodai kehormatan saudara-saudaranya. Jangan sampai mereka melukai saudara-saudaranya itu seperti seorang dokter memotong-motong jenazah, atau seperti tukang jagal memotong hewan, tanpa menjaga ucapan dan etika perbedaan antar sesama, obyektifitas dalam mengeritik, serta memperhatikan pilihan kata yang tepat ketika melemparkan pembicaraannya. 

Hendaknya mereka memperhatikan firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS. Al-Ahzab, 33: 70-71).
Mereka pun hendaknya merenungkan hadits berikut,
عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ حَدِّثْنِي بِأَمْرٍ أَعْتَصِمُ بِهِ، قَالَ:  قُلْ رَبِّىَ اللهُ ثُمَّ اسْتَقِمْ، قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا اَخْوَفُ مَا تَخَافُ عَلَيَّ؟ فَأَخَذَ بِلِسَانِ نَفْسِهِ ثُمَّ قَالَ: هذَا.   
Dari Sufyan bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Saya bertanya, ‘Wahai Rasulullah, katakan kepadaku sesuatu yang bisa kujadikan pegangan.’ Beliau menjawab, ‘Katakan bahwa Tuhanku adalah Allah lalu istiqamahlah.’ Saya bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apa yang paling Anda khawatirkan atas diriku?’ Rasulullah menunjuk mulutnya sendiri dan berkata, ‘Ini’” (HR. Tirmidzi).

Kemudian hendaknya mereka mengindahkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam,
وَ إِنَّ اَحَدَ كُمْ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللهِ مَا يَظُنُّ أَنْ تَبْلُغَ مَا بَلَغَتْ فَيَكْتُبُ اللهُ عَلَيْهِ بِهَا سَخَطَهُ إِلَى يَوْمِ يَلْقَاهُ.
“Sungguh salah seorang di antara kalian berbicara dengan kata-kata yang membuat murka Allah tanpa dipertimbangkan akibatnya, maka Allah menetapkan dengan ucapannya itu murka-Nya hingga hari kiamat” (HR. Tirmidzi).
Jadi, virus ghibah ini harus kita berantas, dan kita hambat pertumbuhannya. Terutama di lingkungan pergerakan dakwah. Karena bagaimana kita akan mengobati penyakit-penyakit umat, jika para aktivis, da’i, ustadz dan ulamanya tidak mengobati penyakit-penyakitnya sendiri?
Wallahu a’lam...

Daftar Pustaka
Majalisuna Ila Aina?, Adnan Ath-Tharsyah, Pustaka Al-Kautsar Jakarta Timur
Qabasun Min Nuri Muhammad, DR. Faiz Almath, Gema Insani Press, Jakarta
Al-Qur’anul Karim Wa Tafsiruhu Jilid IX, Kementerian Agama RI
Miracle The Reference Syamil Qur’an, Sygma Publishing, Bandung
Riyadlus Shalihin, Imam An-Nawawy, CV. Toha Putra, Semarang


[1] Pernyataan ini tidak dimaksudkan untuk mengharamkan situs jejaring sosial, akan tetapi hanya untuk jadi perhatian kita bersama agar dapat memanfaatkannya secara bijak dan positif dengan memperhatikan etika Islam.

sumber (http://al-intima.com/harakatuna/ghibah-di-jalan-dakwah)

Menyegarkan Kembali Semangat Tafaqquh Fiddin


“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah, 9: 122)

Ibnu Katsir rahimahullah meriwayatkan dari Ikrimah, ia berkata, “Bahwa ketika turun ayat ‘Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih’ (QS At Taubah, 9: 39), orang-orang munafik berkomentar, ‘Sungguh binasa orang-orang kampung yang tidak turut dan berangkat perang bersama Muhammad’. Hal ini ditujukan kepada beberapa orang sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang tetap tinggal di kampung halamannya mengajari kaumnya tentang urusan agama, lalu Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan ayat 122 dari surat At Taubah di atas.” (Tafsir Ibnu Katsir III/65).

Versi riwayat lain menyebutkan, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Di saat Allah mengancam dengan keras orang-orang yang tidak berangkat untuk berperang, mereka kemudian bertekad sambil berkata, “Tidak akan ada seorang pun dari kami yang akan tinggal dan tidak ikut berangkat dalam suatu misi militer selama-lamanya”. Dan mereka benar-benar membuktikan ucapannya sehingga semuanya berangkat dan membiarkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tinggal sendirian, maka turunlah ayat tersebut (At Tafsir Al Munir, DR Wahbah Az Zuhaili XI/77).

Kandungan Lafazh Tafaqquh Fiddin
Akar kata yang terdiri dari fa-qa-ha menunjukkan arti mengetahui dan memahami sesuatu. Seorang yang alim dan cerdas disebut faqih. Pada mulanya istilah tafaqquh fiddin adalah untuk pekerjaan mengerti, memahami, dan mendalami seluk-beluk ajaran agama Islam. Namun pada periode berikutnya, istilah fiqih digunakan untuk ilmu-ilmu syariat sebagai lawan dari ilmu tauhid yang berkaitan dengan aqidah.

Dalam Al-Qur’an, istilah tafaqquh fiddin disebut hanya sekali. Arti dari liyatafaqqahu fiddin ialah “agar mereka memahami tentang agama”. Kata ad-din dalam rangkaian istilah tersebut berarti “agama” dalam arti yang luas, bukan “agama’ dalam arti sempit, seperti mempelajari seluk-beluk wudu dan masalah-masalah shalat, atau hanya menyangkut masalah fiqih. Agama yang oleh ungkapan tersebut didorong untuk didalami dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, pada saat beliau berada di tempat/Madinah karena tidak berangkat memimpin perang, meliputi berbagai informasi yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang telah diterima Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pada periode Mekah selama 13 tahun, dan juga masalah-masalah agama yang mungkin dapat disampaikan Nabi pada saat para sahabat yang berminat melakukan tafaqquh fiddin.[1]

Dalam kajian Ibnu ‘Asyur, lafazah ‘tafaqquh’ (dalam kalimat: liyatafaqqahuu fiddiin) mengikuti wazan tafa’ul yang menyiratkan makna takalluf (bersungguh-sungguh dan mengerahkan semua potensi) guna memperoleh pemahaman yang benar dalam urusan agama. Sebab, memahami agama secara baik dan benar bukan sesuatu yang dapat diraih dengan mudah, melainkan ia memerlukan usaha yang keras, biaya yang tidak murah dan waktu yang lama (Lihat: Tafsir Ibnu ‘Asyur X/229).

Tafaqquh Fiddin, Penting!
Ayat ini merupakan bayan dari Allah Ta’ala tentang pentingnya ‘tafaqquh fiddin’ sebagai upaya untuk memahami agama; menegaskan urgensi mencari ilmu dan ‘tazawwud bil fahmi wal ilmi wa ats-tsaqafah’ (berbekal ilmu, pemahaman dan pengetahuan) tentang agama yang hanif, agama yang fithrah dan agama yang menjadi ‘manhajjatan baidho’ (pedoman hidup yang putih dan bersih).[2]

Yang menarik, menurut Ustadz Ahmad Kusyairi Suhail, bahwa ayat tafaqquh fiddin ini berada di tengah-tengah pembahasan tentang jihad bil qital (perang) yang menjadi tema sentral dari surat At-Taubah. Sebelum ayat tersebut, Allah Ta’ala menyinggung tentang perang Tabuk yang terjadi pada tahun 9 H dan suasana yang menyelimuti kaum muslimin pada saat perang maupun pasca perang, lalu pada ayat sesudahnya (QS At Taubah: 123), kembali Allah Ta’ala menyinggung masalah perang. Hal ini, lanjut Ustadz Suhail, memberikan pemahaman kepada kita, bahwa seorang mukmin tidak boleh terlalu asyik masyuk dengan satu bentuk ibadah, lalu melupakan ibadah yang lain. Melainkan, ia harus senantiasa tawazun (seimbang) dan syamil (menyeluruh dan utuh), dan tidak terperangkap dengan hal yang juz’i (parsial). Karenanya, semangat mencari ilmu harus selalu dikobarkan dan tidak boleh padam dalam suasana segenting apa pun.

Ustadz Suhail menegaskan, “Jika di tengah kobaran semangat jihad yang menyala-nyala, Allah SWT mengingatkan pentingnya tafaqquh fiddin dan tidak boleh dilalaikan, apatah lagi dalam berbagai aktivitas lainnya, tentu lebih tidak diperbolehkan lagi untuk meninggalkan mencari ilmu. Kesibukan kita dalam jihad siyasi (politik) tidak boleh melunturkan semangat tafaqquh fiddin. Kesibukan kaum ibu dalam jihad ‘aili (berjuang dalam mengurus rumah tangga) tidak boleh dijadikan alasan untuk tidak memperdalam pengetahuan mereka tentang agama. Kesibukan mencari nafkah juga tidak boleh membuat seorang mukmin tidak pernah mengalokasikan waktu guna mencari ilmu. Walhasil, tafaqquh fiddin tidak dibatasi oleh usia, waktu, tempat, situasi dan kondisi.” [3]

Setiap muslim dan khususnya para aktivis dakwah hendaknya menyadari bahwa salah satu kunci sukses generasi terbaik binaan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam; para sahabat radhiyallahu ‘anhum, sehingga mereka mampu melakukan perubahan dalam peradaban dunia dan mendatangkan banyak kemenangan, kemajuan dan kejayaan di semua aspek kehidupan, termasuk keberhasilan dalam memenej rumah tangga mereka, adalah berawal dari semangat membara mereka dalam mencari ilmu dan tafaqquh fiddin.

Mencari Ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim dan muslimah. Ia merupakan kegiatan sepanjang hidup manusia dari kecil sampai dewasa. Bahkan, begitu amat pentingnya ilmu,  sampai-sampai lafazh ‘ilmu dan kata jadiannya disebut dalam Al Qur’an sekitar 427 kali, mengalahkan penyebutan lafazh ‘shalat’, ‘zakat’ dan lainnya.

Ilmu itu kehidupan dan cahaya, sementara al-jahl (kebodohan) itu kematian dan kegelapan. Adalah hal yang aksiomatis, bahwa semua keburukan itu penyebabnya adalah tidak adanya kehidupan dan cahaya, sedang semua kebaikan penyebabnya adalah cahaya dan kehidupan. Perhatikan firman Allah Ta’ala:

“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat ke luar dari padanya?” (QS Al An’aam, 6: 122).

Oleh karena itu, setiap muslim hendaknya  menyediakan waktu untuk menuntut ilmu, terutama ilmu-ilmu syar’i untuk memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah An-Nabawiyyah sebagai ‘al-marji’iyyah al-‘ulyaa’ (referensi utama) bagi setiap muslim; dan sebagai ‘al-mi’yar al-asasi’ (standar utama) untuk melihat ilmu-ilmu yang lainnya dan mengarahkan serta melandasinya.

Ustadz Abdussalam Masykur menyebutkan bahwa selain menyebutkan tentang pentingnya menuntut ilmu ayat tersebut di atas juga menunjukkan pentingnya proses ‘ta’lim muta’allim’ (belajar mengajar) dan pentingnya tujuan atau target dan sasaran, karena selain ber-‘tafaqquh fiddin’ juga harus ada ‘wa liyundziruu qaumahum’ (memberi peringatan kepada kaumnya), kemudian ‘la’allahum yahdzarun’ (agar mereka menjaga dirinya). Ini sebuah proses yang teratur dan luar biasa. Ini adalah manhaj rabbani dalam mencari ilmu dan memahami agama.

Ilmu dan Tegaknya Keimanan
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-Alaq, 96: 1 – 5)

Sejak awal kemunculannya di jazirah Arab, ajaran Islam yang dibawa Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam telah mengumandangkan penghargaannya yang tinggi terhadap qalam (alat tulis). Islam memancangkan ajaran pertama yang dijadikan dasar pokok dalam membina manusia adalah dengan baca tulis dan menuntut ilmu.

Muhammad Al-Ghazali mengatakan bahwa watak ajaran Islam mewajibkan pemeluknya menjadi ummat yang terpelajar, dimana jumlah orang yang berpendidikan semakin meningkat, sedangkan jumlah orang yang tidak berpendidikan terus berkurang dan akhirnya lenyap. Hal itu menurutnya disebabkan oleh kenyataan, bahwa hakekat ajaran Islam, baik dasar-dasar pokok maupun cabang-cabangnya, bukanlah upacara-upacara kebaktian pusaka nenek moyang dan bukan pula mantera-mantera yang disebarluaskan atas dasar angan-angan dan khayal. Dasar-dasar ajaran Islam diambil dari kitab suci yang penuh hikmah dan dari sunnah Rasul Allah yang penuh dengan tuntunan. Di dalamnya terkandung pengertian-pengertian intelektual, metode-metode yang tinggi dan tata kehidupan yang luhur.

Di samping itu, tafakkur alam semesta sebagaimana banyak diketengahkan dalam Al-Qur’an, dipandang oleh Islam sebagai dasar pokok untuk menegakkan iman yang mantap dan kokoh.

Tidak hanya itu saja, di dalam ajaran Islam terdapat juga seruan kepada segenap ummat manusia supaya mengikuti kebenaran dan terus menerus mencarinya walaupun rumit dan tersembunyi. Islam menolak hipotesa-hipotesa berdasarkan pemikiran yang mengambang, dan melarang pemeluknya terjerumus mengikutinya. Islam meletakkan sistim pengawasan yang ketat terhadap pendengaran, penglihatan, dan hati. Itu saja sudah cukup untuk mewujudkan suatu masyarakat yang jauh dari ketakhayulan dan angan-angan kosong, bukan masyarakat yang tenggelam di dalam kepercayaan kepada jimat-jimat, dongeng-dongeng kosong dan segala macam kebatilan, atau masyarakat yang dikuasai oleh tradisi dan adat istiadat tidak karuan yang sama sekali bukan berasal dari ajaran Ilahi.

Agama Islam tidak akan memperoleh tempat yang mantap kecuali di kalangan manusia yang berilmu pengetahuan matang dan manusia berakal cerdas. Bila Anda memperhatikan masalah shalat, tentu Anda akan menemukan kenyataan bahwa baik shalatnya itu sendiri maupun adzan sebelumnya, dua-duanya merupakan amal perbuatan yang rasional. Adzan adalah kalimat-kalimat yang mengetuk pikiran serta membangkitkan hati dan perasaan, yaitu mengagungkan Allah (takbir), pernyataan kesaksian atas keesaan Allah (tauhid), dan ajakan untuk meraih keberuntungan. Dalam Islam aba-aba dimulainya shalat bukan dengan membunyikan lonceng yang dentangan suaranya memenuhi angkasa dan hanya mengetuk perasaan tanpa kata-kata yang jelas. Dalam shalat dibaca ayat-ayat yang diambil dari kitab suci yang mengandung ajaran-ajaran kebajikan dan petunjuk-petunjuk yang dapat dicerna oleh akal pikiran.

Muhammad Al-Ghazali menegaskan, memang benar bahwa kemantapan seseorang dalam menghayati agama Islam banyak tergantung pada tingkat kecerdasan pikirannya, kebersihan hatinya dan kelurusan fitrahnya. Tidak mungkin orang pandir atau orang yang tidak sehat jiwanya akan mudah begitu saja memeluk Islam.[4]

Menyegarkan Kembali Semangat Tafaqquh Fiddin
Mari kita segarkan kembali semangat tafaqquh fiddin. Mulai dari diri sendiri! Mari kita tanamkan kebiasaan, sikap dan nilai yang baik berkaitan dengan thalabul ilmi.

Menuntut Ilmu
Tidak ada manusia yang lahir dalam keadaan pintar, mahir, dan ahli. Semua manusia lahir dalam keadaan tidak mengetahui suatu apa pun. Hal ini dijelaskan Allah SWT dengan firman-Nya,

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (An-Nahl, 16: 78).

Manusia akan menjadi berilmu manakala mampu memanfaatkan pendengaran, penglihatan, dan hatinya dengan baik. Ia harus mencari ilmu dan terus mencari. Sadarilah, ilmu tidak akan pernah datang menghampiri.

Marilah kita teladani para salafu shalih. Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu pergi ke Syam menempuh perjalanan selama satu bulan hanya untuk mendengarkan satu hadits saja dari Abdullah bin Unais radhiyallahu ‘anhu. Hadits tersebut ialah bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya manusia itu nanti akan dibangkitkan di hari kiamat dalam keadaan tidak memakai alas kaki, tidak memakai pakaian dan tidak dikhitan”.[5]

Sedangkan Abu Ayyub Al-Anshori pergi dari Madinah ke Mesir menemui ‘Uqbah bin Amir hanya untuk mendengarkan satu hadits saja yaitu sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa menutup aib saudara muslimnya di dunia, maka Allah akan menutup aibnya di hari kiamat”.[6]

Abul ‘Aliyah berkata: “Kalau kami mendengar sebuah hadits itu datang dari seorang sahabat, maka kami tidak puas kecuali kami pergi menemui sahabat yang memiliki hadits tersebut”.[7]

Membiasakan Menghafal
Kita tidak akan mampu membawa ilmu kalau ilmu tersebut hanya ada dalam catatan. Maka membiasakan menghafal adalah satu sikap yang harus dipegang teguh.

Abu Zur’ah berkata, “Adalah Imam Ahmad bin Hambal hafal satu juta hadits”. Berkata Sulaiman bin Syu’bah: “Sesungguhnya murid-murid Abu Dawud menyalin hadits dari Abu Dawud sebanyak 40.000 hadits. Sedangkan Abu Dawud tidak memiliki buku”. Sementara itu Abu Zur’ah Arrazi berkata: “Aku hafal 200.000 hadits seperti bagaimana orang lain menghafal surat Al-Ikhlash”. [8]

Membiasakan Menulis
Karena membuat karya tulis akan memperkuat kapasitas keilmuan. Inilah budaya yang harus dikembangkan di tengah-tengah ummat, khususnya di kalangan aktivis dakwah.

Ibnul ‘Arabi menulis dalam bidang tafsir sebanyak 80 juz (di luar karyanya yang lain dalam bidang Ushul, Hadits, dan juga Tarikh). Ibnu Abi Dunya menulis 1.000 karya tulis. Imam Hakim menulis lebih dari 1.000 macam. Ibnu Asakir menulis dalam bidang Tarikh sebanyak 80 jilid. [9]

Menjaga semangat Menuntut Ilmu
Menuntut ilmu dan mengembangkannya memerlukan semangat yang besar. Semangat musiman tidak akan mungkin dapat diandalkan untuk membangun kapasitas ilmu.

Ibnul ‘Aqil Al-Hambali berkata: “Sesungguhnya semangatku untuk menuntut ilmu di usiaku yang 80 tahun sama dengan semangatku ketika usiaku baru 20 tahun”.

Semangat itu sangat diperlukan sebagai modal awal menuntut ilmu. Suatu hari Ibnu Jarir Atthabari menawarkan kepada murid-murid dan teman-temannya: “Maukah kalian belajat tafsir?” Mereka menjawab: “Berapa banyaknya?” Atthabari menjawab: “30.000 lembar”. Murid-muridnya itu pun berkata: “Sungguh itu adalah jumlah yang sangat banyak yang mungkin usia kita akan habis sementara ia belum selesai.” Maka diringkaslah oleh Atthabari menjadi 3.000 lembar. Kemudian ketika mereka ditanya tentang apakah mereka mau belajar sejarah manusia semenjak masa Adam hingga masanya, mereka pun menjawab dengan hal yang sama. Mendengar hal itu berkatalah Atthabari: “Sungguh telah mati semangat dan kemauan kalian!” Kemudian ia meringkas sejarah itu menjadi sekitar 3.000 lembar pula.

Imam Syafi’i pernah ditanya, “Bagaimanakah semangat Anda menuntut ilmu?” Beliau menjawab, “Saya mendengarkan huruf demi huruf seakan-akan huruf-huruf itu belum pernah saya temukan selama ini. Karena itu saya kerahkan seluruh anggota tubuh saya untuk menyimaknya.”

Beliau ditanya lagi, “Bagaimana minat Anda terhadap ilmu?” Imam Syafi’i menjawab, “Minat saya laksana orang mengumpulkan makanan dan berambisi menikmati kelezatannya secara sempurna.”

“Lalu bagaimana Anda mencarinya?” lanjut si penanya, “Saya mencarinya laksana seorang wanita yang kehilangan anak satu-satunya yang di dunia ini ia tidak memiliki apa pun selain dia.” Jawab Imam Syafi’i.[10]

Ibnu Mas’ud berkata, “Ketahuilah bahwa tidak ada satupun diantara kalian yang dilahirkan dalam keadaan berilmu. Sesungguhnya ilmu itu diperoleh dengan jalan belajar. Maka jadikanlah dirimu sebagai orang yang ahli ilmu, atau orang yang menuntutnya, atau orang yangmendengarkannya. Belajarlah kalian, karena sesungguhnya kalian tidak tahu kapan ilmu kalian itu akan dibutuhkan”. [11]

Merenung, Berbuat, dan Berfikir dalam Ilmu
Aktivitas peningkatan dan pencarian ilmu perlu dilakukan setiap saat. Sehingga kita hendaknya merenung dalam ilmu, berbuat dalam ilmu, dan berfikir dalam ilmu.

Ibnu ‘Aqil Al-Hambali berkata, “Sesungguhnya tidak benar bagiku jika menyia-nyiakan waktu walau sesaat dari usiaku. Kalaupun lisanku berhenti dari menghafal, atau mataku berhenti dari membaca, maka aku menyibukkan fikiranku pada saat istirahatku itu hingga ketika aku bangun pasti telah kumiliki dalam diriku apa yang akan aku tulis kemudian”.

Imam Bukhari apabila terjaga dari tidurnya, maka ia menyalakan lenteranya kemudian menulis apa-apa yang terbetik dalam dirinya dari berbagai ilmu. Kemudian ia tidur dan begitu seterusnya sampai kadang-kadang dalam satu malam ia melakukan hal itu sebanyak 20 kali.

Imam Juwaini berkata, “Biasanya aku tidak pernah tidur dan makan. Tetapi aku tidur karena tertidur dan makan karena aku memang membutuhkannya. Sehingga aku tidur dan makan kapan saja. Karena kenikmatanku ada pada menuntut ilmu.”

Menuntut Ilmu Sepanjang Hayat
Generasi terdahulu telah memberikan teladan yang baik. Mereka mengajarkan kepada kita bahwa selama manusia masih bisa mencari ilmu, maka ia harus terus melakukannya.

Muhammad bin Ishaq telah mengambil ilmu dari 1700 orang guru. Ia pergi menuntut ilmu dalam usia 20 tahun dan pulang dalam usia 40 tahun. Sedangkan Imam Bukhari mengambil ilmu lebih dari 1000 orang Syaikh.

Ada sebuah kisah mengharukan tentang semangat menuntut ilmu. Menjelang wafatnya Ibnu Jarir Atthabari mendengar do’a yang diriwayatkan oleh Ja’far bin Muhammad. Ia kemudia meminta orang yang ada di sekitarnya untuk mengambilkan pena dan kertas. Orang-orang pun berkata kepadanya, “Kondisimu sudah seperti ini, tidak usahlah melakukannya.” Atthabari kemudian menjawab, “Tidak semestinya seseorang meninggalkan datangnya ilmu meskipun sampai mati”. Beberapa saat kemudian beliau pun wafat.

Menjadi bangsa yang besar dengan Ilmu
Hari ini kita mungkin dalam keadaan terhina dan terpuruk. Tetapi jangan pesimis, karena tidak lama lagi kita akan segera bangkit dan memimpin dunia, menjadi ustadziyatul alam (guru dunia).

Di kedua tangan kita ada Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber petunjuk yang memberkahi ilmu yang kita miliki. Tugas kita saat ini adalah belajar dan terus belajar.

Al-Hasan bin Ali berkata, “Belajarlah kalian, tuntutlah ilmu, sesungguhnya jika kini kalian adalah orang-orang yang kecil dan tidak diperhitungkan manusia, maka kelak kalian akan menjadi orang-orang besar yang diperlukan manusia.” [12]

Tanamkanlah semangat di dalam dadamu wahai muslimin! Mari kita rem nafsu menghambur-hamburkan waktu dengan hal-hal yang tidak perlu. Sungguh, fajar kemenangan bukanlah impian, jika kita mau belajar, menuntut ilmu, dan ber-tafaqquh fiddin….

Maraji’
Pentingnya Tafaqquh fiddin, Abdussalam Masykur
Semangat Tafaqquh Fiddin, H. Ahmad Kusyairi Suhail, MA.
Al-Qur’an Wa Tafsiruhu Jilid IV, Kementrian Agama RI
Akhlak Seorang Muslim, Muhammad Al-Ghazali
Waqfah Tarbawiyah, Edisi 07, Volume I, 1996



[1] Al-Qur’an wa tafsiruhu, hal. 231 – 232.
[2] Pentingnya Tafaqquh fiddin, Abdussalam Masykur
[3] Semangat Tafaqquh Fiddin, H. Ahmad Kusyairi Suhail, MA.
[4] Akhlak seorang Muslim, Muhammad Al-Ghazali, hal. 407 - 410
[5] Riwayat Muslim dari Aisyah (2589)
[6] Riwayat Bukhari (2310), Muslim (2580)
[7] Thabaqah Ibnu Sa’ad, VII/122
[8] Sifatusshofwah, II/337, IV/88
[9] Al-Ilmu Dhorurah Syar’iyyah, Dr. Nashir Al-Umar hal. 22 – 25.
[10] Tarikh Baghdad
[11] Al-Adab Assyar’iyyah, Ibnul Muflih II/34
[12] Jami’u bayanil ‘ilmi, Ibnu Abdul Barr I/82